“Libur telah tiba, libur telah tiba”, demikian lagu yang dipopulerkan Tasya Kamila terngiang. Liburan identik dengan jalan-jalan bertamasya keliling kota dan desa. Namun, apakah perjalanan identik dengan pergerakan ragawi? Ada perjalanan fisik, ada pula perjalanan imajiner.
Secara fisik, perjalanan sebagaimana lumrah dilakukan, berwisata ke suatu tempat dan berinteraksi dengan orang baru. Tapi, kita juga bisa travelling di alam pikiran dengan membaca catatan perjalanan orang lain, menonton film dokumenter tentang suatu daerah atau sekadar berselancar di dunia maya. Maka perintah Allah dalam Al-Quran, “fasiiruu fil ardh“, tidak hanya dipahami sebagai perjalanan fisik, tapi juga perjalanan imajiner.
Intinya adalah berjalan untuk belajar dari aneka firman Tuhan yang terbentang di alam raya ini. Bagi teman-teman yang saat ini berlibur, jangan lupa mengambil ‘ibrah’ dari setiap perjalanan dan perjumpaan, seperti yang dilakukan Ibn Batutah.
Sosok Ibn Batutah
Ibn Batutah adalah figur peziarah sejati. Nama aslinya Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati at-Thanji. Ia lahir di kota Thanjah atau Tangier, Maroko, 1304 M. Karena perjalanannya, ia masyhur di dunia Barat dan Timur. Di Barat, ia dikenal dengan gelar “the greatest traveler” atau “the Marco Polo of the Muslim word“. Uniknya, Ross E. Dun dalam bukunya “The Adventures of Ibn Batuta” menyebutkan:
“The ‘Rihla’ stands as the only eye-witness report on political events, human geography, and social or economic conditions for a period of a century or more. Ibn Batuta had no professional background or experience as a writer of geography, history or ethnography, but he was, as Gibb declares, the supreme example of the geographer in spite of himself.”
Berdasarkan penjelasan Ross, Ibn Batutah sebenarnya tidak mempunyai latar belakang keilmuan geografi, sejarah atau etnografi, tapi karyanya justru menjadi sumber penting dalam kajian geografi sebagaimana “Mukaddimah” Ibn Khaldun dalam bidang Sosiologi. Ini bisa memberikan pemahaman bahwa pengalaman langsung berjumpa dengan orang yang berbeda itu lebih utama daripada seabrek teori toleransi yang selama ini dipelajari, misalnya dalam gerakan “Moderasi Beragama”.
Bahwa teori memang penting, tapi lebih dari itu, kemauan untuk mengaplikasikan keilmuan jauh lebih genting. Kalau dalam teori marketing atau komunikasi saat ini ada istilah “storytelling” untuk menarik perhatian audiens, gaya catatan Ibn Batutah juga sangat personal, “a dramatic personal adventure“, kata Ross E. Dunn. Ini bisa dipahami karena karya Ibn Batutah dihasilkan dari kolaborasinya bersama Ibn Juzay sebagai sekretarisnya. Jadi, beliau menuturkan, Ibn Juzay yang menuliskan; kerja sama ini dilakukan selama dua tahun, hingga menghasilkan karya monumentalnya, “Rihlah”.
Keunikan “Traveling” Ibn Batutah
Ross E. Dunn dalam bukunya juga menguraikan alasan yang membuat karya Batutah menjadi berbeda dari catatan perjalanan lainnya yang sezaman. Pertama, dia seorang peziarah. Perjalanan yang dia lakukan bukan sebatas perjalanan fisik, tapi ada motivasi spiritual, apalagi ketika berkunjung ke Mekah dan Madinah. Ini juga erat dengan posisinya yang dekat dengan dunia sufi. Perjalanannya mengunjungi tempat atau petilasan orang-orang saleh terdahulu demi memperoleh keberkahan dan kebajikan.
Karenanya dalam karyanya, akan ditemukan banyak kisah mistikal yang nampak bertentangan dengan rasionalitas. Bagi sebagian kalangan (terutama “ulama konservatif”), bagian ini menjadi kritik, tapi ada juga yang memahaminya dalam nuansa positif. Dalam hal ini, Batutah merekam cerita lisan yang berkembang di suatu masyarakat.
Di samping itu, ia juga seorang ahli hukum. Bahkan sempat menjadi hakim selama 7 tahun di India. Ditambah dia juga berasal dari kelompok terpelajar, sehingga dia pandai bersosialisasi dengan berbagai lapis masyarakat, kalangan elit maupun alit. Karenanya catatan Batutah menghadirkan mitos dan logos at all.
