Islamsantun.org – Suara kentongan yang dipukul berkali-kali dan gema pengeras suara dari masjid terdekat cukup untuk membangunkan saya dari tidur yang cukup singkat. Suara ribut beberapa insan yang rela membagi sedikit energi dan suaranya untuk membangunkan sesama dengan bantuan kentongan, bahkan tak jarang ada yang rela membawa bedug. Sebuah permulaan yang cukup baik di bulan ramadhan tahun ini. Meskipun riuh suara kentongan cukup menyentil hati kecil saya, sedih juga rasanya. Sebagai seorang anak yang tinggal jauh di perantauan, perasaan seperti ini cukup menggigit sanubari dan membuat saya merasa banyak hal yang akan terasa sangat kurang di Ramadhan tahun ini.
Tradisi saling membangunkan sahur yang hanya muncul kala bulan ramadhan, dengan euforianya yang selalu terasa begitu kuat dikalangan masyarakat muslim kerap kali menjadi sebuah titik kilas balik bagi sebagian orang. Tradisi dengan beragam nama di berbagai daerah ini pasti memiliki cerita tersendiri bagi tiap-tiap individu, begitupun pada diri saya sendiri.
Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya, di komplek tempat saya tinggal menjadi salah satu dari sekian banyak komplek yang merayakan awal puasa dengan suka cita, khususnya di hari pertama bulan Ramadhan. Namun sayangnya, sebagai seorang anak yang tinggal jauh dari keluarga sejak duduk di bangku tsanawiyah, tentunya sudah bertahun-tahun juga saya melewatkan euforia sahur hari pertama bersama keluarga.
Ketika saya bertanya kepada seorang teman tentang euforia membangunkan sahur, jawaban yang saya dapat betul-betul membuat hati kecil saya merengek, ingin merasakan hal yang sama. Bahkan, kawan saya sempat bercerita tentang bagaimana serunya ia selama hampir satu bulan penuh selalu ikut berkeliling sambil memukul kentongan. Bahkan adik saya juga menjadi salah satu yang selalu ikut bersemangat berteriak-teriak untuk membangunkan sahur.
Tradisi saling membangunkan sahur nyatanya bukan hanya sekedar tradisi masyarakat muslim Indonesia, akan tetapi lebih luas dari itu. Tradisi membangunkan sahur ini ada di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara Islam, meskipun tentunya berbeda dari satu dengan lainnya. Masyarakat Indonesia sendiri memiliki sebutan berbeda-beda untuk tradisi ini, ada yang hanya menyebutnya dengan bangunin sahur, sasauran bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat, klotekan bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, hingga buroq di Brebes. Tentunya perbedaan nama juga akan membuat perbedaan pada pelaksanaannya.
Tidak hanya di kalangan masyarakat, sebagai santri saya juga mempunyai kisah yang cukup ciamik untuk diceritakan. Jika biasanya masyarakat akan menabuh bedug, memukul kentongan, hingga membawa speaker untuk membangunkan sahur. Maka kami yang berada di pesantren biasanya akan memakai peralatan hadroh, hingga botol bekas sirup marjan. Kemudian dengan senjata itu, kami (biasanya pengurus) akan berkeliling memasuki kamar satu persatu sembari berseru-seru heboh dan meneriakkan ajakan untuk bangun sahur. Ah, rasanya saya ingin kembali ke masa itu.
Seiring berjalannya waktu, terutama ketika masa pandemi kemarin. Tradisi membangunkan sahur ini sedikit-demi sedikit pudar, mulai digantikan dengan alarm bervariasi milik masing-masing individu. Banyak juga yang beranggapan bahwa tradisi membangunkan sahur ini cukup mengganggu ketenangan antar warga. Nyatanya di akhir pandemi, tradisi ini kembali muncul dan warga kembali menyambutnya dengan riang. Meskipun belum banyak masyarakat yang berani untuk ikut berkeliling, namun dampaknya cukup untuk menumbuhkan rasa hangat di hati.
Tradisi membangunkan sahur yang kata sebagian orang mengganggu, pada hakikatnya adalah sebuah bentuk nyata perwujudan dari rasa kepedulian dan silaturahmi antar sesama masyarakat. Tak jarang, ada juga beberapa masyarakat non-muslim yang juga ikut memeriahkan tradisi saling membangunkan sahur di daerahnya, persatuan dalam perbedaan yang sangat indah bukan?
Tong tong tong tong Sahur sahur sahuuuur!!!
Lagi dan lagi saya disadarkan oleh riuhnya orang yang asik membangunkan sahur. Segera, saya bangkit dan mulai menyiapkan sahur dengan bergegas, takut-takut waktu imsak datang lebih cepat.
Setangkup nasi dan telur ceplok berpadu dengan segelas susu menjadi menu sahur pertama di ramadhan tahun ini. Berteman dengan riuh kentongan dan seruan sahur di pagi hari, saya menitikkan air mata. Tanpa basa-basi, segera saya sambungkan telepon video dengan keluarga saya di rumah. Benar saja, tangisan saya pecah saat itu juga. Betul kan, ada yang kurang di ramadhan tahun ini.