Catatan Perjalanan Anjangsana Pancasila #1
Tanggal 23 sd 26 Agustus 2020 saya diajak BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) melakukan anjangsana ke keberapa daerah di Jawa Tengah untuk mengunjungi beberapa komunitas yang telah melakukan berbagai praktek pengamalan Pancasila. Membersamai kami dalam anjangsana ini, Wakil Kepala BPIP, Prof. Hayono, Deputy Pengkajian dan Materi yang sekaligus menjadi Plt. Deputi Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi dan Jaringan; Prof. FX. Adji Samekto, Stafsus Ketua Dewan Pengarah; Iman Partogi hasiholan dan Dr. Lia Kian, Direktur Pembudayaan Pancasila; Irene Camelyn Sinaga, serta ketua Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI); Nia Syarifudin.
Hari perama kami melakukan anjangsana dengan komunitas yang aktif dalam gerakan lintas iman, lintas budaya, diantaranya Komunitas Rumah Pancasila, FKUB, Rumah Bhinneka Solo dan sebagainya. Di gedung pertemuan Bakesbangpol Jawa Tengah ini, kami melakukan sharing informasi dan tukar pengalaman dalam menjalankan praktek hidup berpancasila. Pada sesi ini saya benar-benar melihat Pancasila sebagai sesuatu yang hidup dan nyata, bukan sekedar deretan huruf dan kata-kata atau sekedar mantra. Tak ada sekat yang memisahkan diantara mereka. Perbedaan yang ada bukan untuk saling menegasikan dan memisahkan, tetapi justru menjadi keindahan dan kekuatan.
Seperti dikisahkan Ibu Maria, salah seorang aktivis Kebhinekaan dari Solo, yang melakukan gerakan merajut perpecahan dengan membuat gerakan sederhana, mengajak nyanyi dan menari bersama. Bermula dari 9 orang kemudian menyebar ke lingkungan sekitar sampai akhirnya menjadi gerakan kebudayaan yang bisa menyatukan banyak orang dengan berbagai perbedaan latar belakang.
Demikian juga Pak Taslim, penggerak FKUB yang ada di Semarang yang menggerakkan para tokoh lintas iman untuk bersilaturrahim dan berbagi bantuan kepada sesama di beberapa kota di Jawa Tengah. Dia menjelaskan bagaimana para tokoh lintas agama dan iman ini selalu keliling ke beberapa daerah untuk memberikan bantuan sekaligus berdialog, menyambung persaudaraan baik dengan sesama tokoh maupun dengan masyarakat.
Ada juga anak muda dari Solo yang aktif menggerakkan para pemuda untuk bergerak menebarkan damai dan semangat persatuan dalam keberagaman. Bersama dengan teman-teman lintas iman dan budaya dia membuat aktivitas pelatihan medsos, berkesenian dan sejenisnya yang mempertautkan semanagat persaudaraan anak-anak muda. Selain itu ada juga para mahasiswa yang memberikan komentar dan pikirannya menanggapi realias kehidupan berpancasila.
Setelah itu, kami mengunjungi Rumah Pancasila yang ada di kawasan Tawangmas, Semarang Barat. Lembaga ini didirikan oleh seorang pengacara yang sekaligus juga aktivis kemanusian Yosef Parera. Di sini kami merasa Pancasila menjadi semakin nyata, karena bisa melihat langsung kegiatan pengamalan Pancasila dalam berbagai praktek kehidupan. Mulai dari berkesenian, pendidikan, dialog dan diskusi, sampai memberikan bantuan langsung pada masyarakat yang menghadapi berbagai kesulitas; mulai yang terkena kasus hukum sampai kesulitan ekonomi.
Kami datang disambut dengan grup musik yang menyanyikan lagu-lagu yang sarat dengan pesan Pancasila. “Melalui lagu-lagu ini kami menyampaikan pesan mengenai nilai-nilai Pancasila” jelas Yosef kepada kami. Dia juga sempat menjelaskan beberapa makna syair dari lagu yang dinyanyikan. “Saya biasa memberikan orasi di sela-sela lagu untuk menegaskan makna dan isi lagu supaya pesan yang ada lebih mudah dipahami dan diterima” lanjut Yosef.
Rumah Pancasila ini tidak hanya tempat berkumpul para tokoh, mahasiswa, akademisi atau aktivis, tapi siapa saja, bahkan rakyat jelata sekalipun, bisa masuk ke Rumah Pancasila secara bebas dan nyaman. Saat pertama memasuki rumah ini, hati dan perasaan saya sudah bergetar merasakan bagaimana nyaman dan damianya rumah itu. Suasana guyub, rukun, penuh kasih dan perhatian terasa kuat menyentuh hati kami. Kami melihat wujud Pancasila menjadi semakin nyata katika mas Yosef menunjukkan beberapa gambar video kegiatan Rumah Pancasila
Waktu menunjukkan beberapa kegiatan diskusi dengan mahasiswa dan para aktivis yang disiarkan secara live, saya masih merasa itu biasa-biasa saja. Demikian juga saat ditunjukan beberapa kegiatan kampanye perdamaian dan kebangsaan melakui pagelaran musik dan orasi, saya merasa masih bisasa-biasa saja karena hal itu juga sering saya lakukan. Tetapi ketika ditunjukkan kegiatan saat Rumah Pancasila memberikan bantuan hukum dan advokasi kepada kaum rentan yang selama ini dipinggirkan dan harus menjalani hukuman karena ketidakberdayaan mereka, saya mulai tersentuh.
