Islamsantun.org – Beberapa waktu lalu saat saya sedang mengisi kajian ibu-ibu di komplek perumahan, ada seorang ibu yang bertanya kepada saya.
“Bu, apakah benar kalau perempuan itu lebih baik salat di rumah daripada salat di masjid?” tanyanya.
Saya lantas balik bertanya “Njenengan dengar dari mana gih, Bu?”
lalu dia menjawab, “Saya pernah ikut kajian dan ustadnya bilang begitu, Bu. Katanya untuk menghindari fitnah. La, kalau kita ini pengen dapat pahala jamaah gimana bu, sementara suami salatnya di masjid?”
Saya pun menarik nafas panjang. Ternyata pertanyaan seperti itu masih ada di masyarakat kita. Masih menjadi anggapan awam bahwa tempat terbaik untuk aktivitas perempuan adalah di rumah, termasuk dalam hal ibadah. Meskipun pertanyaan itu sudah saya jawab dalam forum kajian tersebut, saya merasa perlu untuk menuliskannya di sini.
Masjid dan Perempuan dalam Riwayat
Jika kita menjawab pertanyaan tersebut dengan hadis sahih yang berisi keutamaan salat berjamaah di masjid, maka selesai sudah persoalan. Dalam hadis tersebut disebutkan, “Shalatul jamaa’ati tafdhulu ‘ala shalati faddzi bi sab’in wa ‘isyriina darojah,” bahwa salat berjamaah itu lebih besar pahalanya dua puluh tujuh derajat dibandingkan salat sendiri. Bukankah dalam hadis ini perempuan juga disapa? Artinya, salat berjamaah juga lebih utama bagi perempuan.
Lalu soal masjid. Kita tahu bahwa masjid adalah tempat yang suci dan sakral. Tidak hanya sebagai tempat peribadatan, masjid juga berfungsi sebagai tempat masyarakat beraktivitas sosial seperti musyawarah, maupun forum-forum kajian. Dalam beberapa riwayat pun ternyata masjid menjadi tempat yang sering dituju dan didatangi perempuan.
Ada satu hadis yang menceritakan tentang kebiasaan Ummu Hisyam Binti Haritsah yang hadir dan mendengar khotbah Jumat. Bahkan dikatakan di situ bahwa Ummu Hisyam dapat menghafalkan surat Qaf karena dia mendengar langsung surat itu dibacakan nabi ketika beliau membacanya setiap hari Jumat di atas mimbar ketika sedang berkhotbah.
Dalam hadis lain juga diceritakan sahabat perempan bernama Fathimah binti Qays, yang selalu datang lebih awal ke masjid jika ada panggilan untuk berkumpul, baik itu untuk salat, maupun aktivitas sosial yang lain. Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim tercatat puluhan teks hadis terkait aktivitas perempuan di dalam masjid.
Artinya, bahkan sejak dulu banyak tauladan yang dicontohkan sahabat perempuan terkait aktifitas mereka di masjid. Lantas, mengapa masih banyak yang mengatakan perempuan lebih utama salat di rumah daripada di masjid?
Hadis Tentang Salat Perempuan dan Alasan Fitnah Perempuan
Ternyata, ada satu dalil yang dijadikan landasan hukum tentang salat perempuan lebih utama di rumah. Hadis yang diriwayatkan Ummu Humai al-Sa’idi yang menceritakan tentang curhatannya ke nabi bahwa dia ingin sekali selalu salat bersama nabi, namun nabi mengatakan:
“Aku tahu kamu mencintai salat bersamaku, namun salat kamu di rumah (yang khusus untuk) mu sendiri lebih baik dari salatmu di ruang (tengah yang lebih besar), salatmu di ruang tengah lebih baik dari salatmu di rumah (keluarga yang lebih besar). Salatmu di rumah keluarga lebih baik dari salatmu di masjid kampungmu, dan salat di masjid kampungmu lebih baik dari salat di masjidku ini.”
