Mohammad Said*
Sejarah, sebagai hari lampau yang pernah dialami, kadang juga bercampur dengan mitologi. Namun bagaimanapun pula, sejarah tetaplah penting. Oleh karenanya kita menafsir sejarah dengan beragam konsepsi dan kepentingan. Dengan begitu, kita seolah-olah mendapat gambaran yang utuh tentang sejarah. Begitulah cara kerja sejarawan menggambarkan tokoh-tokoh besar.
Figur sejarah kemudian dibebani nilai-nilai moral yang serba hebat, lalu ia mewujud dalam personifikasi, dan pelan-pelan menjadi sumber kemapanan ide dan nilai.
Hal itu terjadi, setidaknya, disebabkan oleh perlunya ketokohan dan keteladanan bagi masyarakat. Ketokohan dan komunitas pendukung (pencinta) mengalami pembauran yang kemudian memproduksi nilai sebagai acuan moral, bahkan sebagai legitimasi. Tokoh tokoh besar, selain karena memang berjasa menggerakkan sejarah, mereka juga ditopang oleh komunitas pencintanya. Dengan demikian, ia akan terus hidup melegenda sebagi ‘figur’ yang terus menerus diaktualisasikan, dan bahkan boleh jadi ‘dimitoskan’.
Pada umumnya, sejarah resmi yang kita baca adalah sejarah yang berpusat pada peristiwa-peristiwa besar, yakni tentang perang dan kekuasaan. Tidak ada tempat bagi ‘orang-orang kalah’, orang-orang pinggiran yang sebetulnya mengalami dan menghidupi sejarahnya sehari-hari dengan sederhana. Orang-orang pinggiran tak tersangkut dengan kejadian-kejadian besar, mereka hidup, bekerja, menggerakkan masyarakat sekitar, memberi teladan, dan hal-hal bermanfaat lainnya secara normal.
Bagi ‘orang-orang pinggiran’ ini, peristiwa penting dalam sejarah adalah: kelahiran, perkawinan dan kematian. Namun tentu saja kisah-kisah mereka tak pernah terekam, dan dicatat. Sebab sejarah kita adalah sejarah elitis: rajasentrisme dan politik bangsawanisme. Maka dari itu, peranan orang-orang kecil terlempar dari altar sejarah. Sejarah hanya menampung kisah politik dan jatuh-bangunnya kekuasaan.
Padahal sesungguhnya, semua anak manusia terlibat dalam aliran sejarah. Mereka terlibat dalam banyak segi kehidupan dan ragam aktvitas. Diantara mereka ada yang tampil sebagai pemberani, ada yang gelisah dan sepi, ada pula yang romantik, pun ada yang menjadi pengecut dan komprador dalam narasi sejarah revolusi Indonesia.
Namun yang sering kita saksikan dalam catatan sejarah adalah hanya peristiwa-peristiwa besar yang berkaitan dengan pertarungan ideologi dan perebutan kekuasaan.
Menjelang tanggal 22 Mei, misalnya, terkait dengan penetapan hasil rekapitulasi manual KPU di dalam rangka penentuan pemenang Pilpres 2019. Suasana ‘terlihat’ agak genting. Masyarakat masih terbelah. Meskipun sebagian masyarakat yang lain juga sebetulnya adem-ayem saja. Namun kemungkinan-kemungkinan terjadinya benturan antar anak bangsa harus tetap diwaspadai dan diantisipasi.
Dalam kaitan itu, mari kita berkaca dan menegok kembali sejarah pergolakan politik Indonesia di masa lalu. Adalah Majalah Prisma No.7 tahun 1978 menceritakan tentang: “Pergolakan Politik Dalam Sejarah”. Terdapat beberapa artikel penting yang dimuat pada di edisi ini, dan sepertinya masih amat layak dijadikan bahan refleksi sejarah bagi dinamika politik Indonesia hari-har ini.
Artikel T. B. Simatupang & A.B Lapian, misalnya: Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa? Esai ini melihat motif pemberontakan tak tunggal. Pemberontakan terjadi oleh sebab yang kompleks; yakni gejala politik, sosiologis, ekonomis, psikologis, dan tentu saja politik militer. Dalam konteks kekinian, meski kita telah mengalami usia reformasi yang cukup tua, kita masih menyaksikan bagaimana peran para bekas jenderal di dua kubu masih sangat kuat. Mereka masih bercokol sebagai pemain-pemain penting dalam menentukan arah politik Indonesia.