Catatan Perjalanan Ibn Batutah
Dalam kitabnya, “Rihlah Ibn Bathuthah fii Ghara’ib al-Amshar wa ‘Aja’ib al-Asfar“, Ibn Batutah mencatat perjalanannya dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dalam tulisan ini, ada dua perjalanan Ibn Batutah yang akan diulas. Pertama, perjalanannya ke Konstantinopel Ibn Batutah mendeskripsikan kota bersejarah itu dengan cukup detail. Ia menuturkan:
“Konstantinopel adalah kota yang sangat besar. Kota ini dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sungai yang airnya mengalami pasang surut. Sungai tersebut mirip dengan sungai di Wadi Sala, Maroko. Pada mulanya ada sebuah jembatan yang menghubungkan kedua bagian kota itu. Namun, jembatan itu rusak. Karenanya penduduk Konstantinopel menggunakan sampan untuk menyeberanginya…Sebagian besar pedagang adalah kaum perempuan. Para pedagang di pasar dikelompokkan berdasarkan barang dan jasa yang ditawarkan…”
Dari ulasan tersebut, dapat dipahami bahwa Ibn Batutah adalah orang yang cukup detail dalam mengamati fenomena yang terjadi di sekitarnya. Ia bisa merekam bentuk bangunan fisik, arsitektur, juga kegiatan sosial yang berlangsung. Masih dalam perjalanannya di kota ini, ia pun berkesempatan mengunjungi berbagai gereja.
Ia datang melihat kebesaran gereja Aya Sofia atau Hagia Sofia yang sekarang sudah diubah fungsinya menjadi masjid. Ia pun menegaskan bahwa di kota ini banyak sekali biara yang dibangun oleh Raja Jarjis, ayah raja Konstantinopel yang kala itu menjabat.
Potret Batutah yang dengan bebasnya mengunjungi bahkan masuk ke berbagai gereja yang ada di Konstantinopel ini menunjukkan keterbukaannya dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan. Ia pun kembali mengomentari, “kota ini banyak sekali dihuni pendeta dan ahli ibadah Kristen”.
Selain catatan Batutah ke Konstantinopel, menarik mengulik perjalanannya ketika mampir ke “Indonesia” yang saat itu dikenal dengan sebutan al-Jawi (sebutan untuk Nusantara). Ibn Batutah menuliskan perjumpaannya dengan as-sulthan al-jawi Malik az-Zahir, Sultan di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Dari penuturannya, dapat diketahui bahwa sejak dahulu di Nusantara mazhab dominan umat Islam adalah Syafi’i.
Tuturan Ibn Batutah juga menunjukkan bahwa sejak dahulu masyarakat Nusantara sudah ramah terhadap tamu. Ini (mungkin) erat hubungannya dengan ajaran Islam yang memuliakan tamu. Ia diberikan makan dan tempat tinggal yang nyaman.
Selain itu, Ibn Batutah juga menyampaikan bahwa adat di sana, raja menyambut tamu setelah tiga hari, agar tamu dapat beristirahat total dan menghilangkan rasa penat dalam perjalanan. Ini bagian dari etika moral yang dihidupi kala itu. Tidak elok langsung berjumpa dengan orang yang masih kelelahan dari perjalanan jauh.
Hal menarik lainnya adalah semangat egaliter sultan tatkala beribadah di masjid. Menurutnya, tidak ada tempat khusus bagi sultan ketika melaksanakan ibadah salat Jumat di masjid. Pun dengan pakaian, sultan hanya menggunakan baju putih setara dengan seluruh rakyat yang melaksanakan salat Jumat.
Masih dengan budayanya, Batutah menceritakan setelah salat Jumat, Sultan berinteraksi dengan rakyatnya, makan bersama, kemudian berdiskusi seputar keagamaan dan menerima kritik dari rakyat.
Fenomena yang serupa pernah penulis rasakan, tatkala pada tahun 2017 mengunjungi Singapura dalam rangka merayakan World Interfaith Harmony Week. Saat itu penulis bersama beberapa kawan melaksanakan ibadah salat Jumat di Masjid Ba’alwie. Setelahnya ada tradisi makan bersama dan ngobrol santai, dipimpin langsung oleh imam besarnya, Habib Hassan Al-Attas yang juga tokoh penting di negara tersebut yang mendorong dialog lintas agama di sana. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa salat Jumat tidak hanya dilaksanakan sebatas ibadah ritual, tapi juga mempunyai dimensi intelektual dan sosial yang kuat.
Kesaksian Ibn Batutah juga menjelaskan bahwa ketika berangkat ke masjid, sultan hanyalah hamba Allah sama seperti masyarakat lainnya, menggunakan baju putih dan berjalan kaki. Namun ketika sang raja hendak kembali ke istana, maka sang raja mengganti pakaiannya menjadi seragam kebesarannya dan diarak menggunakan kuda. Hal ini menandakan bahwa Raja Malik az-Zahir dapat memosisikan diri, kapan ia sebagai raja dan sebagai hamba Allah.
Makna Traveling ala Ibn Batutah
Berdasarkan ulasan sebelumnya, kita dapat belajar banyak hal dari perjalanan Ibn Batutah ke Konstantinopel dan Nusantara. Poin penting traveling ala Ibn Batutah dapat dirangkum pada empat aspek.
