Islamsantun.org – Setelah salat tarawih usai, saya bergegas ke luar dari ruang utama OASIS menuju perpustakaan kampus. Nawaitu shomaghodin saya niatkan lirih sembari mengaitkan tali sepatu yang bercentang putih di bagian pinggirnya.

Saat sujud terakhir salat witir tadi, terbersit ide untuk menulis tentang maghrib yang tentu menjadi waktu yang dirindukan oleh segenap shoimun di dunia. Selama hampir dua puluh empat bulan hidup di negeri kangguru bagian kidul (South Australia), saya telah mengalami dua Ramadan. Maghrib di negeri ini adalah sebuah perburuan.

We are one but we are many

Penggalan bait lagu berjudul I am Australian (1995) ini tetiba muncul di channel YouTube komputer di hadapan saya. Padahal, saya sedang mencari koleksi dangdut sembilan puluhan sebagai teman belajar di perpustakaan malam ini. I am Australian dinyanyikan the Seekers, menggambarkan berbhinekanya penduduk (imigran) di Adelaide, tempat saya menghabiskan jajan beasiswa.

Saat saya menonton parade Australian Day di kota pada 26 Januari 2023 lalu, saya lihat beberapa komunitas hidup di sini. Seingat saya, ada komunitas India, Nepal, Tionghoa, Italia, Yunani, dan masih banyak lagi. Saya tak ingat semua.

Penduduk yang beragama Islam bukan hanya Indonesia; ada India, Pakistan, Palestina dan Afghanistan. Komunitas terakhir ini akan menyapa santun apabila bertemu dengan orang Indonesia, karena sebelum tinggal di Australia, mereka beberapa bulan tinggal di Bogor untuk melaksanakan pelatihan bahasa Inggris. “Halo adik, apa kabar?” begitu sapa Brother Ahmad salah satu penjaga Almadina Grocery setiap kali saya mengunjungi tokonya untuk membeli lamb halal.

Saya menyebut Adelaide sebagai kota seribu gereja. Hampir di setiap blok hunian, saya bisa melihat tempat ibadat umat Kristen ini. Di kota ini, bisa didapati pula rumah ibadat kaum Sikh dan Hindu, yang berjumlah tidak lebih dari lima bangunan. Baik gereja Kristen, Sikh atau Hindu berarsitektur unik, klasik dan wingit, namun instagrammable.

Bagaimana dengan masjid? Saya belum tahu pasti, karena baru mengalami salat Jumat di dua masjid berbeda: Masjid Marion dan Masjid City. Saya kagum dengan kedua masjid ini karena takmirnya memoderasi suara amplifier sehingga hanya terdengar di dalam ruangan masjid.

Masjid Marion terlihat modern, kebanyakan jamaah dari Saudi dan Indonesia. Masjid City, yang didirikan akhir abad kesembilan belas, lebih didominasi jamaah dari India. Bangunannya berbahan batu-batu kali yang kokoh. Dibandingkan dua masjid tersebut, saya lebih sering salat Jumat di ruangan utama OASIS di dalam bangunan yang diperuntukkan untuk aktivitas well-being mahasiswa. Di sini mahasiswa bisa masak, gitaran, main monopoli, mewarnai, meditasi, ngobrol, nderes Qur’an dan aktivitas pencegah stres dan gangguan mental lainnya.

Di tengah suasana itulah, saya menjalani Ramadan dengan luar biasa. Di awal Ramadan, tidak ada cuti bersama, pun pengurangan jam kerja. Hanya di whatsapp grup Warga-SA beberapa anggota bergantian mengucapkan mohon maaf lahir batin. Sementara di grup tertutup Rombengan Adelaide, sehari sebelum satu Ramadan telah terpampang penawaran jajanan instan untuk sahur dan kue-kue nastar untuk berbuka. Menikmati masakan Indonesia di Adelaide adalah sebuah nostalgia.

