H. Shaleh Ardhi atau akrab disapa “Guru Shaleh” lahir di Tembilahan pada tanggal 14 Februari 1923 M/ 28 Jumadil Akhir 1341 H. Guru Shaleh merupakan anak tertua dari pasangan Ardhi dan Simar, sebuah keluarga Banjar Amuntai yang bermigrasi ke Indragiri Hilir akhir abad ke-19. Guru Shaleh memiliki beberapa saudara sekandung di antaranya, H. Abdul Razaq, Abdul Rahman, Muhammad Thaib, Siti Zainab, Siti Ruqayyah, dan Saudah.
Guru Shaleh menikah dengan wanita bernama Mulia. Dari pernikahannya mereka dikaruniai 12 anak, yaitu Muhammad Said, Mukhtar, Abdul Rahim, Rahmi, Ratna, Fahmiyah, Sufiati, Fadliyah, Aliyah, Anita, Zulkifli, dan Muhammad Yamin. Dua orang anaknya yang pertama, Muhammad Said dan Mukhtar meninggal ketika masih bayi. Sementara sepuluh orang sisanya masih hidup hingga dewasa.
Guru Shaleh muda telah mendapat pendidikan sekolah rendah bentukan pemerintah Belanda bernama Volk-School di Tembilahan tamat sekitar tahun 1933. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Agama Musyawarah hingga selesai kelas VII (1934-1940). Pada kedua sekolah ini, Guru Shaleh tidak memiliki ijazah sebagai bukti otentik bahwa ia pernah menempuh Pendidikan. Tidak diketahui alasan pasti ketidakadaan ijazah ini, boleh jadi karena belum ada sistem ijazah atau sertifikat pada masa itu. Kendati demikian, ia tetap memiliki hubungan intelektual murid dan guru dengan tokoh ulama Tembilahan KH. Abdul Hamid Sulaiman.
Setelah memperoleh Pendidikan di Madrasah Musyawarah Tembilahan, tahun 1941 Guru Shaleh bekerja menjadi juru tulis I Koperasi Rakyat di Sungai Salak dengan gaji sebesar Rp. 15 Rupiah. Ia juga menjadi juru tulis II di Madrasah Musyawarah Cabang di Sungai Salak. Ketika penjajahan Jepang masuk ke Indragiri tahun 1943, Guru Shaleh terpaksa harus mengungsi ke daerah Sungai Junjangan, wilayah Gaung Anak Serka. Daerah Junjangan di kenal sebagai tempat mengungsi paling aman ketika itu bagi orang di tepian sungai Indragiri untuk menghindari tembakan tantara penjajah.
Di Sungai Junjangan ini, ia kembali mengabdikan diri sebagai seorang pengajar di sebuah Sekolah Agama dengan honor sebesar Rp. 50 Rupiah. Guru Shaleh juga pernah menjadi anggota Laskar Sabilillah sejak 10 Oktober 1945 hingga 27 Desember 1949. Sehingga ia berhak mendapat gelar kehormatan sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Menteri Pertahanan Keamaan Panglima Angkatan Bersenjata pada tahun 1981. Sebab itulah, hingga sekarang istrinya Hj. Mulia menerima honor pensiunan Veteran dari Pemerintah.
Pada 15 September 1949, Guru Shaleh pernah diangkat menjadi Ketua Pabean darurat (setingkat kepala Bea dan Cukai kecamatan) untuk wilayah Gaung Anak Serka. Jabatan ini berkantor di Sungai Empat, untuk mencapai ke kantor Pabean ia harus berjalan kaki atau mendayung sampan dari Sungai Junjangan. Tugasnya adalah memeriksa setiap komuditas ekspor dan impor, yang keluar dan masuk dari Malaysia dan Singapura melalui Sungai Empat. Setelah Penyerahan Kedaulatan, tepatnya pada 27 Desember 1949, Guru Shaleh mengundurkan diri dari jabatan tersebut dan kembali mengajar di Junjangan.
Setelah itu, tepat pada tanggal 17 Maret 1950 Guru Shaleh terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) daerah Indragiri utusan dari wilayah Gaung Anak Serka. Karena lebih banyak berkecimpung di Tembilahan, ia diminta oleh KH. Abdul Hamid Sulaiman selaku Kepala Sekolah Madrasah Sa’adah El Islamiyah sekaligus gurunya sendiri, untuk mengajar di Madrasah Sa’adah El Islamijah Tembilahan. Ia mulai mengajar di Madrasah ini pada 1 September 1952 dengan gaji sebesar Rp. 250 Rupiah.
Menurut informasi dari anaknya, Abdul Rahim (kelahiran 1948), ayahnya itu adalah tipe orang yang lebih mendahulukan kepentingan dan mengusung semangat keislaman. Sehingga ketika menjabat sebagai Pabean dan DPRS ia melihat ada sedikit pandangan yang tidak sehaluan dengan prinsip Islam yang ia pegang, sehingga ia lebih memilih untuk mengundurkan diri daripada harus bertahan.
