Islamsantun.org – Apa itu Tao? Tao-kah kamu, apa artinya Tao? Tao merupakan satu relasi yang benar-benar harmonis antara dua tendensi “yin” dan “yang”. “Yin” dan “yang” adalah wajah Tao, satu-sama-lain saling melebur dan bersatu. Lalu dalam Islam, Tao itu setara apa? Untuk menjawabnya, ketahui dulu, “yin” dan “yang” setara apa dalam Islam.

Pemikiran Islam tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Ilahi yang biasa disebut al-asma` al-husna. Nama-nama itu terbagi dua. Ada yang menekankan keagungan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dan maskulinitas. Ada pula yang menekankan keindahan, kelembutan, kepemurahan, dan rahmat. Sachiko Murata, penulis buku The Tao of Islam ini, menunjuk nama-nama di kelompok pertama sebagai nama-nama “yang”, dan nama-nama di kelompok kedua sebagai nama-nama “yin”.

Dari sini dapat dipetakan: “yang” adalah nama-nama atau sifat-sifat “jalaliyah” Tuhan, “yin” adalah nama-nama atau sifat-sifat “jamaliyah” Tuhan, sedang Tao adalah padu-padan antara keduanya yang oleh kaum sufi dirumuskan sebagai sifat “kamaliyah” Tuhan. Meminjam kata-kata Murata, Tao (kamaliyah) merupakan relasi yang benar-benar harmonis antara dua tendensi “yin (jamaliyah)” dan “yang (jalaliyah).”

Jalaliyah dan jamaliyah

Jalaliyah dan jamaliyah merupakan satu-kesatuan yang harmonis yang melahirkan kamaliyah. Satu-sama-lain hadir tidak untuk saling mengalahkan. Namun begitu, dalam pengamatan Murata, para ahli fikih dan kalam lebih menekankan aspek ketakterbandingan (jalaliyah) Tuhan. Bagi mereka Dia adalah Tuhan yang pemarah dan terus-menerus memberi peringatan tentang neraka dan siksa. Dia adalah Penguasa yang jauh, mendominasi, dan Maha Kuasa yang perintah-Nya harus dipatuhi. Dia seperti seorang ayah yang keras dan otoriter.

Sebaliknya, para pemuka spiritual (para ahli hikmah) senantiasa mengingatkan sabda Nabi: “Rahmat Allah mendahului murka-Nya.” Mereka berpandangan bahwa rahmat, cinta, dan kelembutan itulah yang tampil dominan dalam realitas eksistensi, dan bahwa sifat-sifat demikian pada akhirnya akan menang. Sosok Tuhan bukanlah terutama seperti seorang ayah yang keras dan gemar melarang, melainkan seorang ibu yang hangat dan penuh kasih sayang.

Dalam ungkapan yang lebih ringkas, pendekatan eksternal dan legalistik sangat menekankan nama-nama “yang”. Kaum legalis menginterpretasikan dan menempatkan signifikansi nama-nama “yin” pada latar belakang. Kebalikannya, para ahli hikmah menekankan nama-nama “yin”. Bagi mereka, karakteristik “yin” Tuhan mendominasi karakteristik “yang”-Nya.
———

Penjelasan The Tao of Islam

Judul asli buku ini dalam bahasa Inggris: The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought (State University of New York Press, 1992). Pada 1996, Penerbit Mizan menerjemahkannya dan hingga 2004 telah terbit sembilan cetakan. Penerbit Mizan menyebut sembilan kali cetakan terjemahan The Tao of Islam pada rentang 1996-2004 tersebut sebagai “EDISI KESATU”. Pada Desember 2022, Penerbit Mizan menerbitkan EDISI KEDUA dengan membagi The Tao of Islam menjadi dua jilid. Jilid Pertama (Buku Kesatu) tentang Tuhan (Teologi Sufistik), dan Jilid Kedua (Buku Kedua) nantinya tentang Alam dan Manusia (Kosmologi dan Psikologi Sufistik).

