Mengajar adalah tugas mulia,

ihtiyar merawat tradisi,

dan menyiapkan generasi berbudaya

(Mbah Masykur alm.)

 

Maredan merupakan salah satu dusun yang ada di wilayah Demak. Daerah yang dikenal sebagai Kota Wali. Kota yang menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jejak dan model beragama ala Walisongo sangat kental memengaruhi kehidupan warga dusun ini. Maka tidak heran jika tingkat religiositas penduduknya sangat tinggi. Namun demikian, praktik dari tradisi Jawa pun masih kental dan lekat dalam keseharian warga.

Hal itu terlihat dari aktivitas sehari-hari, terutama pada saat tiba waktu salat, warga akan tampak berbondong-bondong pergi ke masjid/musala untuk salat berjamaah. Tampak pula pengajian rutin untuk kaum ibu, kaum bapak, hingga remaja dan anak-anak. Namun pada saat bersamaan, tradisi lokal seperti selametan, mitoni, dan lain sejenisnya masih tetap dilestarikan. Para “kiai kampung” itulah yang memimpin tradisi “selametan” itu. Maka tidak heran jika warga pun tampak meyakini, tradisi tersebut dapat menjadikan hidupnya lebih berkah.

Meski secara sosial-ekonomi, pada satu dasawarsa terakhir tampak mulai ada pergeseran, tetapi mayoritas mata pencaharian penduduk tetaplah petani. Hanya sebagian kecil dari mereka, umumnya yang lahir pada tahun 90-an, mulai merambah dunia industri dan perdagangan. Selain karena tingkat pendidikan yang meningkat, pengaruh teknologi informasi dan komunikasi pun cukup dominan menjadi penyebabnya.

Uniknya, meski beberapa generasi telah berganti ternyata masih ada sebagian orang yang hingga hari ini memilih mempertahankan tradisi dan model pembelajaran agama dengan metode salaf (Fanany, A.Z. & Elly el-Fajri, 2003). Selain dilaksanakan di rumah, musala dan masjid, ada pula yang diselenggarakan di madrasah. Namanya, Tasywiqul Musytarsyidin. Mereka yang menjadi tenaga pengajarnya adalah para alumni pesantren salaf. Meskipun ini adalah generasi tidak lulus pernah mengenyam pendidikan tinggi (universitas), tetapi mereka dapat membaca dan menulis aksara Arab dengan baik. Selain itu, mereka pun tetap mengirimkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan formal umum (sekuler).

Hal yang sama pun diikuti oleh warga pada umumnya. Meski tetap menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal umum (sekuler), tetapi untuk bidang keagamaan, mereka tetap mewajibkan anak-anaknya untuk belajar pada madrasah ini. Jadi, anak-anak di dusun ini sepulang dari sekolah umum pada pagi hari, mereka akan lanjut belajar agama di madrasah pada siang-sore hari di madrasah, lalu mengaji pada malam hari di rumah-rumah, musala ataupun masjid.

Secara sosiologis, relasi sosial penduduk dusun ini sangat lekat unsur kekeluargaannya (Richard dan van Loon, 2002). Meskipun secara sosial-struktural ada Pamong Desa, tetapi para “kiai kampung”; mereka yang sebagian besar adalah guru madrasah, memiliki peran sangat signifikan secara sosial-budaya, politik, dan ekonomi.

Mereka, para “kiai kampung” ini, diyakini menjadi rujukan bahkan role model bagi kehidupan sehari-hari warga. Mereka, secara sosiologis dikategorikan sebagai kelompok kelas elite. Bukan karena kekayaan materiil, tetapi karena pengetahuan keagamaannya. Mereka diyakini memiliki kemampuan lebih dalam menerjemahkan ajaran Islam dan lebih bijak dalam menyikapi kehidupan (Dhofier, 1994).