Ramadan digital

Jarak unit saya dengan masjid terdekat sekitar lima belas menit perjalanan naik mobil kecepatan 60 km/jam. Untuk menunaikan salat lima waktu berjamaah di masjid jelas tidak mungkin bagi saya. Selain area parkir di masjid terbatas, sampai sekarang saya belum ada niat. Alasan saya sederhana. Fungsi azan yang dulu diperankan oleh pengeras suara masjid di Indonesia, kini tergantikan oleh aplikasi di telpun genggam. Saya pasang aplikasi, berinisial MP.

Ramadan tahun ini ada perbedaan awal puasa. Otoritas yang memakai teknologi untuk menentukan awal puasa memulai Ramadan lebih dulu, dari pada mereka yang mengamini ru’yatul hilal. Saya pun bersantap sahur bersama keluarga pukul lima pagi, karena azan shubuh jam enam kurang sedikit. Setelah salat shubuh, masih ada dua jam untuk bobok.

Jam delapan anak-anak saya bangun dan berangkat sekolah. Sebelum jam sembilan kurang seperempat, mereka harus sudah sampai di sekolah. Mereka akan tiba kembali di rumah pukul empat sore. Masih ada waktu tiga setengah jam sebelum waktu buka tiba. Anak-anak menghabiskan waktu tunggu dengan bermain iPad. Istri saya meracik bumbu soto. Sedangkan saya memilih bobok sebagai bentuk manifestasi ibadat di bulan suci.

Oiya, sepuluh hari pertama Ramadan tahun ini masuk musim panas. Jeda waktu di Adelaide dan Indonesia bagian barat tiga setengah jam. Dua puluh hari selanjutnya, Ramadan memasuki musim gugur. Jeda waktu dengan tanah air kini hanya dua setengah jam. Sahur lebih pagi, buka lebih cepat.

Menjelang waktu maghrib, semua sudah siap di depan meja makan di dekat tivi. Kami tidak sedang menunggu azan di tivi, karena tidak berlangganan channel RamadanTV. Kami menunggu azan yang berkumandang melalui telpun genggam.

MP menyajikan pilihan muazin dan cengkok azan dari berbagai negara. Saya memilih versi azan Madinah, istri saya memilih versi Mekkah. Kalau mau jujur, saya lebih memilih versi azan Nanang Qasim asal Indonesia untuk melepas kerinduan akan tanah air. Sialnya premium.

Allahu akbar Allahu akbar, meskipun telpun genggam saya telah mengumandangkan azan maghrib, istri dan anak-anak masih terdiam di hadapan mug berisi teh anget. Mereka tidak sedang menunggu sampai kumandang azan selesai. Karena aplikasi hanya mengumandangkan azan hanya Allahu akbar Allahu akbar saja. Kalau mau mendengarkan azan sampai akhir harus bayar!

Anak-anak lebih memilih menunggu azan dari HP ibunya, yang berbeda satu menit dari telpun genggam saya. Kalau sudah seperti ini, saya biasanya merujuk pada edaran yang dikeluarkan majelis ulama setempat, yang ternyata sesuai dengan waktu di aplikasi saya. Namun, tetap saya mereka memilih mengakhirkan berbuka.

Suatu kali menjelang sore, kami piknik ke Glenelg, sebuah pantai di pinggiran kota. Kami gelar tikar, mengeluarkan kurma, termos teh anget dan snek seadanya. Kami duduk di pantai menghadap laut, ingin membuktikan sebenarnya jam berapa mentari terbenam. Siapa di antara kami yang paling tepat maghribnya.

Anak-anak berlarian ke sana ke mari di atas hamparan pasir. Kami melihat dari kejauhan. Ketika hari gelap, kami baru sadar kalau tidak terdengar suara azan dari telpun genggam kami. HP istri habis baterai. HP saya ternyata dalam kondisi silent. Subhanallah, gemes!

Komentar