Dengan pembagian seperti itu maka “tujuan utama” dari buku ini yang tertuang dalam anak-judul, yakni gender relationships in islamic thought, akan lebih banyak tertuang dalam Buku Kedua yang konsen pada pembahasan tentang alam dan manusia. Namun demikian, dalam Pendahuluan, Murata sedikit menyinggung soal kritik kaum feminis atas Islam. Hal ini cukup membantu dalam memetakan seperti apa buku ini menggambarkan relasi gender dalam pemikiran Islam.

Dalam Pendahuluan tersebut, Murata mengkritik-balik kritik kaum feminis atas Islam. Kaum feminis, kata Murata, mengkritik berbagai aspek Islam atas masyarakat Islam berdasarkan sebuah pandangan-dunia mereka yang secara radikal asing bagi pandangan-dunia Islam. Kritik mereka secara tipikal bersifat moral. Mereka menuntut pembaruan, entah secara eksplisit atau implisit. Pembaruan yang mereka inginkan adalah pembaruan dengan standar Barat modern.

Pembaruan semacam ini, tegas Murata, serupa dengan gaya imperialisme Barat yang semula muncul di Timur dalam bentuk aktivitas misionaris Kristen. Murata menandai bahwa perspektif “orientalis” sangat cocok, sebagaimana ditunjukkan banyak sarjana, dengan gaya superior dan arogan Barat dalam mendekati masyarakat non-Barat. Di sini terlihat dorongan maskulin untuk menguasai dunia berlangsung beringas, yang menimbulkan berbagai bencana bagi dunia. Murata kemudian mengingatkan bahwa ekspansi teknologi secara tak terkendali dengan segala dampak buruknya tumbuh dari tendensi yang sama.

Ratna Megawangi, dalam “Sekapur Sirih” untuk buku ini membantu kita menunjukkan relevansi dan keunggulan buku ini terkait “gender relationships in Islamic thought”. Ratna menunjukkan bahwa gerakan femenisme Barat pada periode 1960 dan 1970-an diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai pria dalam bidang sosial, ekonomi, dan kekuasaan politik. Kini semakin banyak perempuan yang masuk ke dunia maskulin dan berkiprah bersama-sama dengan pria.

Kritik di Atas Kritik

Di balik keberhasilan ini, banyak yang mengatakan bahwa para perempuan bukan saja telah memasuki dunia maskulin, melainkan juga mengadopsi nilai-nilai maskulin yang dikritiknya, serta meninggalkan kepedulian terhadap pengasuhan dan pemeliharaan. Banyak perempuan yang telah menjadi “male clone (tiruan pria)” di peradaban modern Barat, yaitu peradaban ekonomi pasar berdasarkan untung-rugi, kompetisi, kekuasaan, materi, dan eksploitasi. Sumber daya uang, status, dan kekuasaan yang terbatas harus diperebutkan karena kesuksesan di dunia maskulin diukur oleh ini semua.

Namun lambat laun, demikian Ratna, banyak feminis yang sadar bahwa peradaban modern telah begitu tidak seimbang; terlalu berat pada kualitas maskulin dan kurang pada kualitas feminin, seperti cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan. Timbullah pemikiran baru untuk mengoreksi kecenderungan ini. Maka, paradigma feminisme tahun 1980-an telah berbalik, yaitu memuji keunggulan kualitas feminin serta mengekstremkan perbedaan alami antara pria dan perempuan; bahwa secara esensial memang pria dan perempuan berbeda. Jika sebelumnya kualitas feminin dianggap “inferior”, sekarang bahkan dianggap “superior”, para feminis tersebut mengajak para perempuan untuk melestarikan kualitas feminin agar dunia ini menjadi lebih seimbang dan segala kerusakan yang terjadi dapat dikurangi.

