Khoiris Sholikhin*
“Lebih baik datang 3 jam lebih awal daripada terlambat 1 menit”, itulah yang dikatakan oleh William Shakespeare yang merupakan sesorang penulis sekaligus salah satu sastrawan terbesar Inggris.
Tampaknya kata-kata tersebut berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi pada mahasiswa IAIN Surakarta, mungkin kalimat “lebih baik terlambat 3 jam dari pada datang 1 menit lebih awal” lebih pas jika di sandangkan pada mahasiswa yang ada disini sebagai majas hiperbolanya.
Fenomena jam karet tampaknya sudah membudaya di kampus yang diklaim sebagai kampus penerus estafet pendidikan kesultanan Surakarta ini. Fenomena ini mewabah baik dari lingkup intra atau internal kampus hingga lingkup organisasi eksternal kampus, dari lingkup organisasi HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) hingga ke DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa) Institutnya.
Entah apa yang mendasari dan sejarah dibaliknya, yang pasti terlambat 30 Menit hingga 1 jam merupakan hal yang sudah sangat lumrah terjadi di kampus makmur ini. “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali” mungkin kata-kata ini hadir dari salah satu mereka yang terlambat, sayangnya pemahaman ini terlalu dangkal jika menjadikan kebiasaan buruk ada untuk terus diulang, Pengalaman seolah menjelma menjadi guru yang buruk jika hadir untuk menampung kesalahan yang sama.
Beberapa waktu lalu beberapa dari kita mungkin telah mendengar berita yang hadir dari Jepang, dimana ada salah skandal yang disebabkan oleh salah satu menterinya yang terlambat 3 menit ketika menghadiri acara parlamen. yaitu Yoshtaka Sakurada, merupakan seorang menteri yang mendapat rangkaian protes dari para oposisi dan public karena keterlambatannya (Tribun Pontianak, 17 Maret 2019). Begitulah faktanya, negara yang akrab dengan sapaan negri sakura ini memang terkenal dengan disiplin waktu dan teratur dalam menjalani kesehariannya, sangat jauh bila dibandingkan dengan Indonesia.
Kebiasaan waktu karet di bebagai kampus secara spesifik terjadi pada ormawa (organisasi mahasiswa) baik dalam maupun luar kampusnya. Sejauh ini, menurut saya belum ada perhatian khusus untuk memutus kebiasaan yang membudaya dengan cepat ini, entah kurangnya ide atau memang mereka yang memiliki ide tetapi tidak mau mendiseminasikan pemikirnnya tersebut memperparah estafet budaya jam karet di kampus ini. Mereka yang terbiasa terlambat dalam menghadiri acara atau rapat-rapat dalam organisasi akan semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya tersebut, ditambah lagi mereka yang awalnya mengupayakan untuk konsisten bersikap disiplin malah ikut-ikutan dengan kebiasaan jam karet ini.
Berbagai alasan muncul dari mulut mereka yang terlambat dalam mengahadiri rapat organisasi, mulai dari ketiduran, hujan, dan berbagai alasan lain yang seharusnya bisa diatasi secara baik melalui pengalaman empiris yang lalu-lalu.
Tidak masuk akal sekiranya jika alasan-alasan diatas terus terjadi di setiap diadakannya kegiatan rapat maupun pelaksanaan proker organisasi, dengan kata lain adanya unsur kesengajaan oleh para pelaku untuk terlambat.
Malangnya belakangan ini kebiasaan jam karet dilakukan oleh sebagian besar dari anggota suatu organisasi. Relasi antara sikap menghargai waktu dan kemajuan suatu organisasi dalam menjalankan tugas-tugasnya begitu erat, suatu kegiatan organisasi mungkin saja mengalami permasalahan berupa persiapan yang kurang matang karena banyaknya penundaan agenda yang disebabkan oleh ketidak seriusan anggota terhadap penghargaan kepada waktu.
Kurangnya kedisiplinan tampaknya menjadi dasar mengapa para anggota organisasi melakukan hal ini, karna tidak ada ketegasan terhadap mereka yang terlambat membuat kebiasaan ini menjamur di kalangan mahasiswa. Kebiasaan jam karet akan terus stasioner jika tidak ada tindak tegas serta komitmen penuh untuk berupaya merekonstruksinya.
Hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan hanya untuk menunggu mereka yang tidak mempunyai skala prioritas terhadap waktu, karna waktu akan terus berlalu tanpa peduli apapun yang terjadi. Membuat surat perjanjian dengan diikuti sosialisasi dari pihak atasan secara berkala tentang komitmen organisasi untuk mengentas kebiasaan jam karet sebenarnya mampu meminimalisir kebiasaan ini.
Memberikan hukuman secara tegas juga perlu untuk memberikan efek jera kepada pelaku. selain itu, hal ini juga bisa memberikan kesan bahwa kita tidak main-main dalam mengupayakan hal tersebut kepada anggota yang lain. Karena tanpa memberikan hukuman kepada pihak yang salah akan menimbulkan kesan merugikan yang timbul di benak anggota lain. Jika memang salah satu anggota tidak bisa berkomitmen tentang hal tersebut, misal dengan melakukan keterlambatan secara estafet, maka mengeluarkan dari anggotaan lebih baik dari pada kebiasaan itu menjadi budaya yang buruk terhadap perkembangan suatu organisasi.