Islamsantun.org – Ketika Allah menyeru dalam firman-Nya, supaya kita, sebagai orang-orang beriman mengikuti kaum-kaum pendahulu kita untuk ikut melaksanakan kewajiban berpuasa demi menuju taqwa. Adalah semacam reminder bahwa adakalanya kita itu kerap kali sembrono dalam menjalani hidup. Sehingga kita memerlukan upaya peleburan dosa kembali, introspeksi diri kembali, bahkan evaluasi terhadap zaman. Dan, Allah menyediakan waktu khusus itu di bulan Ramadhan.

Ramadhan adalah semacam gua yang ditempati para pemuda yang merasa ngeri terhadap zamannya pada waktu itu, sehingga mereka memutuskan untuk menyembunyikan diri. Fenomena Ashabul Kahfi adalah suatu yang kiranya mesti terjadi (baca: dilakukan) ketika pada kenyataannya zaman sudah sedemikian rupa gilanya. Zaman Edan.

Zaman Edan tidak hanya terjadi kelak di masa depan, sebagaimana yang dilukiskan dalam Ramalan Jangka Jayabaya, atau yang diwartakan oleh Ronggowarsito. Di zaman-zaman dahulu, jauh sebelum itu, apa yang disebut Zaman Edan sudah kerap kali terjadi. Tata kehidupan yang semrawut, manusia-manusia yang semakin ngawur tak karuan, kezaliman yang terjadi dimana-mana, di dalam sistem pemerintahan, ruang sosial, bahkan dapur rumah tangga. Nilai-nilai yang sudah bergeser dari pusat esensialnya, bahkan malah sudah tercerabut akar nilainya. Menandakan bahwa semua itu adalah Zaman Edan. Kisah Ashabul Kahfi memberikan gambaran zaman yang demikian, sehingga muncul fenomena tujuh pemuda yang bersembunyi di Gua Kahfi, selama 309 tahun, supaya ia tidak terpapar edan juga.

Zaman Edan, sing ora melu edan ora komanan. Zaman gila, yang tidak ikutan gila, bakal tidak kebagian. Kebagian kegilaan? Atau, kebagian apa?

Memang, diakui atau tidak, orang kemudian pada akhirnya kalah, dan berkata bahwa tuntunan zaman-lah yang mengharuskannya seperti ini. Misalnya, mengharuskannya korupsi, sogok sana-sini, gratifikasi dimana-mana supaya lebih aman dan lancar, dan hal-hal serupa lainnya. Orang kemudian ngomong: kita realistis saja, nggak usah sok suci. Terlalu idealis hari ini sama halnya dengan bunuh diri. Lebih baik menghindari resiko, daripada harus mati makan makanan-makanan idealis.

Memang, susah juga sebenarnya, di posisi mana seharusnya kita memijakkan kaki? Atau, kita harus mencari bahkan membikin Gua untuk bersembunyi selama 309 tahun?

Saya pada akhirnya juga tidak bisa menyalahkan tindakan-tindakan keliru yang mereka-mereka lakukan. Toh, saya sendiri, pasti sedikit banyak juga mengalami, bahkan boleh dibilang melakukan pula hal yang sama. Artinya, mereka sebenarnya adalah korban. Korban dari sistem edan yang memang sengaja dibuat untuk dijalankan. Sistem pada akhirnya mengharuskan mereka untuk korupsi, misalnya, melakukan praktik-praktik intoleran, dan sejenisnya. Ada semacam lingkaran setan, atau kekeliruan struktural yang pada akhirnya susah untuk diuraikan, alih-alih didekonstruksikan.

Kita semua sebenarnya sedang membakar tangan kita sendiri dengan bara api kemajuan zaman, kata S. Hossein Nasr. Bahkan, ia juga bilang, bahwa manusia hari ini adalah manusia-manusia yang kehilangan pengenalan atas dirinya sendiri. Siapa diri kita? Siapa sebenarnya manusia, dan apa yang harus dilakukan oleh sosok yang disebut manusia? Adalah pertanyaan-pertanyaan kontemplatif-filosofis yang mesti digali kembali. Peradaban modern telah memberikan satu paradigma pemikiran sangat hebat untuk menghancurkan sekaligus membunuh akal kesadaran manusia (insan), dalam artian yang sesungguhnya.

Ketika zaman begitu carut-marutnya, dan manusianya juga sudah sedemikian gilanya. Sebenarnya apa yang keliru, kalau bukan soal kesadaran spiritualnya yang bergeser, bahkan wafat?

