Dedik Priyanto datang ke kos saya di Ciputat pada suatu sore di bulan Oktober yang gerah. Ia membawa dua buku terbitan islami.co. Pertama, novel Panggil Saja Mutia karya Virdika Rizky Utama, kedua, Radikalisme di Media Sosial karya Mohammad Nuruzzaman. Dua buku itu untuk saya. Dedik lantas mencomot buku Jurnalisme di Luar Algoritma (Arif Zulkifli) dari meja saya. Ini cocok untuk jadi teman perjalanan ke Singkawang, katanya.
Saya akhirnya merampungkan membaca novel Panggil Saja Mutia. Senang sekali membaca novel karya penulis buku Menjerat Gus Dur yang fenomenal itu. Virdi, yang biasa menulis karya non fiksi, kini menelurkan buku fiksi (novel). Dan buku itu tak main-main: terbit sebagai hadiah pernikahan, dibagikan ke tetamu yang hadir di hari sakral dalam hidupnya.
Dalam pengantar novelnya, Virdi mengaku bahwa menulis fiksi adalah perjuangan tak mudah baginya. Ia teringat saat SMA hanya bisa menulis tiga kalimat ketika diminta guru menulis cerpen. Virdi meyakini bahwa menulis karya sastra adalah puncak tertinggi dalam dunia kepenulisan. Ia kini telah sampai di puncak itu.
Novel Virdi menarik bagi saya, salah satunya karena mengangkat relasi anak dan bapak (yang kerap kali rumit namun sentimental). Saya jadi teringat satu cerpen yang pernah saya tulis, Suatu Malam Abah Datang Mengetuk Pintu. Ceritanya sederhana saja, seorang anak yang hidup bersama bapaknya di desa. Ibunya wafat ketika jadi TKW di Taiwan. Si bapak melawan pembangunan pabrik di desanya. Perlawanan yang sengit. Ia pun diculik dan tak jelas di mana rimbanya. Si anak hidup sebatang kara dan setalah dewasa, pada suatu malam, bapaknya seperti datang menjenguknya. Itulah mengapa saya merasa novel Virdi ini “dekat dengan saya”.
Saya tidak tahu yang mana “fakta” dan fiksi dalam novel Virdi. Apakah ia diangkat dari kisah nyata atau campuran antara realita dan imajinasi. Tidak penting pula rasanya untuk dicari tahu. Fiksi adalah fiksi. Yang pasti, Virdi berhasil membuat gambar tentang mahasiswa cum aktivis, pers mahasiswa, demo menolak kenaikan BBM. Detail-detail kecil berhasil dipotret dengan baik. Tampak ada upaya Virdi mengekalkan kenangan dengan menulis novel.
Sudah lama saya tidak membaca novel. Novel terakhir yang saya baca adalah novel Kitab Salahudin karya Tariq Ali. Novel yang asyik dan menebitkan kegembiraan. Membaca novel, kini, menjadi jeda yang menyenangkan. Sebab saya tak perlu berkerut-kerut mencerna kalimat demi kalimat.
Saya senang membaca novel Virdi karena ia menyebut sejumlah lagu, film, dan buku bagus di novelnya. Saya membaca novel sambil buka Youtube, mencari lagu-lagu yang disebut Virdi. Belakangan saya jadi suka memutar lagu-lagu John Mayer dan The Smiths gara-gara novel itu. Kalau novel Murakami sudah saya baca sejak lama. Dan jika tokoh utama novel itu diceritakan suka karya-karya Murakami rasanya cocok belaka. Anak muda kelas menengah urban gandrung Murakami tentu tepat dan klop.
Semua lagu, buku dan film dan buku yang disebut dalam novel menjadikan suasana hidup dan tampak nyata. Menjadi penyeimbang latar novel yang muram: Jakarta dengan segala hiruk pikuknya, rezim dengan kebijakan busuknya. Layaknya sebuah film, lagu-lagu itu ibarat soundtrack yang mengalun seiring alur cerita. Menjadi pengat adegan demi adegan.
Sejumlah Catatan
Eka Kurniawan pernah bilang kalimat pertama pembuka novel haruslah kuat dan impresif. Ia tak hanya berteori, tapi membuktikannya pada novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau. Kalimat pertamanya terus menggema di kepala.
Saya membayangkan, novel Panggil Saja Mutia dibuka dengan percakapan yang paling kuat di novel itu: Mutia di masa depan mari kita menikah. Baru kemudian digambarkan suasana demo yang chaos. Sebab, rasanya inti dari novel ini ada situ: cinta, gelora masa muda, aktivisme. Semua berjalin dalam satu periode hidup yang menyala-nyala dan pantas dikenang. Barulah kemudian strategi penceritaan dibuat maju-mundur dan lapis-lapis rahasia dibuka pelan-pelan.
Sejujurnya, usai membaca novel Virdi, saya menyimpan beberapa pertanyaan: Apakah tokoh utama benar-benar tidak tahu masa lalu ayahnya sampai ia menamukan kotak itu? Apakah Margono semiskin itu, padahal ia pernah dekat dengan kekuasaan? Benarkah Yanto dan Margono berduel dari jam 11 malam hingga subuh? Apakah pertemuan Tanto dan Margono setalah sekian tahun berisi ocehan panjang perihal sejarah?
Fiksi harus masuk akal. Itu adalah pelajaran yang saya terima di kelas-kelas penulisan fiksi. Imajinasi boleh seliar mungkin, tapi tetap harus masuk akal. Kita kenal realisme magis, tapi meski “magis” ia tetap tidak ngawur dan masih believable.
Terakhir, novel ini akan lebih sip jika ia memiliki penyelia aksara yang teliti, sehingga kesalahan minor (typo, tanda baca, EYD dll) bisa dikurangi.
Oya, selamat menikah, Virdi. Bahagia selalu!