Di Indonesia, dalam konteks sosial keagamaan, lembaga pendidikan nonformal seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan Taman Pendidikan Anak (TPA) memiliki peran vital sebagai ruang pembinaan moral dan spiritual anak. Namun, di tengah derasnya arus pendidikan formal dan teknologi yang mendominasi, keberlanjutan serta relevansi lembaga keagamaan semacam ini kerap menghadapi tantangan.

Fenomena ini menjadi titik refleksi utama dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Raden Mas Said Surakarta pada Minggu, 9 November 2025, dengan tema “Pemetaan Aset dan Potensi Organisasi Sosial Keagamaan.”

FGD ini menghadirkan K. Muslih, S.Pd., M.A, seorang praktisi pendidikan yang selama ini aktif mengembangkan inovasi pembelajaran keagamaan berbasis potensi anak. Dalam paparannya, beliau mengangkat isu penting mengenai After School Program—sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengalihkan waktu luang anak-anak ke dalam kegiatan positif dan produktif, sekaligus sebagai strategi mengurangi risiko pekerja anak.

FGD yang terselnggara di Pondok Pesantren Al Musthofa Karangduren, Sawit, Boyolali ini  dihadiri oleh adan Koordinasi Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (Badko LPQ) se-Soloraya berlangsung khidmat, para peserta menunjukkan antusiasnya dalam menyelami dan menyempaikan permasalahan yang dialami dalam hal pemetaan aset dan pontensi.

Tantangan Pendidikan Keagamaan di Era Modern

Muslih menyoroti kenyataan bahwa ketika anak-anak memasuki usia remaja, khususnya di tingkat SMP, minat terhadap kegiatan TPQ mulai menurun. Perhatian orang tua pun lebih banyak terfokus pada pendidikan formal di sekolah umum. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan formal, baik dalam hal metode, orientasi, maupun penghargaan terhadap peran guru-guru TPQ.

“Banyak orang tua menganggap TPQ hanya pelengkap, bukan kebutuhan utama anak,” ujarnya dalam FGD tersebut. Pernyataan ini menggambarkan pergeseran nilai di masyarakat, di mana pendidikan agama sering kali diletakkan di posisi sekunder.

Selain faktor perhatian, kesejahteraan guru TPQ yang masih sering dianggap pekerjaan sambilan juga menjadi kendala serius. Dalam diskusi, salah satu peserta, Mas Aji, mengungkapkan bahwa kondisi tersebut berpengaruh langsung pada kualitas dan konsistensi pembelajaran. “Selama mengajar di TPQ masih dianggap sambilan, sulit bagi kita untuk mencapai hasil maksimal,” ujarnya.

Dari Konsumen Pengetahuan Menjadi Produsen Pengetahuan

Menjawab tantangan itu, K. Muslih menawarkan pendekatan baru dalam pendidikan anak di lembaga keagamaan, yakni product-based learning atau pembelajaran berorientasi hasil. Setiap proses belajar diarahkan agar anak tidak sekadar menerima pengetahuan, tetapi mampu menghasilkan karya yang konkret. Misalnya, pembelajaran Bahasa Inggris di TPQ dikemas secara menyenangkan dengan hasil akhir berupa produk visual seperti gambar kosakata.

Kegiatan mewarnai gambar masjid, menulis Asmaul Husna, membuat kaligrafi, hingga menulis puisi menjadi bagian dari metode kreatif yang tidak hanya mengasah pengetahuan agama, tetapi juga membangun kepercayaan diri anak.

“Substansi mengajar anak-anak adalah membuat mereka percaya diri. Karena itu, setiap pembelajaran harus menghasilkan produk,” tegas K. Muslih. Pendekatan semacam ini tidak hanya memberi makna baru pada proses belajar agama, tetapi juga membuka ruang bagi anak untuk menjadi produsen pengetahuan—mereka yang mencipta dan memaknai apa yang dipelajari, bukan sekadar menghafal.

Pendidikan Keagamaan yang Inklusif dan Berkelanjutan

FGD tersebut juga membuka ruang dialog antarpraktisi dan penggerak TPQ. Salah satu peserta, Mbak Hanik, menanyakan strategi membudayakan ngaji ba’da Magrib dan efektivitas TPQ yang hanya berlangsung seminggu sekali. Menanggapi hal itu, K. Muslih menekankan bahwa membangun budaya Qur’ani tidak bisa dilakukan dengan paksaan. “Meng-Qur’anisasi masyarakat bukanlah pekerjaan memaksa, tetapi mengajak dengan pendekatan ke orang tua dan perangkat desa,” ujarnya.

Pendekatan persuasif ini penting agar pendidikan agama dapat terintegrasi dengan kehidupan masyarakat secara alami. Upaya ini bukan hanya menciptakan peserta didik yang taat beragama, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi belajar agama di tengah keluarga dan lingkungan.

Menariknya, setiap kegiatan pembelajaran dalam model yang dikembangkan K. Muslih selalu didokumentasikan, mulai dari proses hingga hasil akhir. Pada akhir semester, diadakan eksibisi karya anak-anak. Dengan demikian, proses belajar tidak berhenti di ruang kelas, tetapi berkembang menjadi perayaan atas kreativitas dan pertumbuhan diri.

Model ini memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan dapat menjadi ruang yang inspiratif dan menyenangkan bagi anak. Tidak hanya mengajarkan huruf dan bacaan Al-Qur’an, tetapi juga menumbuhkan nilai estetika, ekspresi diri, dan kebanggaan atas karya sendiri.

Melalui kegiatan seperti FGD ini, Usnan, S.E.I., M.E.I, selaku penanggung jawab kegiatan menegaskan komitmennya dalam memperkuat kapasitas organisasi sosial keagamaan di tingkat akar rumput. Pemetaan aset dan potensi lembaga keagamaan bukan sekadar pendataan, tetapi langkah strategis dalam membangun model pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada nilai, kreativitas, dan spiritualitas.

Dalam konteks yang lebih luas, pembaruan metode pendidikan di TPQ dan lembaga sejenis menjadi keniscayaan. Pendidikan keagamaan perlu bergerak dari pendekatan seremonial menuju pendekatan produktif yang mampu melahirkan generasi berkarakter, percaya diri, dan berdaya cipta.

Sebagaimana ditegaskan oleh K. Muslih, “Orientasi pendidikan seharusnya menghasilkan produk, baik dalam bentuk karya, sikap, maupun perilaku.” Dengan semangat itu, lembaga pendidikan keagamaan dapat kembali menjadi pusat pembentukan generasi Qur’ani yang tidak hanya cerdas secara spiritual, tetapi juga kreatif dan adaptif menghadapi zaman. (IM).

Komentar