Islamsantun.org – Hari-hari menjelang pemilu selalu menarik untuk kita simak beragam dinamikanya. Kendati perhelatannya masih setahun mendatang beragam manufer telah bermunculan dari beragam parpol dan figuran kader yang digadang bakal dicalonkan dalam kekuasaan. Salah satunya demi memengaruhi narasi “commons” dari mayoritas kita.

Harapannya Ketika narasi tersebut menjadi common sense akan sedikit banyak mempengaruhi seorang voter memberikan mandatnya kelak di bilik suara. Tak terkecuali menghidupkan kembali narasi sektarian dan pembelahan identitas atau yang sering disebut sebagai politik identitas. Dan inilah yang telah mereka perbuat sejak dua pemilu terakhir tanpa pernah mengkalkulasikan residu manufer tersebut bagi kehidupan sosial-kebudayaan pasca pemilu. Tentu hal ini menjadi preseden buruk wajah demokrasi, hak asasi, dan nilai gotong royong di bumi Nusantara.

Beragam respon kemudian muncul dari masyarakat. Paling tidak mengarah pada dua hal yang saling berkelindan: disatu sisi memunculkan respon kecemasan yang amat sangat terhadap para penganut agama yang berbeda. Di lain sisi menjadi pemicu saling curiga di antara identitas (Hadiz, 2019) misalnya dengan munculnya term kadrun-kampret, radikal-toleran, dlsb. Akibatnya kohesi sosial dalam kerja-kerja kolektif lintas identitas absen dalam dinamika demokrasi hari ini.

Berangkat dari kegelisahan ini muncul pula beragam respon dari masyarakat demi mengurai problematika tersebut. Pengayaan narasi-ide mengenai toleransi, pluralisme, dan HAM kian menemukan relevansinya. Hari ini kita sangat mudah menemui narasi mainstream moderasi yang menggunakan pendekatan formal agama seperti reinterpretasi tafsir ayat-ayat atau sejarah.

Hanya saja perlu dicatat bahwa dalam dinamika pengayaan ruang ide ini biasanya terhambat oleh momen populis, yang mana orientasi gerakan bukan mengarah pada hal yang konstruktif-relevan melainkan, pada akhirnya, hanya sebagai gimmick memainkan sentimen kelompok (ideologi) tertentu. Kita dapat mengidentifikasinya dengan mengamati dinamika suatu pergerakan enggan/dicukupkan sebatas jargonis belaka alih-alih menuju solidaritas menuju alternatif (Mouffe, 2020).

Konsekuensi logisnya adalah kita memahami bahwa aktualisasi toleransi hanya sebatas afirmasi-validasi terhadap eksistensi identitas setiap individu yang terdapat dalam setiap kultur masyarakat. Tanpa kemudian melanjutkannya dalam agenda-agenda yang lebih strategis dengan mengintegrasikannya dengan agenda di sektor struktural maupun kultural yang lebih luas. Di lain sisi term “Islam Politik” kadung mendapat stigma buruk.

Rekognisi Anak Muda

Bagaimana dengan sikap pemuda hari ini? Survey dan riset dari beberapa lembaga menunjukkan konotasi positif terhadap sikap pemuda dalam toleransi. Laporan Tempo menunjukkan bahwa dalam konteks masyarakat urban usia menentukan sikap mereka bahwa semakin bertambah usia semakin cenderung bersikap intoleran (Tempo interaktif, 2019).

Walau demikian, pemuda hari ini masih dibebani stigma yang sebenarnya kurang berdasar kajian empirik otoritatif. Bahwa pemuda hari ini mudah ditunggangi oleh agenda intoleran oleh karenanya perlu sentuhan lebih agar dapat terintegrasi dengan agenda moderasi. Terdapat overlapping antar kalim dengan realitas sebenarnya.

Nampaknya ada kegagapan di sisi pendekatan wacana moderasi beragama, walau bisa dipahami seturut dengan wacana yang relatif masih baru. Namun tak menampik juga bahwa sisi pendekatannya hanya didominasi oleh narasi formal melalui penafsiran teks otoritatif yang abstrak dan memerlukan legitimasi elit tertentu. Betapapun seraisonal apapun argumen yang diajukan. Artinya, pengayaan kanal moderasi masih stagnan alih-alih dideminasikan secara demokratis mengingat agenda ini merupakan agenda publik.

Habermas menggarisbawahi bahwa idealnya sebuah agenda publik, jika sepakat untuk menganggapnya demikian, memiliki tiga prasyarat agar relevan: Partisipatif (inklusif), deliberatif (otonom), dan rasional (Habermas, 1989). Partisipatif dapat diartikan bahwa wacana moderasi harus mampu menjangkau kesadaran seluruh lapisan sosial-masyarakat, untuk setelahnya dapat mengapresiasi praktik dari subyek yang mengalaminya yang termanifestasi dalam kebudayaan komunal atau komunitas tertentu (Deliberatif). Kemudian rasional bisa dipahami sebagai sebuah wacana obyektif yang mana setiap subyek yang terlibat dapat secara aktif mengajukan kritik dan refleksi secara rasional dan setara atas agenda yang ada.

Hari ini kita masih melihat praktik moderasi kurang menyentuh lintas identitas atau kelas tertentu dalam lapisan masyarakat. Dilain sisi kurang mengapresiasi wajah heterogen praktik kebudayaan yang muncul dari sikap moderat.

Dalam kajian psikologi sosial seperti yang dilakukan Muhammad Faisal menyebut bahwa pemuda hari ini memiliki tipikal yang amat relevan untuk mengakselerasi diri di tengah era disrupsi. Dalam karyanya ia menyatakan bahwa karakter paling mencolok dari generasi hari ini adalah egalitarian, komune, dan mengakar seperti karakter yang dimiliki oleh para Founding Father terdahulu (Faisal, 2017).

Implementasinya dapat kita amati komunitas pemuda kian menjamur dengan ciri tanpa hierarki senioritas yang ketat, disamping itu ikatan komunitas yang terbentuk berbasiskan nilai-nilai koletif dimana masyarakat itu berada. Kita dapat dengan mudah menemukan sekelompok pemuda yang memiliki badan usaha alternatif seperti koperasi sekaligus terintegrasi misi kampanye krisis iklim, literasi, ataupun agenda publik lainnya yang relevan. Artinya, sebuah wacana yang universal dapat secara unik diimplementasikan sekaligus dekat dengan budaya mereka.

Tanpa pengayaan dan apresiasi terhadap heterogenitas praktik sebuah wacana, sulit kiranya menjadikan wacana tersebut menjadi common sense alih-alih membawa transformasi yang relevan. Tentu, kecuali tataran relevansinya hanya sebagai kendaraan pengaman parpol oligarki ketika musim kampanye tiba.

Komentar