Kesadaran spiritual akan berefek pada manifestasi pikiran yang pada akhirnya melahirkan apa yang sering kita sebut sebagai tindakan, akhlak, ataupun perilaku. Dari situlah awal mula cara pandang hidup, kebudayaan, peradaban, bahkan sejarah dibangun. Artinya, kesadaran yang pada akhirnya membawa pikiran yang tepat, akan juga melahirkan sebuah cara pandang hidup yang tepat.

Manusia kontemporer baru menyadari tidak tepatnya kesadaran spiritualnya, tatkala alam sudah mulai mengalami krisis. Pola hubungan yang menempatkan alam dalam posisi kesadaran yang salah, yakni sebagai yang berada di luar diri kita, sehingga boleh sesuka hati untuk dieksploitasi. Adalah jurang bagi kehancuran manusia itu sendiri. Siapa yang sesungguhnya menghancurkan kehidupan manusia? Adalah manusia itu sendiri. Jadi benar tesis para malaikat yang sedikit tidak setuju tentang penciptaan khalifah fil-ardh pada waktu itu, yang menurutnya hanya akan menyebabkan kerusakan di bumi dan suka menumpahkan darah (mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan).

Kalau diteruskan, kita tidak susah-susah membayangkan betapa ngerinya kehidupan di neraka kelak. Lihatlah kehidupan di bumi, betapa neraka yang bernama “kehidupan manusia” sudah memperlihatkan getir kengeriannya. Apa yang harus kita lakukan kemudian sebagai “manusia”? Tidakkah kita setuju dengan cita-cita Allah yang menunjuk manusia sebagai khalifah fil-ardh dengan tidak menjadi manusia yang melampaui batas-batas kemanusiaan itu sendiri—sekaligus untuk menolak tesis malaikat yang meragukan kualitas manusia dengan membawa dan menebar seluruh kebaikan di bumi.

Ashabul Kahfi terjadi jauh sebelum Rasulullah Muhammad datang. Itu menjadi ibrah sangat berharga. Kehidupan muda Rasulullah adalah sama halnya yang dulu pernah dialami pemuda yang memutuskan bersembunyi di dalam Gua Kahfi. Situasi masyarakat jahiliyah pada waktu itu tentu adalah suatu kondisi yang dinomenklaturkan sebagai Zaman Edan juga. Tetapi, apakah Rasulullah ikut edan dengan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat jahiliyyah? Tidak. Rasulullah juga hanya mengambil jarak untuk memahami keadaan zamannya. Artinya, tidak menyembunyikan diri selama dari 300-an tahun. Sehingga, pada akhirnya Rasulullah justru menjadi prototipe kepribadian, sekaligus teladan kemanusiaan, yang oleh para guru-guru kita dikatakan berhasil membawa zaman kegelapan (dhulumat) menuju zaman pencerahan (nur). Zaman yang edan menuju zaman yang waras.

Hal demikian yang harus kita teladani sebagai umat Islam, yang menjunjung tinggi risalah kenabian Muhammad bin Abdullah. Utamanya sebagai teladan kemanusiaan.

Terakhir, pada dasarnya, kita tidak perlu susah-susah mencari atau malah membikin Gua Kahfi itu sendiri supaya kita tidak ikut terpapar edan. Bulan Ramadhan dengan kewajiban berpuasanya sesungguhnya adalah Gua Kahfi itu sendiri. Allah sudah menyediakan itu bagi hamba-Nya—secara khusus umat Islam. Oleh karenanya, seperti yang sudah saya singgung di awal, bahwa Allah menyediakan kewajiban berpuasa (terkhusus di bulan Ramadhan) adalah untuk tujuan mengembalikan sekaligus meningkat kemurnian ketaqwaan kita yang sebenarnya sudah banyak tercemar oleh hal-hal sembrono yang seringkali kita lakukan, baik secara sadar maupun tanpa sadar.

Pada intinya, momentum Ramadhan adalah resolusi kondisi spiritual dalam setiap tahunnya. Suasana Ramadhan yang oleh Allah sengaja dispesialkan tidak lain adalah untuk me-recharge kekosongan-kekosongan spiritual yang selama di luar Bulan Ramadhan diasumsikan mengalami degradasi kualitas. Ramadhan adalah pendidikan spiritual. Ramadhan ingin menciptakan satu sublimasi psikologis manusianya supaya mengalami peningkatan kualitas, baik sebagai manusia maupun sebagai hamba. Sehingga diakhir bulan Ramadhan nantinya ia benar-benar suci kembali (‘idul fitri).

Komentar