Selain virus yang menyerang kesehatan, virus kebencian juga patut diwaspadai saat ini. Serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar saat ibadah Minggu sedang dilaksanakan pekan lalu menjadi tanda bahwa virus kebencian ini sudah mewabah. Seorang yang setiap hari ke masjid, membaca Al-Quran, dan hadir di majelis pengajian tidak menjamin dirinya terbebas dari virus yang mematikan hati ini.

Sebenarnya fenomena ini bukanlah hal yang baru. Dahulu Imam Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang muslim, hafal Quran, ahli tahajud dan rajin berpuasa. Dialah Abdurrahman bin Muljam. Tentu tidak bisa digeneralisasi bahwa semua orang yang ahli ibadah akan berpaham ekstrem seperti itu.

Namun, hal ini dapat menegaskan bahwa sikap ekstremis juga dapat muncul dari orang yang beragama. Sebab sikapnya tersebut didasarkan pada pemahaman keagamaan yang keliru. Oleh karena itu, sebelum terjerumus dalam paham tersebut, kita perlu mengenal tanda-tanda virus ekstremisme.

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama” memberikan diagnosis gejala ekstremisme dalam beragama.

Pertama, fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. Kalimat kuncinya adalah tidak mengakui pendapat lainnya. Tentu meyakini kebenaran pendapat pribadi adalah sah. Tetapi, hal ini menjadi tidak absah jika mengunci kebenaran milik kita semata.

Nah, agar tidak terjerumus pada fanatik buta, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengedepankan dialog dan berdiskusi, bukan main persekusi. Melalui dialog, kita akan mengenal keragaman pendapat. Kemauan mendengar pendapat lain penting untuk digalakkan. Bukankah ini adalah salah satu hikmah mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut?

Kedua, mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan Allah atas mereka atau memperberat yang tidak pada tempatnya. Padahal jelas bahwa salah satu substansi agama adalah menghendaki kemudahan. “Mudahkanlah olehmu dan jangan menyulitkan. Gembiralah dan jangan menyusahkan”, demikian sabda Nabi.

Sikap kasar dan keras adalah tanda-tanda ekstremisme selanjutnya. Dakwah yang dilakukan dengan kasar dan keras hanya akan melahirkan pemahaman yang kaku dan beringas terhadap yang berbeda pendapat. Karenanya Al-Quran melalui teladan Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana berdakwah dengan lemah lembut.

Sekiranya dakwah disampaikan dengan keras nan kasar, maka orang tidak akan terpikat dengan ajaran Islam. Bahkan kepada Fir’aun yang durhakanya sudah tingkat “tuhan” pun Nabi Musa diperintahkan untuk bertutur lemah lembut (qaulan layyina).

Tanda lainnya adalah buruk sangka terhadap manusia. Di mata seorang ekstremis, tidak ada kebenaran pada orang lain. Mengutip penuturan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, “yang penting bagi orang bersikap ekstrem dalam agama adalah menuduh”. Menuduh bid’ah dan sesat siapa pun yang tidak sesuai dengan pemahaman keagamaannya.

Padahal ulama terdahulu telah memberikan rumusan, “Sungguh aku selalu mencarikan alasan pembenaran bagi saudaraku sampai tujuh puluh kali. Setelah itu aku berkata: ‘Mungkin masih ada ulasan lain yang tidak kuketahui’”.

Gejala Ekstremisme

Puncak dari gejala ekstremisme adalah ketika seseorang telah terjerumus ke dalam jurang pengafiran. Dalam sejarah teologi Islam, fenomena pengafiran ini pernah dilakukan oleh kaum Khawarij yang salah satu pentolannya adalah Abdurrahman bin Muljam. Dengan logika bahwa orang lain sudah kafir, maka saat itu pula halal harta dan jiwa mereka. Di kala agama seharusnya menjaga kehidupan, seorang ekstremis justru berlomba untuk mati dan menyebabkan kematian orang-orang yang “dianggap” telah kafir.

Nah, memahami gejala-gejala tersebut, silakan introspeksi, apakah ada salah satu gejala yang menjangkiti hati kita? Jika iya, maka harus segera diobati sebelum terlambat. Salah satu caranya adalah dengan selektif menerima asupan informasi keagamaan.

Jika tulisan, tontonan dan tuntunan kita adalah Islam (yang) santun, maka pitutur kita pun akan menjadi santun, bukan? Silakan dilihat kembali playlist instagram atau youtube kita, lebih banyak ustaz yang mengajak untuk berkasih ataukah berselisih? Akal sehat kita sudah cukup untuk mengatakan “unfollow” tokoh yang menebar teror.

Komentar