Yang lebih menyentuh, advokasi tidak diberikan hanya dalam bentuk yuridis (proses hukum) tetapi juga pendampingan dan ekonimi keluarga. Dalam konteks ini, Rumah Pancasila memberikan bantuan materi pada keluarga yang terkena kasus hukum. Hal ini tidak hanya dilakukan di Semarang, tapi sampai ke daerah lain seperti Jawa Barat dan tempat-tempat lain di Indonesia. Seperti yang dilakukan terhadap seseorang di Ambon yang terkena kasus hukum saat bekerja untuk membelikan sepada motor anaknya agar bisa sekolah, karena tempat tinggalnya yang jauh di pedalaman. Atas kasus ini, Rumah Pancasila datanga ke Ambon memberikan bantuan dengan membelikan sepeda motor untuk sang anak agar bisa sekolah.
Kepakan “sayap Pancasila” semakin terlihat nyata melindungi rakyat jelata ketika Yosef menunjukkan gambar-gambat Rumah Pancasila melakukan kegiatan membangun rumah orang-orang miskin yang kumuh dan kotor, mengunjungi rumah-rumah jompo untuk mengajak mereka ngobrol mengusir kesepian di hari tua, sehingga mereka bisa merasa bahagia. Tak hanya itu, Rumah Pancasila juga datang ke lembaga pemasyarakatan (LP) untuk memberikan bantuan kepada warga binaan dengan membelikan alat destilasi air agar mereka bisa minum air yang bersih dan sehat. “Saat saya berkunjung ke LP Kedungpane, Semarang, saya mendapat ceritera banyak warga binaan yang sering sakit perut karena minum air sumur. Ini terpaksa dilakukan karena mereka tidak mampu membeli air kemasan yang bersih. Atas kejadian ini kemudian kami izin kepada petugas lapas untuk membelikan mesin destilasi air. Puji syukur, sekarang mereka sudah bisa minum air bersih” demikian Yosef memberikan penjelasan pada kami.
Tak hanya itu, Rumah Pancasila juga aktif memberikan binaan kepada masyarakat yang tianggal di kolong jembatan dan kolong langit (komplek rumah kumuh). Memberikan beasiswa pada anak-anak yang putus sekolah, memberikan pengajian dan pendidikan tambahan pada anak-anak mereka dengan melibatkan relawan dari mahasiswa. Semua dilakukan dengan penuh suka cita, tanpa membedakan agama dan latar belakang sosial.
Menariknya, rumah Pancasila tidak hanya turun ke bawah, tetapi juga bergerak vertikal memberikan masukan kepada pembuat kebijakan yang ada di Semarang dan Jawa Tengah. Mereka menyerap aspirasi, menampung keluhan dan keinginan masyarakat, merumuskan dan kemudian menyampaikan kepada pembuat kebijakan; DPRD maupun Wali Kota dan Gubernur. Dengan demikian Rumah Pancasila benar-benar menjadi jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah.
Semua kegiatan ini dilakukan dengan dana gorong-royong, hanya mengandalkan kepedulian dan sumbangan dari sesama warga bangsa. “Kami Tak pernah bikin proposal minta bantuan ke pemerintah, tapi kami menerima kalau ada bantuan dari pemetintah” kata Yosef menegaskan. “Banyak prosedur dan aturan formal yang harus dilalui kalau mengnadalkan bantuan pemerintah, maka kami tidak terlalu berharap banyak pada pemerintah. Kami tidak ingin membebani pemerintah, tapi ini bukan berarti mengabaikan pemerintah. Mungkin pemerintah terlalu sibuk dan banyak yang diurus sehingga belum bisa menjangkau mereka yang ada di bawah. Daripada kita sibuk menghujat pemerintah, lebih baik melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk rakyat” Demikian Yosef memberikan penjelasan pada kami. “Pancasila itu sederhana, jika kita berbuat baik pada sesama sudah pasti itu Pancasila” Tegasya lebih lanjut.
Satu hal hal membuat saya benar-benar surprise dan terharu, sehingga membuat kami menitikkan air mata adalah kehadiran saudara-saudara kami ex-teroris. Menurut pengakuan mereka, mereka merasa nyaman dan diperhatikan saat berada di rumah Pancasila. Bagi saya ini suatu capaian yang luar biasa. Seorang mantan teoris bisa merasa nyaman berada dalam komunitas yang dipimpin oleh seorang non muslim. Bahkan mereka percaya, pada komunitas tersebut sebagai partner untuk melakukan kegiatan sosial membina warga ex-teroris. Hari itu kami tidak hanya melihat Pancasila itu ada dan nyata, tapi juga benar-benar belajar mengepakkan sayat Pancasila melampaui perbedaan, tanpa harus menghilangkankan perbedaan itu sendiri.**** (Bersambung)