Judul Buku: Pernikahan dan Disabilitas Nalar Hukum Penghulu di Kota Malang
Penulis: Mukhammad Nur Hadi
Kata Pengantar: Ro’fah, Ph. D.
Penerbit: Publica Institute Jakarta
Cetakan: Cetakan 1, 2020
Tebal: xiii + 198 halaman
ISBN: 978-623-6540-06-0
Isu difabel menjadi tema yang menarik untuk kita perbincangkan karena masih banyak kendala sosial yang dihadapi penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat. Kendala-kendala tersebut datang silih berganti dari masyarakat itu sendiri secara eksternal.
Muhammad Nur Hadi yang menulis karya Pernikahan dan Disabilitas Nalar Hukum Penghulu di Kota Malang. Buku ini mengurai masalah yang dihadapi oleh difabel khususnya dalam hukum perkawinan. Buku ini merupakan pengembangan tesis yang dibuat oleh penulis di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Fokus tulisan ini bagaimana pemahaman penghulu terhadap isu penyandang disabilitas dalam ranah wali nikah dan saksi nikah di Kota Malang, titik fokusnya adalah mengamati cara penafsiran penalaran hingga sudut pandang dan paradigma yang dieksplorasi oleh para penghulu terhadap klausul pasal 22 dan pasal 25 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keberadaan dua pasal tersebut dalam KHI ternyata menyinggung tentang pembatasan penyandang disabilitas dalam bertindak sebagai subjek hukum. Fakta inilah yang memotivasi penulis untuk menggali pemahaman para penghulu karena Kompilasi Hukum Islam hingga saat ini tetap digunakan sebagai pedoman dalam praktek hukum Islam di lapangan.
Dalam pengantarnya Ro’fah BSD, Ph.D menyatakan bahwa penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok sosial yang dalam konteks budaya mana pun mengalami marjinalisasi dan diskriminasi di hampir semua aspek kehidupan. Perbedaan kondisi fisik sensorik mental maupun intelektual secara budaya dikonstruksikan negatif tidak saja dianggap berbeda tapi juga kurang, rusak atau tidak normal dan tentu saja sebagai sebuah konstruksi sosial pandangan ini tercermin lebih jauh dalam tatanan dan struktur masyarakat (hlm. Viii).
Buku ini mengupas peran penghulu dalam memberikan layanan prima bidang keagamaan khususnya. Posisi pernikahan yang sakral sebagai perjalanan hidup individu muslim dimana otoritas wali dan saksi dari kalangan penyandang disabilitas disoal, Apakah perwalian nikah dan kesaksian penyandang difabel absah atau tidak dalam pandangan Hukum Syar’i maupun konteks negara. Karena pernikahan merupakan akad ijab qobul. Dalam perspektif Islam adalah salah satu bentuk ibadah muamalah yang sakral dan penuh hikmah.
Riset Nurhadi menjawab kegelisahan kalangan penyandang disabilitas dalam hukum keluarga Islam. Sebelum menjawab problem akademis dan sosial ini penulis menelusuri konsep difabel, wali nikah, saksi, talak dan poligami. Menelusuri kajian klasik Fiqih dan perkembangan hukum positif Islam di Indonesia di mana dalam KHI setidaknya ada 4 isu yang berkaitan dengan disabilitas yaitu wali nikah, saksi nikah, talak dan poligami.
Dua topik yang pertama tidak banyak ditulis peneliti di Nusantara. Keabsahan nikah pun juga tergantung bagaimana status kelayakan wali dan saksi nikah. Nur Hadi lebih lanjut berargumentasi bahwa kompilasi hukum Islam sendiri telah menetapkan bahwa wali nikah sebagaimana pasal 22 KHI, sementara dalam persaksian hanya penyandang disabilitas rungu yang tidak dibolehkan sebagaimana pasal 25 KHI. Di sinilah penghulu berperan dalam menentukan status kelayakan keduanya. Apakah penghulu mengiyakan redaksi pasal itu atau sebaliknya? Apa saja aspek yang dipertimbangkan? Akankah penghulu membawa narasi hukum Islam emansipatoris atau sebaliknya?.
Penghulu di Kota Malang sebagai basis riset merespon isu disabilitas dalam perkawinan terkait wali nikah dan saksi. Nalar hukum yang digunakan penghulu dalam menentukan status kelayakan wali nikah penyandang disabilitas dan saksi sebagai representasi nilai nilai humanisme hukum perkawinan Islam di ranah lokal dan dalam rangka membangun hukum Islam yang akomodatif terhadap isu-isu disabilitas dalam perkawinan.
Kajian Nur Hadi menemukan bahwa nalar keberpihakan hukum penghulu tampak saat merespon pasal 22 KHI. Karena pentingnya wali nikah untuk tetap mempertahankan hak wali nikah penyandang difabel wicara dan rungu, baik dari sisi historis Syariat dan Fiqih. Apalagi aspek sosiologis yang menjadi dasar argumentasi adalah kemampuan berpikir atau intelektualitas dan selama tidak terganggu ingatannya (hlm 169).
Maka penghulu tidak ada alasan yang dapat menghalangi hak hukumnya. Sedangkan respons terhadap pasal 25 KHI tentang saksi nikah. Mayoritas penghulu membenarkan Apa yang tercantum dalam pasal tersebut, dimana berbunyi “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Ini dikuatkan melalui eksplorasi aspek historis Fiqih sebagai elemen dominan, Aspek bahasa, dan sosiologis. Ketidakakomodasian penghulu terhadap isu ini terlihat berkaitan dengan kondisi sosial yang umumnya lebih meyakini saksi dari non penyandang disabilitas (hal. 169).
Buku ini layak dibaca penghulu, penyuluh agama, mahasiswa, pemerhati isu difabel dan masyarakat luas untuk membangun peradaban inklusif diskriminasi.