YOGYAKARTA, – Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Prof. Dr. Phil Kamaruddin Amin, MA, ungkap ada tiga perbedaan mendasar dari tiga versi Islam yang harus kita pahami.
Pertama adalah versi sumber otoritas, kedua adalah pemahaman ulama tentang Alquran dan Sunnah, dan yang ketiga adalah bagaimana Islam diamalkan dalam kehidupan sehari-hari serta bagaimana ia memengaruhi pandangan dunia dan perilaku sosial.
“Kalau kita bicara Alquran, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran. Tidak ada satu pun Alquran di dunia ini yang berbeda dari yang lainnya. Bahkan Quran yang dibaca oleh Sunni maupun Syiah itu identik. Tidak ada perbedaannya sama sekali,” katanya dalam International Conference on Religious Moderation (ICROM) di Yogyakarta pada Kamis (24/8/2023) malam.
“Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Alquran Syiah berbeda dengan Alquran Sunni, itu salah,” tambahnya.
Dia menegaskan bahwa Al-Qu’ran adalah satu-satunya Al-Qu’ran di dunia, tidak ada variasi. Fondasinya kokoh. Bahkan ditekankan oleh ayat dalam Alquran sendiri yang menyatakan bahwa Allah akan menjaga Alquran.
“Karena memang Allah menjamin di dalam Alquran,. Jadi (Alquran) pasti akan dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala,” lanjutnya.
Namun, ketika memasuki ranah Sunnah, perbedaan antara Sunni dan Syiah mulai muncul.
Kamarudin menjelaskan mereka menggunakan sumber otoritas yang sama, namun interpretasinya beragam.
Berbagai ulama dalam sejarah peradaban, katanya, berusaha memahami dan memaknai Al-Qur’an dalam ribuan halaman karya, menghasilkan perbedaan pemahaman dalam versi kedua ini. Ini adalah sumber perbedaan yang signifikan dalam pemahaman Islam.
“Di sini mulai terjadi perbedaan fundamental, terutama antara Sunni dan Syiah. Ahlus-sunnah memiliki Kutubus Sittah. Sementara Syiah punya Kutub Arba’ah yang tidak saling mengenal,” tuturnya.
Prof. Kamarudin Amin kemudian menggarisbawahi pentingnya melihat bagaimana Islam diamalkan dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.
Islam tidak hanya sekadar pemahaman dan interpretasi, tetapi bagaimana nilai-nilai tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan mewarnai peradaban.
Dalam versi ketiga ini, kata dia, terlihat asimilasi antara tradisi lokal dan Islam, yang menciptakan keberagaman dalam praktik agama di berbagai belahan dunia.
Dalam konteks ini, ia menyoroti kesalahan umum yang dibuat oleh banyak pengamat Barat yang hanya memahami Islam dari versi ketiga, yaitu bagaimana Islam diamalkan di berbagai komunitas.
Ini adalah perspektif yang sangat terbatas, karena untuk memahami Islam secara menyeluruh, kita perlu mempertimbangkan semua tiga versi tersebut.
“Banyak pengamat keliru terutama pengamat Barat ketika mengamati Islam. Mereka melihat bagaimana Islam diamalkan dan dipraktekkan, misalnya di Timur Tengah. Kemudian dia (ilmuwan Barat) memberikan jawaban bahwa Islam itu ya, seperti yang di Timur Tengah itu. Atau bagaimana Islam itu di Asia Selatan, atau melihat Islam itu di Indonesia atau di mana saja. Dia hanya melihat dari versi yang ketiga,” tegasnya.
“Padahal untuk melihat Islam harus kita lihat dari tiga versi tadi. Ini yang sering menjadi kesalahan para penerus para sarjana, apalagi orang awam yang kadang kadang tidak bisa membedakan,” lanjut Kamarudin.
International Conference on Religious Moderation (ICROM) 2023 ini sendiri digelar eBI bersama dengan Bimas Islam Kementerian Agama, yang bekerjasama dengan Bincang Syariah, Islami.co dan didukung oleh mitra strategis seperti LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, CRCS UGM, Mojok.co, hingga The International Partnership on Religious and Sustainable Development (PaRD) untuk menjadi wadah para akademisi hingga praktisi di bidang moderasi beragama, khususnya dalam konteks pengelolaan keragaman paham keagamaan di ruang publik
Panitia ICROM 2023
Narahubung
Zein (0821-6830-7959).
Dedik (087781676060).