Ratna menambahkan, teori feminisme yang menonjolkan keunggulan kualitas feminin itu disebut ecofeminism. Teori ini dipengaruhi oleh filsafat yang berkembang pesat di Barat, yaitu ecophilosophy atau ecosophy. Ecosophy mengkritik peradaban Barat yang telah melampaui kapasitas dukung bumi. Filsafat ini banyak dipengaruhi oleh spiritualitas ketimuran dan agama-agama mistik, serta pola kehidupan orang-orang terdahulu yang selaras dengan alam.

Namun, papar Ratna, teori ecofeminism terlalu mengagungkan kualitas feminin dan menganggap kualitas maskulin selalu dalam artian negatif. Ecofeminism menyebut alam sebagai sumber segala sesuatu dan menganggap manusia mempunyai esensi abadi, yaitu kesadaran (consciousness). Ecofeminism menuding peradaban modern telah memisahkan kesadaran manusia dari alam, sehingga segala sesuatunya menjadi terfragmentasi, terpisah, teratomisasi. Manusia melihat manusia lainnya sebagai ego-ego yang saling berkompetisi. Manusia dan alam menjdi begitu terisolasi, yaitu menjadi subjek dan objek. Maka terjadilah penguasaan dan ekploitasi alam oleh manusia.

Bagaimana pun, ecofeminism menunjukkan bahwa di Barat perkembangan teori feminisme telah menyentuh aspek-aspek spiritual. Ecofeminism juga mengakui adanya Tuhan. Kendati begitu, beberapa “ganjalan” dapat dikemukakan: mengapa ada dikotomi antara Tuhan yang mempunyai sifat maskulin dan Tuhan yang memiliki sifat feminin? Mengapa ada dualisme kualitas Tuhan seperti itu? Seperti apa hubungan antara keduanya? Belum lagi, pada tataran sosial ecofeminism memberi nilai yang lebih tinggi pada kualitas feminin, bahkan scara berlebihan memujanya dan mengkritik kualitas maskulin yang dianggapnya hierarkis. Bukankah ini menciptakan pola hierarkis baru bahwa kualitas feminin ada di puncak kebenaran? Apakah kualitas maskulin diciptakan untuk selalu dan selamanya jelek, atau kualitas feminin selalu dan selamanya baik?

Ratna lantas meyakinkan kita bahwa di sinilah letak keunggulan The Tao of Islam karya Sachiko Murata ini. Meski Murata tidak membahas ecofeminism, namun secara sistematis dan jelas ia menguraikan makna kesatuan dan makna dualitas yang berasal dari kesatuan. Dengan menggunakan Asma al-Husna, Murata, seperti telah disinggung, membagi nama-nama Tuhan menjadi dua: nama-nama keagungan, jalal (kualitas maskulin), dan nama-nama keindahan, jamal (kualitas feminin). Beda dari ecofeminism yang berat sebelah terhadap simbolisasi Tuhan “feminin”, The Tao of Islam menunjukkan bahwa Tuhan, melalui nama-nama-Nya, adalah keseimbangan antara yang Agung, Kuasa, dan sebagai yang Dekat, Pengasih, Penyayang, Penerima. Dualitas ini diterangkan dengan apik, baik dalam tataran Ilahiah, tataran kosmos, maupun tataran manusia, yang semuanya mempunyai analoginya.

Dalam banyak tempat, Murata mengacu pada dualitas Taoisme yang memang menjadi latar belakang kulturnya, yaitu Asia Timur. Dia melakukan ini karena ada kesamaan konsep tersebut dengan konsep Islam, yaitu nama-nama keindahan dan keagungan Tuhan. Menurutnya, kualitas “yin” identik dengan nama-nama keindahan (jamal, luthf, rahmah), sedangkan kualitas “yang” identik dengan nama-nama keagungan (jalal, qahr, ghadhab). The Tao of Islam sejatinya ditujukan bagi pembaca Barat yang lebih mengenal konep “yin-yang” ketimbang konsep Islam seperti “jamal-jalal”, “luthf-qahr”, atau “rahmah-ghadhab”. Teks-teks sufi karya Ibnu Arabi, yang dikaitkan dengan al-Qur`an dan hadis, menjadi acuan utama Murata dalam The Tao of Islam ini.

