Islamsantun.org. 25 Desember 2021 yang bertepatan dengan Hari Raya Natal, Timnas (Tim Nasional) Sepakbola Indonesia mengungguli Singapura di laga kedua Semi-final Piala AFF Suzuki Cup 2020 dengan skor 4-2. Hal ini tentunya menghantarkan Timnas Garuda ke laga puncak Piala AFF dan akan menantang pemenang antara Vietnam dengan Thailand yang baru akan bertanding pada 26 Desember 2021.
Kita sepakat, bahwa laga Indonesia vis a vis Singapura mengundang decak kagum dan lebih-lebih memberhentikan sistem kerja jantung karena menegangkannya pertandingan tersebut bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong datang ke depan layar kaca di rumah masing-masing maupun menyaksikan bersama di bersama tetangga demi satu tujuan, yaitu menyaksikan dan memberikan dukungan putra terbaik bangsa yang berlaga. Tentunya, teriakan yang mewakili emosi masyarakat Indonesia saling bersahut-sahutan sebagai cara mengekspresikan dukungannya kepada Timnas Indonesia.
Bahkan, “membodoh-bodohkan” pemain yang bertanding kiranya juga mewarnai suasana pertandingan tersebut. Tidak hanya pemain, wasit pun juga terkena imbas ejekan masyarakat Indonesia yang mereka lontarkan dari rumah. Juga, status WhatsApp menjadi mimbar untuk berekspresi mengenai apa yang terjadi lapangan ketika itu. Bahkan, saya mengalami sendiri bagaimana saya menyaksikan pertandingan tersebut hanya melalui status WhatsApp yang mana mereka sangat berantusias mengikuti jalannya pertandingan.
Hal yang tak luput dari pertandingan tadi malam adalah ketika Asnawi Mangkualam menghadap Faris Ramli yang gagal mengeksekusi tendangan dua belas pas di menit-menit akhir babak kedua yang membuat pertandingan harus dilanjutkan dengan tambahan waktu (extra time). Banyak yang berspekulasi, bahwa Asnawi berucap “Thank you” kepada Faris setelah ia tidak memasukkan bola ke jala gawang Indonesia.
Berbagai respon masyarakat Indonesia mengenai tingkah Asnawi di atas. Di satu pihak ada yang sangat suka kepada tindakan Asnawi karena “ejekan” tersebut kiranya menjadi mental pemain Timnas Singapura down hingga akhirnya mereka kalah dari Timnas Garuda dan ada di lain pihak ada, pula yang menyayangkan laku dari Asnawi karena tidak sepantasnya ia melakukan hal tersebut karena lakunya adalah sebuah serangan mental (attack of psywar). Selain itu, terbukanya keran meme tentang Asnawi yang menghadap Faris, membanjiri jagat maya yang sebagian besar bagi masyarakat Indonesia adalah sebuah hiburan.
Olahraga dan Nasionalisme
Setelah saya singgung pertandingan tadi malam dengan berbagai hal yang menarik dan penuh intrik, menyaksikan Timnas Indonesia dalam berbagai gelanggang, merupakan implementasi atau pengamalan nasionalisme secara fundamental. Benedict Anderson dalam Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan (2010) menyatakan bahwa nasionalisme (nationalism) bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada proyek bersama (common project) untuk kini dan masa depan (Benedict Anderson, 2010: 5).
“Nonton bareng” (nobar) merupakan sebuah budaya bagi masyarakat Indonesia. Nobar, merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang cukup tinggi yang direpresentasikan melalui duduk bersama, menyemarakkan dukungan kepada putra-putri terbaik bangsa yang dibanggakan saat turun gelanggang, dan tidak lupa doa senantiasa dipanjatkan ketika nobar berlangsung demi hasil maksimal untuk Timnas Indonesia.
Namun seperti yang kita ketahui bersama, adalah sepak bola menjadi olahraga mayoritas yang disukai masyarakat Indonesia pada umumnya, pun saya tidak bisa mengelak dari hal tersebut. Euforia masyarakat Indonesia terhadap sepak bola yang begitu massive berdampak kepada eksistensi cabang olahraga lain di mata masyarakat. Menurut hemat saya, ada empat olahraga besar yang menjadi primadona olahraga di Indonesia, berangkat dari sepak bola dan setelah itu secara urut ada badminton, volleyball, dan basketball.
Paling-paling setelah sepok bola belum atau tidak nampak di layar kaca saat perhelatan olimpiade misalnya, badminton dan volleyball menjadi pengisi waktu luang tersebut dan cukup rame pemirsanya di rumah. Namun, basketball tidak mempunyai tempat di hati para pemirsa di rumah, memang basketball adalah olahraga rumit dan penuh aturan, sehingga begitu sepi peminatnya di Indonesia.
Hal di atas dapat kita rasakan di TV, sangat mustahil pertandingan-pertandingan basketball disiarkan langsung di stasiun TV Nasional, ini jelas bahwasannya basketball kalah pamor dengan sepak bola, badminton, dan volleyball. Bahkan, ketika Timnas Basketball Indonesia berlaga di berbagai ajang internasional yang biasanya disiarkan langsung di Youtube, nampak sepi penonton yang hadir secara online di gawai mereka. Problema ini, nampaknya menjadi “ketimpangan moral” bagi Timnas Basketball Indonesia karena kurangnya dukungan dari masyarakat Indonesia yang menjadi support system. Ironis.
Jadi, jika perkara yang telah saya kemukakan di atas terjadi secara terus-menurus yang mana masyarakat Indonesia “begitu fanatik” akan sepak bola sehingga memandang “sebelah mata” olahraga lain seperti basketball, tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang dikumandangkan Benedict Anderson mengenai nasionalisme adalah projek bersama akan tidak terwujud. Kini, perlu adanya sebuah sinergitas antar lembaga-lembaga olahraga yang secara struktural harus turun ke akar rumput guna mencari skill-skill baru putra-putri bangsa menjadi poin utama yang harus diwujudkan untuk tercapainya sebuah proyek bersama yang bernama nasionalisme di masa yang akan datang.