Lalu Selo Soemardjan: Penggunaan Kekerasan Massal. Ia memotret peristiwa peristiwa kekerasan massal yang terjadi di Senayan 20 Juni 1977 pada hari ulang tahun kota Jakarta. Yakni kekerasan yang terjadi antar suporter Persija versus Persebaya. Sepertinya soal kekerasan massal sepak bola ini juga masi kerap terjadi sampai saat ini. Kita belum cukup matang untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Dan, kita masih harus belajar soal perkara yang satu ini.
Soemardjan juga memotret kekerasan Rasial di Pulau Jawa, 27 Maret 1963 di Cirebon, yang terjadi antara Pemuda Pribumi versus Pemuda Cina (Tionghoa). Persoalan awalnya sederhana yakni konflik kecil antar segelintir pemuda pribumi dan pemuda Cina. Tiba-tiba, perseteruan itu menyulut kekerasan massal, pembakaran dan penyerangan terhadap etnis Tioghoa meluas saat itu. sehingga situasi kekacauan tak dapat dihindari.
Kolomnis lainnya, yakni R.Z Leirissa menulis Pemberontakan Republulik Maluku Selatan. Lerissa memotret detil-detil triger dan jalannya peristiwa pemberontakan tersebut. Jadi, pasca kemerdekaan kita belum benar-benar lepas dari segala pergolakan. Indonesia senatiasa mengalami pendewasaan dalam proses pertumbuhannya sebagai negara bangsa.
Majalah Prisma edisi ini juga memuat transkrip wawancara dengam Herbert Feith yang berjudul: Demokrasi: Tantangan Tanpa Akhir. Herbert Feith adalah Indonesianis terkemuka yang karyanya selalu dirujuk oleh peneliti-peneliti perpolitikan Indonesia setelahnya. Dua maha karyanya yang amat berpengaruh tentang politik Indonesia, yakni: The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Cornel University Press, 1962) dan Indonesian Political Thinking. Feith berkesimpulan bahwa revolusi Indonesia telah menganugerahkan kemerdekaan, namun di sisi yang lain ia juga memunculkan konflik sosial-politik baru bagi Indonesia, seperti pemberontakan, penculikan, pembunuhan, dan segala keresahan sosial-horizontal antar anak bangsa.
Transkrip dialog Feith, agaknya masih relevan jika melihat perjalanan demokrasi dan kontestasi hari-hari ini. Yang berubah hanya konteks sosial dan aktor-aktornya. Namun gairah kontestasi dan situasi keterbelahan masih ‘agak’ sama. Ya benar, demokrasi kita masih belum selesai, dalam artian masih menuju tingkat kematangan selanjutnya.
Artikle selanjutnya ditulis Soeyatno, Feodalisme dan Revolusi Surakarta 1945-1950. Adalah suatu kenyataan bahwa ketegangan politik nasional mempengaruhi pula perkembangan politik di daerah. Demikian halnya di Surakarta, Sjahrir diculik oleh kelmpok politik yang menjadi oposisinya di Surakarta. Kelompok penculik itu ditenggrai didalangi kelompok komunis. Maka sejak saat itu, mulailah terlihat permusuhan antara kaum sosialis versus komunis.
Penulis lainnya, Onghokham menulis Pemberontakan Madiun 1948: Drama Manusia dalam Revolusi. Terakhir, Usman Tampubolon menulis Pemberontakan PRRI-Permesta: Tahap Akhir Pemerintahan yang Labil.
Jadi, tiada sejarah tanpa peristiwa berdarah-darah, dan perkara naik-jatuhnya kekuasaan. Tidak hanya di Indonesia, semua sejarah besar dunia mengalami hal serupa. Dari berbagai peristiwa itu kita seharunsya belajar, bahwa mestinya yang mendahului semua katastrofi perbedaan ideologi dan segala ambisi politik adalah kearifan. Kita adalah penumpang perahu yang sama. Maka jangan biarkan gelombang pasang menghempas-tenggelamkan kita.
Mari kita menyelesikan segala kekisruhan ini dengan cara-cara fair dan baik. Maka menjelang 22 Mei, kita berharap Indonesia adem-adem saja.