islamsantun.org – Musyawaratutthalibin atau dalam ejaan lama Moesjawaratoetthalibin (M.Th) merupakan sebuah organisasi Islam terbesar di Kalimantan Selatan awal abad XX. Musyawaratutthalibin didirikan di Banjarmasin pada 12 Sya’ban 1349 H/ 2 Januari 1931 M. Sejak didirikannya, Musyawaratutthalibin mendapat simpatisan yang cukup besar, sehingga perkembangannya sangat pesat.

Setelah di Banjarmasin, berdirilah cabang-cabang Musyawaratutthalibin di Kandangan, Alabio, Barabai, Amuntai, Rantau, Kalua, Negara, Wasah Hilir, Kota Baru, Sampit, Samuda, Balikpapan, Samarinda, Senakin, Tarakan, Sanga-sanga Dalam, bahkan hingga ke pulau Sumatera, tepatnya di Bangka, Belitung, Kuala Tungkal, dan Rengat. Secara khusus di Indragiri Hilir, organisasi ini berkembang di Sapat, Tembilahan, Enok, Pulau Palas, Sungai Luar, Perigi Raja, dan Sungai Salak. Terutama di daerah komunitas-komunitas suku Banjar bermukim.

Karena luasnya persebaran tersebut, Musyawaratutthalibin membagi wilayah commisaris-nya menjadi tiga: Pertama, wilayah Kalimantan bagian Selatan berpusat di Alabio, dipimpin oleh M. Ali Bakeri. Kedua, wilayah Kalimantan bagian Timur berpusat Samarinda dipimpin oleh Riduan Syahrani. Dan Ketiga, wilayah Sumatera/ Indragiri berpusat di Sapat, dipimpin oleh tuan Hayat Abdurrahman.

Organisasi Musyawaratutthalibin berhasil melaksanakan kongres sebanyak enam kali: kongres pertama di Banjarmasin tahun 1934, kemudian di Kandangan tahun 1936, di Amuntai tahun 1937, Balikpapan tahun 1938, Kandangan tahun 1939, dan terakhir di Tembilahan tahun 1941. Sementara rencana melaksanakan kongres di Barabai tahun 1943 dan di Wasah Hilir tahun 1945 gagal karena berbenturan dengan kebijakan penjajahan Jepang.

Kongres Musyawaratutthalibin di Tembilahan berlangsung pada tanggal 21-25 April 1941. Kongres ini dihadiri oleh Ketua Pengurus Besar  Musyawaratutthalibin H. Muhammad Arsyad dan Sekretaris Umum Ahmad Abbas. Dihadiri pula oleh sepuluh utusan cabang Musyawaratutthalibin, antara lain: Muhammad Sa’dillah (Kandangan), Masnuh (Alabio), Abdul Azizi Mansur (Barabai), dan Bakeri R (Rantau).

Pada kongres ini dibahas tentang kelanjutan penerbitan majalah Soeara Moesjawaratoetthalibin yang pernah terbit tiga nomor. Pembentukan pendidikan Madrasah Tsanawiyah Musyawaratutthalibin bagi setiap cabang yang sanggup mendirikannya. Dibahas pula tentang usaha pengembalian urusan pembagian harta warisan di tangan pemerintah kepada urusan agama, termasuk pula meminta pemerintah memberikan sanksi tegas bagi orang-orang yang menghina agama Islam.

Meski kelahiran Musyawaratutthalibin menjadi kaum moderat, penengah pertikaian masalah khilafiyah antara “Kaum Tuha” (Tradisionalis) dan “Kaum Anum” (Reformis), tetapi di beberapa daerah basis Musyawaratutthalibin justru cendrung berpihak kepada Kaum Tuha. Misalnya Musyawaratutthalibin di Barabai, Musyawaratutthalibin di tempat ini sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), bahkan ketika Musyawaratutthalibin tidak aktif lagi maka pengurus, Gedung dan sekolahnya berpindah tangan ke Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut penilaian dari Pengurus Besar, keadaan itu berbeda dengan Musyawaratutthalibin di Kandangan, Sapat, dan Tembilahan, mereka lebih mencari titik temu dan lebih akur antara Musyawaratutthalibin dan Muhammadiyah. Bahkan di Kandangan, gedung mereka bedampingan, dan Musyawaratutthalibin Kandangan pernah mengundang Buya Hamka, seorang pengurus Muhammadiyah untuk kegiatan Tabligh Akbar.

Sejarah masuknya Musyawaratutthalibin ke daerah Indragiri Hilir ini berbarengan dengan masuknya organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Tiga tokoh Musyawaratutthalibin yang terkenal di Indragiri ini ialah Tuan Hayat Abdurrahman, H. Ibrahim dan H. Rasidi. Organisasi ini menitik beratkan pergerakannya pada aspek agama dan Pendidikan, terutama membangun sekolah-sekolah Musyawaratutthalibin.

