Pada tanggal 26-27 Desember 2019, Direktorat Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara (PKPPN) IAIN Surakarta mengadakan workshop Penguatan Kerjasama Peningkatan Mutu Madrasah.

Workshop yang dihadiri oleh peserta yang berasal dari perwakilan Madrasah se-Jawa Tengah ini menargetkan penyusunan modul moderasi beragama dan revolusi mental yang nantinya akan disosialisasikan ke Madrasah-madrasah di seluruh Indonesia.

M. Zainal Anwar, selaku Direktur PKPPN IAIN Surakarta menyatakan bahwa kegiatan ini adalah kerjasama PKPPN IAIN Surakarta dengan Direktorat KSKK Madrasah dalam upaya membumikan nilai-nilai moderasi beragama yang menjadi salah satu pilot projek dari Kementerian Agama RI untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan harmonis.

Zainal menjelaskan bahwa setelah sukses menyelenggarakan Workshop Literasi Islam Santun bagi siswa Madrasah se-Solo Raya tahun 2018 lalu, PKPPN dipercaya kembali untuk melaksanakan workshop khusus untuk para guru Madrasah. Zainal melanjutkan bahwa kagiatan ini menjadi langkah awal untuk memberi panduan dalam moderasi beragama dan revolusi mental dengan bahasa yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman mahasiswa Madrasah.

PKPPN dalam hal ini menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya. Di antaranya adalah Prof. Dr. H. Mudhofir Abdullah, selaku kontributor buku Moderasi Beragama Kemenag RI, Prof. Dr. Toto Suharto, Peneliti tentang ektremisme di Solo, Dr. Zainal Abbas selaku ketua LP2M IAIN Surakarta dan Dr. Islah Gusmian yang akan menyampaikan moderasi beragama dan revolusi mental dari sisi manuskirp nusantara.

Mudhofir selaku pemateri pertama menyampaikan bahwa konsep moderasi beragama yang ingin dikembangkan adalah moderasi proaktif bukan moderasi yang diam. Moderat, lanjutnya, adalah berdiri di tengah tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Kelompok kanan diwakili oleh kalangan yang tekstualis-ekstremis. Sedangkan kelompok kiri adalah kalangan yang terlalu liberal dalam beragama. Moderat berada di tengah-tengah antara keduanya. Meskipun, ungkap Mudhofir, bersikap di tengah itu sangat sulit karena akan dihadapkan pada tantangan-tantangan yang besar.

Mudhofir menyampaikan bahwa upaya moderasi beragama bisa diawali dengan beberapa langkah. Pertama, berusaha menyajikan ajaran-ajaran agama yang adil. Yakni dengan merujuk al-Quran maupun hadis dan dilengkapi dengan rujukan-rujukan lain semisal hukum alam (sunnatullah), hati nurani, kearifan yang hidup dalam tradisi budaya serta akal budi (wahyu kreatif). Sumber-sumber lain selain al-Quran ini menjadi pelengkap untuk memahami al-Quran agama secara moderat.

Guru-guru madrasah, lanjut Mudhofir, sangat penting untuk menyajikan ajaran Islam dalam konteks yang lebih luas salah satunya adalah dengan merujuk pada pada bacan-bacaan dan konteks yang lebih luas.

Kedua, moderasi juga harus dilandasi dengan pembacaan Islam dengan konteks keindonesiaan.  Islam yang dibumikan di Indonesia dalam beberapa konteks bisa berbeda dengan Islam yang ada di belahan dunia yang lain. Karena Islam berdialog dengan kebudayaan setempat. Sehingga penerapan Islam bisa berbeda-beda di masing-masing tempat dan kondisi. Perbedaan dan keragaman inilah yang perlu disosialisasikan dalam dunia Islam sehingga bisa disikapi dengan bijak.

Ketiga, berbicara tentang moderasi, menurut Mudhofir, adalah berbicara tentang kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi fondasi bagi pengembangan moderasi beragama. Karena agama sejatinya diturunkan untuk kepentingan manusia. (AH)

 

Komentar