Sebelas tahun silam, di penghujung tahun 2009, bulan Desember. Kesehatan Gus Dur menurun drastis. Kerapkali ia keluar masuk rumah sakit. Namun, bukan Gus Dur namanya kalau tidak berperilaku ghoiru addah atau nyeleneh. Alih-alih istirahat di rumah saja agar kesehatannya lekas membaik. Ia malah meminta Sulaiman, asisten pribadinya, untuk mengantarnya ke Leteh, Rembang, berkunjung di kediaman sahabatnya, Kiai Mustofa Bisri. Selepas itu, ia tak langsung pulang ke Ciganjur, malah meminta Sulaiman menuju Jombang, kota kelahirannya.

Di Jombang, ia tidak langsung bertolak ke Tebuireng, melainkan ziarah ke Tambakberas terlebih dahulu. Sesampainya di Tambakberas, kesehatan Gus Dur kembali drop, ia dibawa ke rumah sakit Jombang, dirawat di sana untuk beberapa hari. Pada saat itu, para dokter menyarankan agar Gus Dur sebaiknya dirawat di rumah sakit di Surabaya.

Ketika hendak berangkat ke Surabaya, Gus Dur didatangi saudaranya, Gus Hakam, putra KH. Abdul Kholiq Hasyim, pengasuh ke empat Pesantren Tebuireng. Tanpa disangka-sangka, kepada Gus Hakam ia berpesan agar besok Kamis, 31 Desember 2009, bersedia memimpin doa di Tebuireng. Katanya, ia akan datang.

Tentu saja tak seorangpun yang mengerti maksud Gus Dur. Melihat gelagatnya yang penuh tanda tanya, Gus Hakam dan orang-orang yang berada di sekelilingnya hanya mengangguk, mengiyakan. Tidak lama kemudian, Sulaiman memacu mobilnya menuju Surabaya. Anehnya, di tengah perjalanan, tiba-tiba Gus Dur meminta untuk putar balik menuju Tebuireng. Menurut dia, mbahnya, K.H. Hasyim Asy’ari sedang memanggilnya. Sesampainya di Tebuireng, Gus Dur lantas ziarah di makam simbah dan ayahnya dengan ditemani istri tercintanya, Bu Sinta Nuriyah.

Setalah ziarah rampung, Gus Dur tidak langsung beranjak ke Surabaya, ia malah mengajak Sulaiman dan rombongan mampir di sebuah kedai soto Madura. Lantas, Gus Dur beserta rombongon menikmati kelezatan soto Madura. Selepas itu, lagi-lagi Gus Dur kembali bermanuver, ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke Surabaya. Malah meminta bermalam di sebuah hotel. Tentu tidak ada yang berani menolak permintaannya. Barulah keesokan harinya, Gus Dur kembali ke Jakarta, dan siangnya ia kembali dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Di rumah sakit itu lah, Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya, tepat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB. Tak membutuhkan waktu lama, kabar duka tersebut tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Lantunan doa, takbir, dan tahlil, pada saat itu, menggema riuh di RSCM. Semua orang jiwanya bergetar. Suara tangisan pun berderai, pecah, menegangkan suasana.

Sementara itu, jutaan warga NU yang tersebar dibelahan bumi Nusantara menggelar salat ghaib, dan tahlil bersama di langgar maupun di masjid masing-masing. Tahun baru 2010 yang bakal tiba dalam hitungan jari tak lagi disambut dengan suka cita seperti biasanya, melainkan dengan suasana duka. Bangsa Indonesia, baik ia Muslim, Kristen, Konghucu, Jawa, Papua, Madura pada saat itu berkabung.

Cerita demikian dikisahakan oleh Damien Dematra dalam novelnya yang berjudul Sejuta Hati Untuk Gus Dur (2010). Novel ini sengaja ditulis Damien untuk mengenang Gus Dur yang notabene idola sekaligus sahabat dekatnya. Tak hanya itu, Sejuta Hati Untuk Gus Dur ini juga menjadi sebuah gerakan pernyataan cinta pada Gus Dur yang ditargetkan mencapai satu juta hati pada bulan Agustus 2010 silam, bertepatan dengan ulang tahun Gus Dur sekaligus peluncuran film Gus Dur: The Movie. Menariknya, novel yang mengangkat kisah nyata dengan tebal 426 halaman ini ia selesaikan hanya dalam waktu 3 hari.

Gus Dur oleh banyak orang dijuluki dengan sebutan yang beragam. Dari guru bangsa, bapak pluralisme, hingga bapak demokrasi, dan masih banyak yang lain. Namun, menurut K.H. Husein Muhammad, Gus Dur bukanlah guru bangsa, bukan bapak pluralisme, bukan ulama besar, bukan seorang humanis, bukan negarawan, bukan waliyullah, dan bukan lain-lain, namun Gus Dur adalah semuanya.

Sepeninggalan Gus Dur tampaknya kita belum menemukan sosok penggantinya. Kalaupun dirasa sulit menemukan sosok yang persis seperti dia, agaknya kita juga kesulitan menemukan sosok yang kualitasnya mendekati Gus Dur. Baik dalam keberaniannya membela kaum minoritas, memperjuangkan hak kaum tertindas, menegakkan hukum, dan mencintai umat manusia tanpa tebang pilih.

Bagi saya, Gus Dur, bukanlah panutan bagi umat Islam atau kalangan Nahdlatul Ulama (NU) saja, melainkan panutan seluruh manusia Indonesia. Oleh sebab itu, tak heran ia dibanjiri asmo laqob atau julukan yang beragam dari umat lintas iman. Umat Islam sebut ia Kiai, umat Nasrani sapa ia Berkah, umat Konghucu sebut ia Bapak, umat Hindu dan Budha panggil ia Pelindung. Tentu saja itu merupakan kehormatan yang tak dapat disandang oleh sembarang orang.

Hari ini, 30 Desember 2020, terhitung 11 tahun lamanya Gus Dur meninggalkan kita. Meski begitu, percayalah Gus Dur tak pernah tiada, ia tetap saja hidup dan membantu manusia Indonesia. Sebagai buktinya adalah makam Gus Dur di Tebuireng yang tak pernah sepi dari peziarah. Ini artinya, ia menghidupkan roda ekonomi masyarakat setempat dengan berjualan aneka makanan, dan oleh-oleh buat pengunjung. Konon, kotak amal yang terpajang di sana pun bahkan tembus hingga 300 juta perbulannya, untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Gus Dur memang sudah meninggal tetapi ia tetap hidup (di hati para muhibbinnya) dan menghidupi banyak orang di dunia. Alfatihah.

Komentar