Islamsantun.org – Menjelang Ramadan, banyak di antara umat manusia yang mulai memikirkan bagaimana menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Mewanti-wanti dan membuat acara “kebaikan” agar pahala mampir ke hadapannya. Bait quate tak lupa ditulis di tiap hari-harinya. Seakan, semua itu menandai bahwa menjadi baik adalah terlihat dari apa yang keluar dari kata-kata indah status media sosialnya.
Ramadan dianggap puncak dari segala bulan suci untuk melakukan perbuatan baik. Maka, di bulan ramadan banyak yang berbondong-bondong baik sekadar untuk terlihat baik atau melakukan kebaikan yang telah konsisten dilakukan dari sebelum ramadan. Ini adalah antropologis orang-orang ketika memasuki ramadan.
Antropologi Ramadan
Namun, ada sisi lain yang selalu kita jumpai ketika “berada” di bulan ramadan? Ia adalah caci-maki yang merajalela di media sosial. Tak henti-hentinya tiap hari biasa kita temukan kasus yang dimulai dari percekcokan mulut, narasi-narasi, dan tindakan kekerasan. Bahkan mudah pula kita temukan kekerasan berbasis kebencian agama yang terjadi berbentuk pengeboman, jihad dan bunuh diri.
Tindakan terakhir itu dilakukan sebab alasan-alasan yang prestius. Misalnya, bom bunuh diri dilakukan pada ramadan karena pada bulan ini bisa menjadi momentum penebusan dosa. Bila mati atas nama agama di ramadan, mereka menganggap akan diganjar oleh pahala dan bidadari aduhai yang super banyak. Dan jika mendapatkan pahala banyak, niscaya akan masuk ke dalam surga firdaus.
Mengapa cara berpikir di atas terus bersinar hingga sekarang dan kita sangat mudah menemuinya? Jika kita lihat secara jeli, ternyata hal-hal tersebut sudah menjadi teknis untuk mengatur manusia-manusia lugu yang mudah dikelabuhi atas nama agama. Dialah manusia yang lemah dan menyerah atas kompleksitas perihal dunia.
Jadi sebenarnya, timbulnya pemikiran radikal adalah teknis yang juga sudah diatur dalam sebuah kelompok demi terjadi kongklusi kesesatan perihal agama. Mulai dari sistem perekrutan, pengajian, dan birokrasi benar-benar diperhatikan sehingga mereka dianggap wibawa dalam menjaga agama.
Misi-misi Kunci
Lebih dari itu, mereka seperti benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga umat dengan konsisten menjalankan syariat Islam, padahal tidak. Mereka seolah-seolah menjalankan dakwah tersebut karena terselubung nafsu akan misi-misi kunci, yang nahasnya melahirkan kekacuan, kekerasan, dan kebinasaan.
Di sinilah pesan titah dari M. Quraish Shihab sangat aktual dan merasa penting untuk terus digali, yakni ajaran-ajaran agama yang harus dipahami dengan benar. Dasar-dasar ragamnya ajaran tentang agama perlu dilihat dari konteks dan universalitasnya berdasarkan konsep khair dan ma’ruf sebagai perpaduan ajaran agama dengan kearifan lokal. Ini penting dirumuskan kembali, sebab pemahaman agama (Islam) mengalami kerancuan, macam tuduhan, dan ancaman serta kesalahpahaman tentang ajaran agama.
Kesalahpahaman
Misalnya, agama Islam yang dipandang oleh sebagian orang sebagai agama perang (karena mengandalkan pedang) dengan mengambil kasus peristiwa perang Bani Quraizhah yang waktu itu Nabi memberi izin untuk berperang—dengan sambil mendaku, “itulah ajaran Islam”. Menurut habib Quraish, itu pemahaman yang keliru. Sebab, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kecuali kalau tidak ada cara lain untuk membela diri dari penganiayaan (QS. al-Hajj [22]:28 dan (QS. al-Hajj [22]:39), bukan karena kekufuran/ketidakberislaman yang harus diperangi (hlm 65-66).
Sebagaimana kesalahpahaman tentang yang murtad harus dibunuh atau diberikan hukuman mati dengan mengacu pada surah (QS. al-Baqarah [2]:217). Bagi prof Quraish, tafsiran atas ayat di atas kalau dijadikan landasan hukum itu keliru. Karena, tidak ada redaksi ayat yang meyatakan demikian, bahkan hasil ijtihad dari beberapa ulama besar sekalipun. Tulis prof Quraish, “yang ada hanyalah, ancaman batalnya amal kebaikannya (kalau dia mati dalam kemurtadan) serta ancaman kekal di dalamnya. Kalaupun ada, itu merupakan kebijakan sesuai dengan konteks zamannya: demi memelihara agama” (hlm 111).
Dalam konteks keagamaan dan sosial, tentu saja pengalaman membuktikan bahwa setiap gerak ragawi manusia dapat memunculkan kesalahpahaman, bahkan kekeliruan, disengaja atau tidak, yang tentu memerlukan penjelasan argumentatif untuk mengikisnya. Dan untuk meluruskan hal-hal demikian tidak perlu menunggu bulan ramadan, karena kesalahan (kesalahpahaman akan Islam) bisa terjadi kapan saja.