Selain itu, Guru Shaleh memiliki hubungan erat dengan Partai Masjumi. Ketika di Sungai Junjangan (1946) ia menjabat sebagai ketua I Ranting partai Masyumi Sungai Junjangan. Begitu pula ketika telah pindah ke Tembilahan, ia kembali menjadi Ketua I Ranting Partai Masjumi Tembilahan (1953). Partai yang ia pilih ini sama dengan partai gurunya KH. Abdul Hamid Sulaiman.
Tahun 1974-1975 (13, Hanafi bin Haji Chalid dan Guru Shaleh bin Ardi ditetapkan sebagai ketua dan wakil ketua Rombongan Jamaah Haji Laut kabupatan Indragiri Hilir musim haji tahun 1394 H/ 1974. Ketua dan wakil ketua Rombongan ini mengatur 11 kepala kelompok yang berada di bawahnya, nama-nama sebelas kepala kelompok itu adalah: 1) Idrus Noor bin Juhri, 2). Haji Maksum bin Ali, 3). Abdullahi bin Hatta, 4). H. Abd Rahis bin Abd. Rahman, 5). Aslani bin Nawi, 6). H. Zamri bin Abd. Rahman, 7). H. M. Shaleh bin Asuari, 8). Abd. Malik bin Makateruk, 9). M. Arif bin H. Daude, 10). Ramli bin Daeng Sanuse, dan 11). Ibrahim bin Ketong.
Pada masa itulah Guru Shaleh Ardhi naik haji bersama istrinya. Abdurrahim menceritakan bahwa ayahnya ke Mekah menggunakan kapal laut, lewat pelabuhan Dumai. Guru Shaleh menempati ruangan di bawah dek kapal. Ia membawa berpeti-peti persiapan bahan makanan, karena ke Mekah ditempuh dalam waktu hitungan satu bahkan dua bulan perjalanan. Peti-peti ini ketika Guru Shaleh kembali ke Tembilahan penuh terisi dengan kitab-kitab keagamaan, terutama fiqh dan hadits.
Kiprah Guru Shaleh selain sebagai pengajar di Madrasah Sa’adah El-Islamiyah, ia juga menjadi Hakim bantu di Pengadilan Agama Tembilahan. Sebab ia pernah mengikuti perkuliahan pada Fakultas Syariah persiapan IAIN di Tembilahan. Sayagnnya Pendidikan ini tidak sampai selesai dan belum mendapat gelar BA. Meski demikian, Guru Shaleh tetap mendapat penghormatan atas ilmu yang ia miliki, setiap tahun selalu menjadi juri MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) terutama pada bidang Tilawah sebagai juri Adab.
Guru Shaleh memiliki murid-murid yang melanjutkan perjuangannya di bidang Agama, seperti KH. Sa’dullah Hudhari dan KH. Abdul Muis Kurnain (Pimpinan Pondok Pesantren al-Baqiyatussa’diyah Tembilahan), H. Khalid Zuhri, dan H. Tarmizi Ahmad (Guru MAN Tembilahan). Selain itu, masih banyak murid-murid beliau yang belum terdata, baik dari kalangan laki-laki dan perempuan. Khususnya murid-muridnya di Madrasah Sa’adah El-Islamiyah, Madrasah Fatimah Ali, dan “Bebacaan” (pengajian kitab) di Surau al-Irsyad Lr. Surau (Belida) yang disebut sebagai “Beahadan” karena dilaksanakan pada setiap hari Ahad.
Guru Shaleh juga pernah diangkat menjadi Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) kabupaten Indragiri Hilir hingga ia meninggal dunia. Kemudian jabatan ini berpindah ke tangan H. Said Abdul Ghani. Guru Shaleh wafat pada pukul 01.00 hari Minggu, 23 Oktober 1988 M/ 12 Rabi’ul Awal 1409 H di Pekanbaru. Keberangkatannya ke Pekanbaru tersebut adalah untuk mengobati penyakit jantung yang ia derita. Penyelenggaraan jenazah Guru Shaleh dipimpin oleh KH. Abdul Hamid Sulaiman, gurunya sendiri yang ketika itu menjabat sebagai ketua MUI Provinsi Riau.
Sumber:
Dokumen Daftar Riwayat Hidup dan Pekerjaan Shaleh Ardlie, Tembilahan, 25 Juli 1953.
Dokumen Surat Keputusan Pembantu Perwakilan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia Kabupaten Indragiri Hilir, 1974.
Dokumen Surat Keterangan, 27 Desember 1949.
Dokumen Surat Kuasa, 15 September 1949.
Wawancara dengan Abdul Rahim (Anak Shaleh Adhi, kelahiran 1948).