“Dari mana, pak?” tanya penulis kepada seorang bapak di pintu masuk makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.

“Dari Karawang, Mas.”

“Rombongan?”

“Nggak. Cuma bawa keluarga.”

“Sudah berapa kali ziarah ke sini?”

“Ini yang ketiga kalinya.”

Demikian dialog penulis dengan peziarah saat melakuan ziarah Walisongo bersama keluarga awal tahun ini.

Dalam dialog singkat sambil lalu itu, sang bapak menjelaskan bahwa ziarah ke makam wali merupakan cara dia mendapat ketentraman hidup. Dia merasa dengan berziarah ke makam para wali, dia dan keluarganya merasa tenang dan damai. Pelbagai persoalan hidup dan kejenuhan yang muncul karena rutinitas kegiatan menjadi berhenti dan hilang saat berziarah.

“Rasanya seperti membasuh muka dengan air sejuk setelah berada di udara panas dan pengap.” Demikian pengakuan sang bapak kepada penulis.

“Memang apa yang bapak lakukan saat berziarah?”

“Kami hanya tahlil, baca yasin dan berdoa.”

“Hanya itu?” tanya penulis menyelidik.

“Ya nggak sih, setelah doa, kami kadang menyampaikan keluhan, perasaan dan berbagai uneg-uneg beban kehidupan sambil memohon kepada Allah.”

“Mengapa semua keluhan itu disampaiakan di makam, di hadapan orang yang sudah meninggal, bukan kepada mereka yang masih hidup; teman, saudara atau para tokoh?”

“Gak tahu mas, saat berziarah di makam para wali, saya merasa dapat menyampaikan uneg-uneg secara terbuka dan nyaman. Rasanya seperti berhadapan langsung dengan orang-orang suci yang sudah meninggal. Inilah yang membuat batin kami tenang. Saya merasa mendapat sesuatu yang positif setelah ziarah. Saya yakin itu adalah berkah dari Allah yang kami peroleh melalui para wali”

Jawaban panjang lebar bapak ini tidak saja mengungkapkan keyakinannya terhadap ziarah, tetapi juga merupakan cerminan bagaimanna rakyat biasa mencoba keluar dari berbagai tekanan dan beban kehiduapan dengan cara bijak yaitu melalui jalur spiritual. Jawaban-jawaban ini mengingatkan saya pada Gus Dur, ketika ditanya, mengapa Gus Dur ziarah ke malam wali? Dengan enteng namun tegas Gus Dur menjawab: “karena para wali dan orang-orang yang sudah mati yang tidak memiliki kepentingan.”

“Tidak takut dibilang musyrik dan sesat?” tanya penulis memancing.

“Nggak, mas. Semua kyai dan guru kami berziarah, kalau berziarah sesat tidak mungkin dilakukan para kyai dan guru-guru kami. Saya di sini kan kanya berdoa pada Allah bukan pada yang mati.”

“Kan berdoa bisa dari mana saja, kenapa harus di makam wali atau makam keramat, bukannya malah boros, buang ongkos dan waktu?”

“Iya sih, tapi hati dan perasaan tidak bisa dibohongi. Kami merasa mendapat ketenangan dan ketentraman batin saat berziarah, makanya kami tidak pernah menghitung ongkos dan merasa rugi buang-buang waktu untuk berziarah.  Saya juga merasa iman saya bertambah saat berziarah,” jawabnya.

*

Penjelasan in sampaikan secara spontan dan penuh keyakinan. Dari gestur dan gaya bicara, penulis melihat apa yang disampaikan bukan basa-basi tetapi ekspresi yag tulus. Apalagi dialog itu kami sampaikan secara santai, terbuka dan penuh kekraban tanpa ada kesan formal sebagaimana layaknya peneliti yang sedang riset.

Dari obrolan singkat ini, penulis menangkap, beginiah cara beragama rakyat biasa. Mereka tidak perlu dalil yang rumit dan detail untuk melaksanakan ajaran agamanya. Mereka menjadikan petuah kyai sebagai pegangan dan laku hidup para guru sebagai teladan dalam mengamalkan agama. Bagi mereka ucapan dan perbuatan kyai dan guru adalah dalil dan pentunjuk melaksanakan kehidupan. Inilah yang membuat mereka tidak pernah bertanya dalil dalam setiap melaksanakan amalan ibadah.

Kondisi seperti ini dipahami oleh para kyai dan ulama yang jadi panutan rakyat biasa. Inilah yang menyebabkan mereka tidak mudah bicara dan bertindak sembarangan, karena sadar ucapan dan tidakan mereka akan diikuti dan jadi pegangan umat. Para kyai tidak mudah obral dalil dalam menanggapi dan menyelesaikan persoalan hidup maupun memberikan tuntunan ibadah. Mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan simbol-simbol dan dalil agama, karena takut disalahgunakan, khawatir terjebak dalam sikap khianat, yaitu tindakan mencampur agama dengan ambisi pribadi, mengatasnamakan agama untuk kepentingan diri sendiri.

Mereka juga tidak menghakimi, menyalahkan apalagi menyesatkan amalan agama yang dilakukan oleh masyarakat. Jika ada amalan (tradisi) yang dirasa kuranag cocok, para ulama dan kyai Nusantara tidak langsung menghujat dan menolak amalan tersebut, tetapi membenahinya dengan memasukkan ajaran dan nilai-nilai Islam pada amalan terebut. Dengan kata lain, mereka menggunakan amalan tersebut sebagai sarana mengajarkan dan mengamalkan ajaran Islam kepada masyarakat.

Inilah cara menjaga dan merawat iman masrakat yang dilakaukan oleh para kyai. Mereka tidak begitu saja menghancurkan tradisi yang dianggap salah. Mereka tidak berteriak-teriak di mimbar mengancam dan menakut-nakuti masyarakat sambil mencaci maki dan menebar kebencian kepada kelompok lain yang tidak sepaham.  Dengan cara ini rakyat awam tidak saja mudah menerima ajaran Islam secara damai, teduh dan sejuk, tetapi juga terbangun akhlakul karimah yang penuh kearifan. Sikap santun, sejuk dan arif para kyai ini ditiru oleh umatnya, sehingga keberagamaan umat menjadi sejuk santun dan arif, sebagaimana tercermin dalam pernyataan  peziarah dalam dialog di atas.

Selain sebagai cara memeroleh ketenangan hidup, berziarah juga menjadi sarana menjaga iman rakyat biasa (masyarakat awam), karena dengan cara ini mereka dapat memperkuat kepercayaannya kepada Allah. Ini artinya, ziarah merupakan mekanisme kultural untuk meningkatkan keimanan umat. Ziarah telah menjadi vaksin kultural yang dapat meningkatkan imunitas iman masyarakat. Melalui vaksin kultural ziarah, rakyat biasa memiliki ketahanan iman yang dapat menolak virus radikalisme dan fundamentalisme agama.

Vaksin kutural ini telah ditanamkan oleh para kyai dan ulama Nusantara kepada masyarakat melalui laku hidup yang santun, sejuk dan arif. Bukan melalui retorika dalil yang penuh ancaman, provokasi, caci maki dan ujaran kebencian.

Komentar