Islamsantun.org. Semua pihak yang terlibat dalam kontestasi, dalam hal apa pun, tak lepas dari melakukan dua hal itu, yakni bagaimana membangun identitas diri/kelompok, dan (setelah identitas terbangun cukup kuat) bagaimana menunjukkan eksistensi diri/kelompok serta mendapat pengakuan di tengah masyarakat yang plural dalam hampir segala hal.

Pergulatan nalar-nalar keberagamaan dalam membangun identitas dan memperebutkan eksistensi di ruang-ruang publik, rasanya tidak pernah ”seheboh” sekarang-sekarang ini. Jika memutar ingatan, kembali ke era tahun 80-90an, percaturan keagamaan paling-paling diwarnai kontestasi keberagamaan antara ”corak NU” dan ”ala Muhammadiyah”. Perdebatan ”hanya” seputar: hukum membaca usholi, baca basmalah di awal al-Fatihah, doa qunut, menggerakkan telunjuk kanan saat tasyahud, dan hal-hal semacam itu yang berada dalam rumpun ikhtilaf fiqh. Dalam sekup yang lebih mengglobal, sentimen anti-Syiah bukannya tidak ada. Tapi ”kekaguman” akan kemenangan Revolusi Islam Iran dalam menjungkalkan rezim Syah Pahlevi mengalahkan sentimen anti-Syiah yang terdengar sayup-sayup.

Di dunia kampus, era-era itu dapat dibilang merupakan era keemasan pemikiran Islam di mana nama-nama pemikir-penulis progresif menghiasi forum-forum kajian, lingkar-lingkar studi, bulletin-bulletin pemikiran mahasiswa dan aktifitas-aktifitas kajian lainnya. Mulai dari Munawir Sjadzali dengan ”proyek” Reaktualisasi Hukum Islam, Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan ”agenda” sekularisasi dan pluralisme, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan ”kredo” Kearifan Tradisi, hingga Jalaluddin Rakhmat dengan ”jargon” Islam Alternatif dan Islam Aktual; nama-nama itu begitu akrab di lisan para mahasiswa yang getol di kajian-kajian pemikiran Islam Indonesia. Para pemikir-penulis progresif dari Iran juga menghiasi lingkar-lingkar diskusi para mahasiwa. Para pemikir Iran itu ”datang” ke tanah air bukan dengan Syiah-nya melainkan dengan pemikiran-pemikiran alternatifnya dengan tarikan nafas yang sama: Islam sebagai kekuatan penumbang kezaliman dan pendobrak kejumudan. Mulai dari Imam Khomeini, Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, dan banyak lainnya.

Zaman bergerak. Waktu berputar. Dunia terus berdinamika. Percaturan keagamaan pun berubah; semula bercorak pemikiran dengan tema-tema progresif, bergeser ke corak yang kaku dengan tema-tema yang tidak jauh dari pemilahan ”aku-kamu”, ”kami-mereka” dalam internal satu agama; Islam. Jika sebelumnya Islam ”diperhadapkan” langsung dengan tema dan isu krusial seperti kejumudan, keterbelakangan, penindasan, kebodohan dan kemiskinan, kini perbincangan keagamaan mundur jauh ke belakang; seberapa lurus akidah kita dalam mengimani Rukun Iman, seberapa sesuai dengan Sunnah amal-ibadah kita dalam menjalankan Rukun Islam, seberapa murni keberagamaan kita dari unsur-unsur bid’ah, seberapa bersih keberislaman kita dari unsur-unsur non-Islam, seberapa murni keberimanan kita dari anasir jahiliyah.

Ternyata, bagi tidak sedikit orang, kemajuan teknologi, kemudahan akses informasi, dan tak terbatasnya kanal-kanal berita, tidak membuat mereka lebih terbuka terhadap perbedaan, lebih toleran terhadap kebhinekaan, lebih lapang terhadap keragaman. Alih-alih demikian, justru kita lihat semakin ke sini semakin mudah kita temukan orang atau kelompok yang ”memilah” manusia secara biner, menilai segala hal secara hitam-putih, menghukumi segala perkara hanya dengan pendekatan halal-haram, membagi manusia menjadi hanya dua golongan; benar-salah, tepat-sesat, lurus-bengkok, selamat-celaka; kami-mereka.

Kita tidak sedang bicara soal kesalehan ritual dalam beragama. Mereka yang saya ”kritik” sebagai berpandangan biner dalam memandang dan menyikapi orang/kelompok lain, tak diragukan soal kesalehannya di tataran ritual. Yang sedang kita bincang adalah sikap tertutup dalam beragama serta gelagat mempersempit ruang-ruang ”kebenaran” dan ”keselamatan” hanya bagi diri dan golongannya saja. Sikap dan gelagat seperti itu, hemat saya, bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri yang sedari awal terbuka terhadap keragaman dan kebhinekaan.

Perkembangan belakangan juga menunjukkan adanya kelompok Islam yang ”terilhami” kejayaan Islam klasik dalam bingkai yang mereka sebut khilafah lalu ”bingkai klasik” itu mereka idealkan menjadi landasan, bentuk, dan orientasi politik Negara Kesatuan ini. Idealisasi itu mereka koarkan dan kobarkan seraya ”meludahi” dasar, bentuk, dan lambang negara serta kesepakatan-kesepakatan berbangsa dan bernegara lainnya yang sudah terajut kuat dan terpatri dengan kokoh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setidaknya demikian yang dapat saya tangkap dari judul buku ini: ”KONTESTASI NALAR KEBERAGAMAAN KONTEMPORER; Dari Konstruksi Identitas Menuju Koeksistensi Sosial”. Apakah tangkapan saya tepat? Kita tanya Gus Rizqa Ahmadi. Darinya saya mendapatkan buku ini secara gratis, dan beliau sendiri menjadi satu dari enam penulis buku ini.

Komentar