Daerah Indragiri Hilir yang mula-mula membentuk kepengurusan Musyawaratutthalibin adalah Sapat yang berafiliasi dengan kepengurusan di Kandangan, Kalimantan Selatan. Ketika terbentuk, Musyawaratutthalibin Sapat meraih 50 orang anggota, setahun kemudian meningkat pesat hingga 1299 anggota. Anggota ini berdomisili di Sapat, kemudian di ikuti pula oleh anggota terbanyak dari Enok, Pulau Palas, dan Rengat. Susunan pengurus Musyawaratutthalibin di Sapat diketuai oleh H. Rasidi, wakil ketua H. Aini kemudian diganti H. Sarbini. Sementara sekretarisnya adalah H. Ali dan Manhuri, dan bendaharanya adalah H. Hasyim, H. Idrak, dan Lamid.

Dua minggu sekali Musyawaratutthalibin mengadakan kegiatan tabligh di Masjid Sapat. Kegiatan ini bukan hanya dihadiri oleh anggota Musyawaratutthalibin, tetapi juga diikuti oleh masyarakat umum. Beberapa orang yang kerap menjadi pembicara dalam kegitan ini adalah H. Khalid (imam Sapat dan murid Tuan Guru Sapat), H. Matsyeh (imam dan murid H. Khalid), H. Masri (menantu H. Khalid), H. Abdul Ghafar (menantu H. Khalid), dan H. Syahaimi sebagai ketua.

Dari nama dan afiliasi tokoh-tokoh Musyawaratutthalibin Sapat di atas tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan sosok kharismatik Tuan Guru Sapat Syekh Abdurrahman Siddiq (w. 1939). Beliau menjadi pengarah dan penasehat Musyawaratutthalibin di daerah ini yang setiap saran dan pandangannya selalu dipertimbangkan. Sehingga di satu sisi, Musyawaratutthalibin Sapat lebih cendrung berpihak ke faham Kaum Tuha, meskipun mereka bisa berdampingan dengan Muhammadiyah yang ketika berdirinya telah berhasil mendapatkan 285 kader di Sapat.

Musyawaratutthalibin sangat berkontribusi di bidang Pendidikan, di Indragiri Hilir lembaganya lebih dikenal dengan nama “Sekolah Musyawarat” atau Sekolah Arab. Di Tembilahan pendirian Sekolah Musyawarat dipelopori oleh H. Husain Abd. Jalil, seorang keturunan Amuntai. Ia pernah belajar di Mekah selama empat tahun. Awalnya di tahun 1933 ia mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di Surau al-Hidayah parit 13. Kemudian tahun 1937 proses belajar mengajar ini dipindah ke Gedung Musyawaratutthalibin, sehingga lengketlah nama Madrasah Musyawaratutthalibin pada sekolah tersebut.

Menurut Mujiburrahman, Musyawaratutthalibin di Tembilahan ini berhasil mendirikan sekolah modern dengan menggunakan nama dalam bahasa Belanda, Holland Indonesisch Arabisch School (HIAS). Sekolah ini pernah mendatangkan empat orang guru dari Taman Siswa Yogyakarta sebagai tenaga pengajar. Tetapi sayangnya ia tidak menyebutkan siapa nama empat orang pengajar itu. Seiring masuknya masa penjajahan Jepang dan meredupnya popularitas Musyawaratutthalibin. Sekolah ini kembali berganti nama menjadi Islamic School pada tahun 1943, dan terakhir 1949 hingga sekarang berganti lagi menjadi Sa’adah el-Islamiyah.

Satu catatan penting yang tidak boleh dilupakan, keberadaan Musyawaratutthalibin di Indragiri Hilir bukan hanya berkontribusi besar di bidang agama dan pendidikan, tetapi juga berperan di bidang peningkatan ekonomi masyarakat. Musyawaratutthalibin di Sungai Salak berhasil pula mendirikan sebuah Koperasi Dagang Islam. Sebuah badan yang dijalankan berlandaskan prinsip dan aturan Islam. Tetapi lembaga ini sekarang hilang seolah di telan bumi.

Meredupnya Musyawaratutthalibin sebenarnya telah terasa sejak turutnya H. Muhammad Arsyad selaku Ketua Umum Musyawaratutthalibin dalam kongres Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1941 di Solo. Musyawaratutthalibin menyatakan bergabung dan mendukung program-program yang ingin dicapai oleh MIAI. Keadaan ini ditambah lagi seiring masuknya penjajahan Jepang tahun 1942. Ada banyak organiasi Islam yang dibekukan, sehingga anggotanya terpaksa melebur dalam Masyumi (Majelis Syura Muslimin) bentukan Jepang. Sebab itulah Musyawaratutthalibin seolah hilang tanpa jejak (islamsantun.org)

 

Sumber:

A Muthalib, Tuan Guru Sapat: Kiprah dan Perannya dalam Pendidikan Islam di Indragiri Hilir Riau pada Abad XX, (Yogyakarta: Eja Publishing, 2009).

M. Nur Maksum, Musyawaratutthalibin: Organisasi Islam Lokal Terbesar di Kalimantan Selatan, Jurnal Al-Banjari, Vol. 9, No. 2, 2010.

Mujiburrahman, Musyawaratutthalibin: Dinamika Islam, Etnisitas/ Lokalitas dan Kolonialisme di Indonesia, www.islamkepulauan.id, 14 Juni 2020, diakses 25 Februari 2021.

Politiek Verslag van Geweest Riouw en Onderhoorigheden, Tweede Half Jaar 1937.

Tim Penulis, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, (Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983).

Komentar