Seperti halnya sepenggal cerita dari salah satu kiai kampung, yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Masykur. Beliau ini telah almarhum sejak tahun 2017. Mbah Masykur telah terlibat di dalam pengelolaan Madrasah ini sejak 1967. Selama terlibat di Madrasah, beliau menilai sejak Madrasah ini didirikan, tidak ada banyak perbedaan dalam proses belajar mengajarnya. Yang tampak berbeda hanyalah tingkat ketertarikan mereka dalam belajar. Mereka cenderung lebih suka bermain, sehingga malas untuk menghafal pelajaran, menjadi terlambat datang ke madrasah, dan kurang disiplin.

Meskipun pada dasarnya, anak-anak tersebut diakui Mbah Masykur, memiliki kecerdasan tersendiri. Hanya saja peran orang tua kurang maksimal. Para orang tua disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, sehingga pendampingan ke anak menjadi berkurang. Namun demikian, situasi tersebut merupakan tantang bagi para guru untuk tetap istiqomah dalam mengajar.

Mengajar adalah jihad

Untuk dapat istiqomah dalam mengajar, baik kepada anak-anak maupun warga secara umum, menurut Mbah Masykur, hal ini harus disertai dengan keyakinan kuat. Mengajar itu bukanlah sebuah pekerjaan, tetapi lebih karena sebagai bentuk “jihad”. Jihad untuk menyebarkan nilai-nilai agama, bukan untuk mencari penghasilan (gaji).

Bagaimana itu bisa diwujudkan? Menurut Mbah Masykur, harus dilandasi dengan ketulusan niat hanya untuk menyebarkan agama. Mengajar harus diniatkan sebagai cara untuk lebih mendekat diri dengan Tuhan. Berbekal niat seperti inilah nanti akan mendatangkan hikmah dan berkah. Seperti, kemanfaatan ilmu bagi anak cucu, jalan bagi anak cucu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari para orangtuanya.

Dengan niat inilah, sebagaimana diakui oleh Mbah Masykur, hidup akan terasa damai dan tenteram. Tidak terjebak pada banyak keinginan duniawi yang cenderung materialistis. Niat ini, agar dapat diikuti dan dicontoh oleh warga harus diawali dari sisi para pemuka. Seperti, kesediaan kita untuk selalu memberi contoh, peduli dan membersamai warga. Para pemuka tidak boleh menjaga jarak apalagi menjauhi mereka.

Misalnya, ketika ada warga yang kesulitan atau kena musibah, para pemuka harus bersedia hadir di tengah mereka. Saat ada kegiatan bersama warga pun, baik kegiatan keagamaan maupun sosial, para pemuka pun harus turut serta bersama-sama mereka.

Selain itu, Mbah Masykur pun selalu menekankan pada pentingnya membangun kesadaran diri, bahwa tidak semua orang dapat menerima kehadiran kita secara positif. Akan selalu ada orang yang baik dan tidak baik. Akan selalu ada orang yang mengikuti ajakan para kiai dengan tulus, ada pula yang sebaliknya. Tetapi apapun sikap dan respons mereka, Kiai itu tidak boleh memaksakan dan membenci warganya.

Sebaliknya, mereka itu harus selalu didekati, dikunjungi, dinasihati dan dibimbing. Dengan kata lain, kiai harus siap 24 jam, menerima orang yang datang atau panggilan dari warga yang membutuhkan bantuan. Di sinilah pentingnya jiwa kesabaran dan kerendahan hati.

Dengan sikap seperti itulah, jika ada orang yang saat ini belum mau menjalankan perintah agama dengan baik, kita harus mendoakan agar kelak mereka itu atau anak cucunya mau berubah dan menjalankan agama dengan lebih baik. Dengan inilah masa depan kehidupan warga, baik dalam hal beragama maupun berbangsa dan bernegara dapat menjadi lebih baik. Dalam arti, lebih damai, rukun, dan harmonis.

Jika kedamaian dan keharmonisan hidup terwujud, maka warga akan menjadi guyub. Ketika ini terealisasi, maka kesuksesan hidup bersama akan tercapai. Baik secara duniawi maupun ukhrowi.

Komentar