Fenomena naiknya sosok seperti Zohran Mamdani (usia 34 tahun, Wali Kota terpilih 5 Nov 2025) di New York, bukan hanya kisah tentang terpilihnya seorang politisi muda dari kalangan muslim di wilayah kekuasaan Amerika.
Sekilas, ia tampak sebagai representasi keberagaman. Tapi pada kedalaman yang lebih serius, kehadiran Zohran menandakan pergeseran etika politik demokrasi Amerika.
Politik muslim yang muncul di sini bukan politik syariah (tidak berbicara tentang hal-hal beraroma syariah), tetapi politik etika sosial sebagai struktur hukum. Ia menempatkan martabat manusia sebagai dasar legitimasi tindakan politik. Dari isu perumahan yang layak, akses kesehatan yang setara, hingga pembelaan terhadap pekerja imigran, politik ini “bukan politik identitas”, tetapi “politik nilai”.
Kita bisa mengerti mengapa peristiwa ini menarik dan penting, dengan cara melihat kembali sejarah Amerika. Amerika itu didirikan dan dibangun di atas dua sisi. Sisi pertama adalah cita-cita kebebasan dan persamaan, sementara sisi kedua adalah warisan kolonialisme dan perbudakan.
Nilai-nilai luhur itu tidak pernah sepenuhnya diwujudkan, tetapi menjadi janji yang terus menuntut pembaruan. Lalu terjadilah tragedi serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat. Pada hari itu, sekelompok anggota jaringan teroris Al-Qaeda membajak empat pesawat penumpang.
Dua di antaranya diterbangkan menabrak menara kembar World Trade Center di New York, menyebabkan kedua menara runtuh. Satu pesawat menabrak Gedung Pentagon (markas militer AS), dan satu lagi jatuh di Pennsylvania setelah penumpang berusaha merebut kendali.
Lebih dari 3.000 orang tewas.
Peristiwa ini mengguncang dunia dan meninggalkan trauma yang sangat dalam bagi masyarakat Amerika. Setelah kejadian itu, isu keamanan nasional dan kecurigaan terhadap muslim meningkat tajam. Pemerintah memperketat pengawasan, dan banyak warga muslim di Amerika mengalami diskriminasi sistemik, baik dalam hukum, media, maupun kehidupan sosial sehari-hari.
Ketika itu, identitas muslim secara sistematis ditempatkan dalam posisi terduga. Rumah ibadah diawasi, komunitas dimata-matai, dan konsep “muslim” direduksi menjadi simbol ancaman. Amerika saat itu hidup dalam bayangan trauma kolektif, dan trauma membuat masyarakat mencari musuh yang terlihat. Ini adalah masa ketika rasionalitas politik terdistorsi oleh rasa takut.
Sejarah baik berulang
Namun sejarah bergerak. Trauma tentu tidak pernah menghilang begitu saja, tetapi ia bisa ditafsir ulang lewat generasi baru yang “tidak mewarisi ketakutan”, melainkan mewarisi pertanyaan. Inilah yang terjadi di New York hari ini. Generasi muda, termasuk yang muslim, tidak tumbuh dari cara pandang yang defensif -“kami bukan ancaman”-, tetapi dari logika partisipatif -“kami ikut menulis masa depan”-.
Akhirnya perubahan terjadi, seperti yang kita saksikan hari ini. Identitas tidak lagi menjadi mekanisme pertahanan diri, tetapi sumber daya moral untuk mendorong keadilan sosial. Mereka paham bahwa luka sejarah hanya dapat dipulihkan ketika manusia yang pernah diremehkan diberi ruang untuk berbicara dan membentuk arah kebijakan.
Amerika hari ini berada dalam persimpangan. Di satu sisi, terdapat warisan sistem sosial yang masih menyimpan bias rasial dan ketimpangan ekonomi. Di sisi lain, muncul gelombang baru politik akar rumput yang tumbuh dari Queens, Brooklyn, dan distrik-distrik multietnik lainnya, gelombang yang menyangkal asumsi lama, bahwa kekuasaan hanya milik mereka yang lahir dari lingkaran elit.
Dari sinilah Zohran Mamdani muncul, bukan dari kaum elit, bukan dari dinasti politik, tetapi dari komunitas kelas pekerja yang memahami secara konkret apa arti bertahan hidup.
Jika kecenderungan ini terus berlanjut, Amerika di masa depan tidak lagi didefinisikan oleh kekuasaan mayoritas, tetapi oleh kemampuan merawat pluralitas. Amerika yang akan datang adalah Amerika yang menjadikan solidaritas, bukan homogenitas, sebagai titik berangkat kehidupan bersama.
Dan ini bukan perubahan kecil. Ini adalah pergeseran dari demokrasi yang berpusat pada dominasi, menuju demokrasi yang berpusat pada martabat manusia.
Karena itu, kehadiran Zohran Mamdani bukan semata-mata tentang keberhasilan politik seorang muslim. Ini adalah pemulihan etika publik, yang menunjukkan bahwa politik yang paling jujur adalah politik yang kembali kepada manusia. Artinya, hal ini berdampak pada pandangan, bahwa rumah bukan barang mewah, kesehatan bukan hadiah, dan kehidupan layak bukan utopia.
Identitas mungkin menjadi pintu masuk, tetapi hanya nilai yang menjadikan seseorang memiliki tempat dalam sejarah.
Dan pada akhirnya, pelajaran terbesar dari fenomena ini adalah bahwa sejarah selalu bergerak ketika suara yang paling lama diremehkan akhirnya berbicara, dan masyarakat memilih untuk mendengarkan.
Amerika mungkin pernah salah membaca Islam. Tetapi bangsa yang mampu menafsir ulang traumanya, mengakui kesalahannya, dan belajar dari suaranya yang dulu dibungkam, itulah bangsa yang masih memiliki masa depan.