Hadis tersebut memang tergolong hadis hasan, artinya sanadnya tersambung dan diriwayatkan oleh perawi yang adil, walaupun kualitasnya tidak seperti hadis sahih. Namun, Imam Ibnu Hazm al-Zahiri dalam kitab al-Muhalla bi al-Atsar menolak hadis ini karena bertentangan dengan teks hadis yang jauh lebih sahih dan lebih banyak. Karenanya, menurutnya hadis ini tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Dalam kitab Fiqih seperti Fathul Qorib dan Fathul Mu’in sering dikatakan bahwa perempuan lebih utama salat di rumah daripada di masjid karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Agaknya, kita perlu memaknai ulang definisi fitnah ini.
Memang benar ada hadis nabi yang berisi ungkapan bahwa fitnah terberat bagi laki-laki adalah perempuan. Tetapi sebenarnya, makna dari hadis ini adalah pesan nabi kepada para laki-laki untuk waspada dan menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada pesona perempuan. Artinya, fitnah di sini adalah ujian untuk mengendalikan hawa nafsunya.
Sayangnya, spirit hadis itu kurang dimaknai secara utuh, sehingga lebih banyak digunakan sebagai dalil untuk menghambat dan melarang perempuan dibandingkan menuntut laki-laki untuk menjaga diri.
Kembali lagi ke konteks, pada zaman pra Islam, kita tahu bahwa perempuan tidak ada harganya sama sekali. Perempuan hanya dipandang sebagai objek seksual. Perempuan bagai benda yang diwariskan. Dari ayahnya kemudian ke suaminya, jika suaminya meninggal maka diwariskan ke saudara laki-lakinya dan seterusnya. Perempuan tidak punya suara, ruang aman untuknya nyaris tidak ada.
Maka sangat logis ketika dalam masa transisi Islam berusaha mengubah tradisi jahiliyah tersebut dengan aturan-aturan yang ketat untuk perempuan. Keluar rumah harus dengan mahram, bahkan untuk ke masjid sekalipun. Artinya, aturan tersebut sebenarnya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan yang pada saat itu masih dianggap sebagai objek seksual.
Namun jika melihat konteks hari ini tentu sangat berbeda. Fitnah yang dimaksud harusnya sudah merujuk pada konsep Al-Qur’an tentang fitnah yang bersifat timbal balik. Masing-masing kita mempunyai potensi fitnah dan juga potensi anugrah bagi yang lain. Tidak hanya perempuan kepada laki-laki, namun juga laki-laki kepada perempuan. Artinya, hadis yang berbicara tentang fitnah harusnya dipahami sebagai peringatan bersama-sama, baik laki-laki maupun perempuan untuk sama-sama menjaga diri dari fitnah tersebut.
Perempuan Sebagai Manusia dan Subjek Penuh Kehidupan
Dalil dan Riwayat tentang keutamaan salat berjamaah serta keterlibatan perempuan dalam aktivitas di masjid adalah valid dan otoritatif. Dan itu jumlahnya banyak sekali. Spirit dari teks hadis tersebut juga sejalan dengan spirit kesetaraan yang menjadi misi Islam. Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil alamin, bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam, karenanya juga harus menjadi rahmat untuk perempuan.
Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Dia juga hamba Allah dan subjek penuh kehidupan. Jika salat berjamaah di masjid lebih utama untuk laki-laki, seharusnya juga demikian untuk perempuan. Fadhilah berjamaah, juga fadhilah tempat harusnya juga bisa didapatkan perempuan. Tentu dengan melihat yang mana yang paling maslahat untuk dirinya.
Sebaliknya, laki-laki lebih utama salat di masjid, bukan berarti tidak mendapatkan keutamaan ketika dia salat di rumah. Pada intinya, salat bisa dilakukan di mana saja tanpa terbatas tempat. Kita perlu mengimplementasikan hukum dengan melihat situasi dan kondisi yang mana yang paling maslahat untuk kita.
Sekali lagi, manusia baik laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardhi yang mempunyai mandat mewujudkan kemaslahatan. Perempuan dan laki-laki sama-sama adalah mitra dalam kerja-kerja mewujudkan kebaikan dan keselamatan di bumi. Wallahu a’lam..