Pertama, perjalanan spiritual. Ibn Batutah melakukan rihlahnya tidak sebatas berkunjung dari satu tempat ke tempat lain saja. Tetapi ia juga menapak tilas orang-orang bijak yang pernah hidup di wilayah tersebut. Satu hal yang juga penting dicermati adalah hampir di setiap tempat, Ibn Batutah tidak akan jauh dari mengunjungi rumah Allah.
Hal ini mengisyaratkan bahwa seberapa jauh jarak kita melangkah, ada Allah yang selalu menuntun arah, sehingga seorang traveler yang beriman pasti akan mengembalikan perjalanannya untuk mendekat kepada-Nya.
Kedua, perjalanan intelektual. Sebagaimana lumrah dilakukan oleh ulama dahulu, khususnya ulama hadis yang rela berjalan menyusuri samudera padang pasir demi mencari satu hadis, itulah yang dilakukan Batutah dalam perjalanannya. Ia selalu belajar dari satu tempat yang dikunjungi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pelajaran tidak hanya didapat dari bangku sekolah saja. Justru guru utama dalam kehidupan kita adalah pengalaman berinteraksi menyusuri bentangan alam yang penuh misteri.
Dari perjalanannya, Ibn Batutah belajar tentang kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan politik. Sebagaimana dikatakan Ross E. Dunn, dia tidak pernah belajar geografi, tapi langsung mengamati potret geografis alam raya. Karenanya ke mana pun kita berjalan, seharusnya dapat menambah kapasitas intelektual kita.
Selanjutnya fungsi sosial budaya. Hal ini nampak jelas dalam catatan perjalanannya. Dia sering menggunakan redaksi “wal ‘aadah hunaalika annahu“, tradisi atau kebiasaan di sana adalah..dst. Sikap semacam ini perlu diperhatikan bagi kita para pelancong. Ketika berkunjung ke suatu tempat, perlu mempelajari budaya yang ada di sana, tidak asal membawa budaya daerah kita yang ternyata bertentangan dengan budaya di sana.
Meski demikian, bukan berarti kita harus melebur dengan budaya orang yang berbeda atau bertentangan dengan keyakinan kita. Sebagai contoh ketika Ibn Batutah diajak oleh Raja Jarjis masuk ke dalam gereja, dengan syarat semua orang yang masuk ke dalam gereja harus bersujud pada Salib Agung, Ibn Batutah memilih untuk tidak masuk ke dalam gereja.
Ia menegaskan, “ini adalah tradisi yang telah mengakar di lingkungan mereka. Aku tidak mungkin membantahnya. Aku memutuskan untuk tetap di tempat dan membiarkan Jarjis masuk ke dalam gereja sendirian.” Meski Batutah menghormati para biarawan Kristen, ia pun tidak luput tenggelam dengan peribadahannya. Ia mampu membedakan mana aspek sosial dan ritual.
Di sinilah pentingnya perjumpaan budaya agar saling mengenal dan menghormati. Hal sederhana, tapi bisa menimbulkan konflik tatkala kita tidak dapat membaca ‘situasi’ dan ‘kondisi’ tempat yang dikunjungi. Kepekaan kita sebagai makhluk sosial diuji. Terlebih, dalam budaya Melayu kita mengenal ungkapan, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dari perjalanan Ibn Batutah kita belajar dua hal sekaligus, bagaimana bertamu dengan bijak dan menyambut tamu dengan bajik.
The last but not least, perjalanan Ibn Batutah juga menunjukkan kepada kita fungsi healing dalam traveling. Dengan berjalan, ada self-therapy yang dapat membuat hati kita menjadi bahagia. Ibn Batutah sering mengekspresikan emosinya dalam perjalanan. Khususnya ungkapan kebahagiaan karena berjumpa dengan orang baik, menemukan kebudayaan yang unik, atau potret alam yang eksotik.
Sayangnya, era Batutah belum ada teknologi kamera untuk mengabadikan keindahan semesta abad itu. Meski demikian, dari untaian kata demi kata yang disusun, kita dapat berimajinasi betapa kota demi kota yang dikunjunginya penuh dengan ‘kemewahan’ yang menakjubkan.
Tiga abad setelahnya, muncul lagi traveler Muslim bernama Ibn Fadhlan, meski namanya tidak sepopuler Batutah. Ia menulis catatan perjalanannya dari Baghdad sampai ke Eropa Utara dalam kitab “Risalah Ibn Fadhlan: fi Wasf al-Rihlah ilaa Bilad al-Turk wa al-Khazar wa al-Ruus wa al-Shaqabilah”.
Boleh jadi ada banyak petualang Muslim lainnya, tetapi kita tidak mengenalnya karena tak ada dokumentasi tertulis. Di tengah kemajuan teknologi saat ini, rasanya kita lebih mampu untuk mengabadikan setiap momen perjalanan dan perjumpaan kita ke berbagai daerah. Jangan mau kalah dengan produktivitas dan semangat orang dahulu dalam melakukan perjalanan.
Jadi membayangkan bagaimana orang dulu menikmati perjalanan yang sangat lama, ya? Kita saja kadang masih menggerutu kalau mendengarkan musik versi spotify gratis-an ada iklannya, “Roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan juliet…”. Wallahu a’lam.