Diaspora orang Sumenep ke berbagai kota-kota besar di Indonesia membuka warung kelontong telah mencipta lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Tanpa banyak merengek, melalui laku simbolik sebenarnya mereka mengajukan gugatan, Negara bisa apa?

Bayangkan, mereka bekerja tak pernah membebani negara misalnya mengikuti pelatihan di BLK atau pelatihan kewirausahaan. Jadi mereka tidak menikmati APBN ataun APBD yang banyak digelontorkan untuk pelatihan jenis ini. Mereka mengumpulkan sendiri modal awal membuka warung kelomtomg, meski mungkin harus menjual barang berharga miliknya. Kalau pun ada sebagian yang pinjem ke Bank itu juga diurus sendiri. Hingga detik ini tak ada inisiasi Pemkab memberi kemudahan akses mengajukan kredit murah bagi perantau ke bank daerah, misalnya. Tak ada sodara. Wis angel. Malarat cong.

Tetapi mereka tidak manja. Tradisinya meminta mereka harus tahan banting. Dengan gigih dan semangat kemandiriannya, “abantal omba’ asapo’ angin” (berbantal ombak berselimut angin), “kar kar kar colpe'” (filosofi ayam kampung ketika mengais nakan), “apello koning” (berkeringat kuning), “abherenteng” (kerja keras), mereka membuka ruang ekonomi baru di tanah rantau karema peluang kerja kian sempit di daerahnya.

Makin hari, jumlah mereka yang merantau ke Jakarta makin tinggi. Seiring dengan hasil pertanian dan tangkapan ikan yang tak lagi mencukupi kebutuhannya. Seiring warung kelontong dan pasar tradisional diidaerahnya berhadapan dengan kian banyaknya swalayan yang merangsek (terutama a*f* mart dan i*d* mart) ke desa-desa. Dan belakangan ini seiring dengan habisnya banyak sawah, tanah tegalan dan pesisir yang dialihfungsikan atas nama investasi yang memang sedang habis habisnya dogenjot negara.

Kalau tidak gigih dan mandiri, bukan orang Madura namanya. Bisa dibayangkan gak? Ketika berangkat ke tanah rantau mereka sama sekal tak tahu medan, tak tahu lokasi. Jangankan jakarta, ada penjaga toko kelontong yang mungkin tak tahu kota di kabupatennya.

Di tanah rantau, untungnya ada saudara, tetangga, atau sahabat sesama warga Madura yang siap membantu. Mencarikan lokasi, memberi pengetahuan soal tata kelola warung kelontong, menunjukkan agen kemana mengambil kulakan barang dagangan, hingga kiat-kiat menghadapi preman ibu kota. Semua dipelajari secara komunal bersama saudara dan tetangganya. Negara bisa apa?

Sumbangan mereka bagi daerah jangan tanya. Berapa perputaran uang yang dibawa merwka dari rantau ke daerahnya? Meski tak ada data pasti, yang jelas sangat banyak. Bisa hitungan M (atau T?)dalam setahun. Tak masuk akal jika negara abai, tidak hadir dalam kehidupan mereka.
Mestinya negara (sebut saja Pemkab) harus bisa dong. Jumlah mereka yang sangat besar dan jaringan warung kelontong yang jumlahnya ribuan adalah kekuatan yang bisa dikembangkan tidak saja bagi perantau tapi juga untuk menggerakan ekonomi lokal di Sumenep. Ini kalau Pemkab mau serius. Caranya?

Pertama, mulai dari yang “sederhana”. Pemkab harus punya data yang valid, berapa jumlah pemilik dan penjaga warung kelontong, dimana saja sebaran mereka, dari kecamatan/desa mana saja mereka, dan seterusya sesuai kebutuhan data yang ingin diketahui. Ini penting kalau Pemkab betul-betul serius mau hadir menyapa mereka.

Kedua, pera perantau yang memiliki atau menjaga warung kelontong perlu wadah, asosiasi, paguyuban, serikat atau apapun namanya. Ini bisa diinisiasi Pemkab atau sebenarnya bisa diinisiasi pemilik warung kelontong sendiri. Mengingat pemilik kelontong banyak juga yang terdidik. Tentu peguyuban ini dibentuk bukan cuma sekedar jadi komunitas ekslusif para perantau, tapi untuk mengorganisir para perantau agar solid dan bisa lebih berperan bagi daerahnya.

Ketiga, jika ada serikat atau paguyuban Pemkab bisa menjadikan media ini sebagai ruang komunikasi dan sharing untuk menyapa mereka, hadir di tengah mereka, tahu kebutuhan mereka dan tahu harapan mereka. Pendeknya, Pemkab perlu serius memdesain komunikasinya agar produkif. Hindari komunikasi model birokra(t)si yang kaku, formal, dan selalu mengarahkan. Bangun komunikasi dari bawah. Biarkan mereka bicara, Pemkab sebaiknya mendemgar. Jika Pemkab basi-basi apalagi misalnya, hanya untuk memperoleh suara mereka untuk kepentingan politik orang/kelompok tertentu, mereka pasti akan menolak. Mereka sudah cerdas, apalagi para perantau sudah biasa di kota dan sedikit banyak dipengaruhi cara pikir kota yang salah satunya ditandai oleh sikap kritis.

Keempat, ajak mereka untuk membangun kemitraan, men-link-an jaringan warung kelontong dengan UKM yang memproduksi komoditi lokal. Ini kesempatan luar biasa untuk mengenalkan dan memasarkan produk lokal Sumenep ke gerai-gerai warung lokal yang bertebaran di nusantara. Bayangkan, 1000 saja warung kelontong menjadi etalase bagi produk lokal Sumenep, betapa dahsyatnya untuk menggerakkan perekonomian rakyat lokal di Sumenep. Saudaranya yang di rantau tajir, rakyat yang tidak merantau juga tajir.

Kelima, secara bersamaan Pemkab harus serius menggerakkan UKM atau industri berbasis rumah tangga. Tiap kecamatan atau bahkan desa memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Untuk menyebut contoh misalnya Krupuk, petis, terasi, gula merah, ikan kering, garam rakyat (tinggal ajari mereka bikin garam beryudium), rengginang, beras jagung (beras jagung Madura sudah tembus mini market di Mekah Lho), buah-buahan, jamu herbal, dan masih banyak yang lain, adalah kekayaan perekonomian rakyat yang bisa digerakkan. Mungkin tinggal moles dikit entah kemasannya atau bentuknya biar brand-nya kuat dan layak jual. Ini jauh lebih strategis dan penting dari sekedar gagasan pemkab mengundang investor datang ke sumenep untuk mengacak-acak lahan dan membangun sesuatu yang tak berdampak langsung bagi banyak orang di Sumenep.

Keenam, untuk mengorganisir peranrau dan menggerakkan ekonomi rakyat sekaligus pemda tak bisa berjalan sendiri. pemda perlu membuat blue print beserta roadmapnya dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, pesantren, pemilik warung kelontong, wakil kepala desa, dan kekuatan lainnya yang mau secara sukarela sharing soal ini. Modelnya bisa mengadakan workshop atau FGD berseri.

Itu tawaran saya. Semoga ada kemauan baik dari Pemkab dan semua pihak untuk sharing soal ini. Sehingga tak ada lagi pertanyaan, Negara bisa apa?

Sumenep, 20 Juni 2021

Artikel sebelumnya 

Komentar