Gender Relationships in Islamic Thought

Lalu di mana posisi “gender relationships in Islamic thought” dalam peta besar ketuhanan dan kosmik “yin-yang” atau “jamal-jalal” itu? Annemarie Schimmel dalam “Pengantar” untuk The Tao of Islam membantu menjawab. Schimmel menyebut Murata dengan The Tao of Islam-nya telah berhasil mengkaji hubungan gender dalam Islam dengan pendekatan baru yang mungkin mengejutkan banyak pembaca. Kajian Murata disajikan dengan paparan menyeluruh tentang hukum Islam dan tradisi esoterik Islam. Murata dengan lugas memperlihatkan bahwa dalam Islam, seperti halnya dalam setiap agama, prinsip kesatuan, yang memecah diri menjadi dualitas dan kemudian menjadi pluralitas, merupakan hal yang pokok. Jalaluddin Rumi misalnya, secara khusus menggambarkan keadaan saling mempengaruhi yang konstan antara dua spek kehidupan itu melalui prosanya yang terkenal: Fihi ma Fihi dan menyebut-nyebut hal itu dalam begitu banyak versi lirisnya: Diwan dan Matsnawi.

Bagi Rumi, demikian Schimmel, sisi-sisi maskulin dan feminin dalam kehidupan sama-sama penting. Rumi melihat “ibu” di setiap tempat. Secara umum, segala sesuatu dalam kosmos adalah ibarat seorang ibu, melahirkan sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya, sebagaimana batu api yang “melahirkan” percikan, yang kemudian menghasilkan api, atau sebagaimana bumi yang disuburkan oleh hujan, menghasilkan tumbuh-tumbuhan sebagai hasil hieros gamos (perkawinan suci). Dalam Matsnawi, Rumi bahkan menggambarkan wanita sebagai sosok yang pantas disebut sebagai “pencipta”.

Saya menambahkan, relasi gender dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan ketuhanan dan kosmik Islam: jamal-jalal (yin-yang), keseimbangan, saling melengkapi, dan saling mengisi dalam membangun kesempurnaan (tao). Namun, seperti disayangkan Schimmel, sikap para sarjana Barat tampaknya masih banyak dipengaruhi oleh latar belakang “biblikal” dan pendekatan “klasik” terhadap keilmuan. Padahal, tegas Schimmel, sudah saatnya sejarah agama dikaji bukan hanya dari sudut pandang khas Barat semata, melainkan juga mempertimbangkan cara-cara lain dalam melihat berbagai konsep seperti agama, Tuhan, wahyu, dan sebagainya. Tapi memang sangat gampang mengkritik peradaban asing dengan memakai standar Barat abad ke-20!! Sementara di beberapa tempat di Jerman pada 1880-an kaum pria masih mempunyai hak untuk menyakiti istri mereka. Pandangan kuno tentang kedudukan wanita dalam Islam memang, seperti dipastikan Murata, hampir tidak berubah. Lewat The Tao of Islam, Murata antara lain memberikan deskripsi akurat mengenai peran wanita dalam Islam, melawan prasangka yang telah berakar kuat.
——

Terakhir: Jika suami adalah “yang” dan istri adalah “yin”, kepada “yin” yang ada di rumah, saya biasa memanggilnya “yang…” di antaranya ketika saya memintanya membuatkan kopi. Panggilan yang sama diucapkan sang “yin” pada saya, terutama manakala saldo Shop**Pay-nya minta di-top up. Ketika itu saya cuma bisa menimpali, “Oke (C)yin…”

Komentar