Muhammad Alfatih Suryadilaga*
Kritik hadis merupakan salah satu upaya ulama dalam menjaga otentisitas Hadis. Hal ini dilakukan ulama sejak terjadinya fitnah besar di kalangan ummat Islam. Peristiwa ini kemudian menjadikan hadis sebagai ajaran agama disalahgunakan dalam membingkai kebenaran atas beragam pendapat yang mengitarinya. Dengan demikian, kelahiran ilmu hadis yang kemudian dikenal dengan ilmu dirayah ini mulai dijadikan sebagai standar kualitas hadis.
Semakin keras penilaian ulama atas periwayat semakin berkualitas suatu hadis. Hal ini setidaknya dapat ditemukan melalui persyaratan ulama kritikis hadis dalam menilai seorang periwayat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Ibn Tahir al-Maqdisi (w. 507 H.) yang meletakkan Imam Bukhari (w. 256 H.) sebagai periwayat yang sangat keras dalam menilai periwayat hadis. Sehingga hadis yang diriwayatkan oleh seorang imam yang dikenal dengan amir al-mukminin fi al-hadis sebagai peringkat tertinggi di antara kitab hadis lainnya. Dengan demikian, dengan selektifnya menilai periwayat hadis menjadikan Imam Bukhari sebagai sosok penilai yang sangat ketat dan bagus.
Kriteria yang digunakan Imam Bukhari adalah kriteria unggul. Hal ini yang membedakan dengan syarat dari ulama lainnya termasuk Imam Muslim. Kedua kriteria itu adalah periwayat satu dengan yang lainnya harus semasa dan pernah bertemu satu dengan lainnya. Dengan demikian, Ima Bukhari memiliki kriteria lebih baik dalam menilai periwayat hadis.
Dalam menilai periwayat hadis, semua ulama sunni sepakat akan adanya kritik baik positif maupun negatif kecuali atas periwayat di kalangan sahabat. Atas hal ini dikenal dengan jargon al-sahabat kulluhum ‘udul yaitu seluruh sahabat yang terlibat dalam periwayatan hadis dinilai sebagai periwayat yang adil baik. Dengan demikian, periwayat di tingkat sahabat adalah periwayat yang disepati tanpa kritik.
Selain periwayat pertama, seluruh pihak yang terlibat dalam penerimaan dan penyampaian hadis terkena kritik. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Ibn Sirrin (w 110 H.) yang senantiasa melihat sosok pribadi masing-masing periwayat. Kemudian, tradisi ini menghasilkan beragam karya dan ragam kritik atas periwayat hadis. Dengan demikian, kegiatan ini menjadi sebuah kebiasaan dan terbukukan sehingga sampai sekarang dengan mudah melacak para periwayat yang ada berikut rekam jejaknya baik yang baik atau ta’dil maupun yang negatif atau jarh.
Atas itulah, maka kebiasaan ulama hadis adalah mengkritik orang. Hal inilah yang menjadikan
Imam Bukhari sebelum wafatnya mengharapkan:
أرجو أن ألقي الله ولا يحاسبني أني اغتبت أحدا.
“Aku ingin bertemu Allah tanpa pertanggung jawaban bahwa aku pernah membicarakan kejelekan orang lain.”
Ungkapan di atas terdapat dalam karya Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi dalam kitabnya Siyar al-A’lam wa al-Mubala’. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan Bakar ibn Usman. Dengan demikian, sekeras apapun kritik ulama hadis maka merupakan bagian dari penjagaan agama.
Keilmuan yang berkembang sebagaimana di atas adalah dalam konteks kehati-hatian dalam menjaga peninggalan Rasulullah saw. Namun, secara kemanusiaan pun di kalangan ulama hadis juga terdapat kegalauan sebagaimana yang dialami oleh Imam Bukhari di atas yang ingin tidak diperhitungkan sebagai amal yang jelek ketika dalam mengkritik periwayat hadis.
Fenomena di atas mengingatkan akan banyaknya orang yang mencaci orang lain dengan harapan kepentingan dunia dan sesaat. Sebagaimana lazimnya, kebiasaan yang akhir-akhir ini terjadi di kalangan para pendukung capres maupun anggota dewan yang akan dipilih.
Marilah kita bermuhasabah agar kebaikan selalu menyertai bangsa Indonesia yang sedang melaksanakan hajat pemilu lima tahunan. Dengan demikian, melalui muhasabah ini menjadikan kegiatan selama proses pelaksanaan pemilu dapat saling memaafkan satu dengan yang lainya menuju Indonesia yang maju. (MAS)
*Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga dan Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA)