Islamsantun.org – Denyut tulis-menulis dan kepengarangan di wilayah Kepulauan Seribu tak bisa dikatakan sehat. Lebih mirip orang meriang karena banyak makan angin Barat dan dihajar panas matahari. Pemerintah Kabupaten sepertinya tak terlalu bergairah membicarakan ini. Saya juga tak banyak tahu bagaimana dinas pendidikan dan sekolah-sekolah membahas dan menggerakkan ini. Memang ada seminar atau kegiatan literasi ini-itu. Bagaimana hasilnya, belum terasa.
Jadi ketika ada teman dan orang-orang Kepulauan Seribu menulis, saya seperti memiliki teman. Salah satunya Ali Aziz. Ia kelahiran Pulau Tidung, satu kampung dengan saya, namun lebih banyak hidup di Pulau Untung Jawa. Usianya di atas saya beberapa tahu. Kami sama-sama makan bangku madrasah tsanawiyah Pulau Tidung. Ia kini menjadi guru madrasah ibtidaiyah di Jakarta Barat dan senang dalam dunia tulis-menulis.
Saya membaca baik-baik Bersama Dua Perempuan. Karya ini berisi pengalaman hidup masa kecil, remaja, hingga dewasa. Buku ini berusaha membidik kisah-kisah perjuangan menghidupkan sekolah ibtidaiyah di Pulau Untung Jawa. Membaca ini, saya mengerti bagaimana kisah hidup Aziz.
Kadang-kadang kita sering menilai “rendah” apa yang kita lakukan dan perbuat. Padahal, jika dilihat lagi, perbuatan itu bernilai tinggi dan menempel sepanjang hayat orang-orang yang merasakan manfaatnya. Di Untung Jawa di era 90-an, ada madrasah ibtidaiyah yang ditinggalkan murid lantaran satu-satunya guru agama berstatus pegawai negeri pindah mengajar. Bangunan itu lalu diisi angin dan keheningan.
Aziz tak tega, lantas mengajak dua teman perempuan mengajar. Keduanya kelahiran pulau dan lulusan pesantren. Mereka mengajar tanpa honor barang seperak pun. Mungkin mereka mempraktikkan slogan Kementerian Agama: Ikhlas Beramal! Beruntung ada donasi, mereka “bergaji”. Guru diberi honor Rp 20 ribu, kepala sekolah Rp 30 ribu. Pendapatan nelayan saban bulan ketika itu bisa Rp 300 ribu.
Saya bisa membayangkan bagaimana nasib sekolah di pulau-pulau kurang terjamah ketika itu: Pulau Pari, Pulau Payung, Pulau Lancang atau Sabira. Bersama Bapak, saya pernah hidup di Pulau Lancang. Bapak yang menjadi guru agama tinggal di sebuah gubuk yang atapnya menganga karena dihajar kelapa tua yang jatuh tak memberi pesan. Maka apa yang dilakukan Aziz dan kawan-kawan merupakan sebuah kehangatan akhlak. Apa yang mungkin penting diketahui adalah mengapa mereka mau melakukannya?
Secara keseluruhan, buku ini menggambarkan alur yang cukup menarik dari awal hingga akhir. Kisah pengalaman kandas kuliah, diakhiri sukses menyelesaikan kuliah. Alur pada beberapa bagian dalam tulisan ini seharusnya akan kuat jika direncanakan agak lebih matang dan dapat membawa perasaan para pembaca. Sebagian besar dibuat kronologis seperti menghitung satu hingga sepuluh. Saya membayangkan alur itu bisa dibuat berbeda. Misalnya dari tiga, lalu satu, berakhir tujuh.
Misalnya saja pada bab “Madrasah yang Terpuruk”. Pembukaan bab ini dapat langsung memborbardir pembaca dengan kenyataan bangunan madrasah yang merana. Tentu saja ia harus diperkuat oleh latar yang kuat. Misalnya begini, “sore itu, angin dari arah selatan terasa lunglai. Daun pohon kelapa di samping bangunan sekolah itu tak bergerak. Juga pohon-pohon di sekitar yang tumbuh sembarangan. Cat dinding itu kusam setelah ditinggalkan murid-muridnya sejak empat tahun lalu. Sekarang ia hanya jadi kadang kambing.”
Saya sering ciut juga ketika membaca lagi tulisan sendiri berisi dialog yang tak bertenaga. Isi dialog adalah tenaga lain yang membuat tulisan kokoh dan tak loyo. Kadang-kadang kita juga sering lupa membuat dialog yang kurang perlu dan tak memberi kekuatan apa-apa. Misalnya, “Assalamualikum,” kuucapkan salam padanya. Kita bisa menggantinya dengan dialog lain yang mungkin lebih “bertujuan” dan memberi bobot tertentu.
Sebagai pembaca, saya menemukan salah satu dialog yang kuat setelah itu. “Ini bisa dibilang jihad atau ibadah untuk mencerdaskan anak bangsa”. Di tengah pembajakan kelompok ekstremis atas makna jihad, dialog ini kembali merebutnya. Jihad di era sekarang adalah pendidikan.
Rasanya buku ini akan semakin memikat jika penulis memperkuat setting atau latar dari berbagai peristiwa yang disajikan. Latar membantu menyiapkan pembaca untuk berada pada suasana itu seperti keindahan pulau atau kehidupan dan aktivitas warganya. Begitu pun dengan menambah lebih banyak informasi tentang karakter tokoh yang ada di dalamnya: dua perempuan, ketua yayasan, orang tua yang marah-marah.
Pembaca pasti akan terhibur jika buku ini juga membuat kejutan, bukan hanya alur, tapi juga diksi yang digunakan. Kita bisa mencobanya dan tentu saja tak selalu berhasil. Kalau pun gagal, bukankah kita sudah berusaha. Misalnya, “sebenarnya aku ingin sekali mengubah nasib ke arah yang lebih baik”. Mungkin bisa dicoba menjadi begini. “Sebenarnya ingin sekali aku menyulap nasib”.
Dengan mengatakan itu semua, saya tak hendak mengajari ini-itu. Saya mengatakannya karena saya gembira ada teman kampung yang merintis jalan yang tak mudah itu. Dan sebagai sesama penulis, kita harus berbagi sebisa yang kita mampu, semampu yang kita bisa. Atas apa yang sudah disajikan buku ini, saya mengucapkan selamat dan ikut berbahagia.
Kalimulya, 25 September 2022
Alamsyah M Djafar