Megenal Mbah Aqib Suminto (1)

Mbah Aqib Suminto adalah sebuah panggilan untuk beliau. Penulis masih memiliki hubungan kekerabatan dengan beliau yakni sesama keturunan K.H. Abdul Djabbar (1241 H.-1325 H.) Maskumambang. K.H. Atqon (w. 1351 H.) adalah anak kelima dari KH. Abdul Djabbar,  seorang kiyai yang hafal al-Qur’an dan disegani di daerah Maskumambang Gresik. Perkawinan KH Atqon dengan Sri Banun mendapatkan tiga orang anak, yakni yaitu Abdul Mughni dan Ghonimah dan Aqib Suminto. Beliau juga memilki saudara lain ibu, yakni  Jamilah, Abdul Ghoni dan Karsono Subroto.  Kyai Atqon meninggal dunia ketika Aqib Suminto masih berusia tiga tahun dan setahun kemudian ibunya juga meninggal dunia. Akhirnya, Aqib Suminto kecil hidup dalam keadaan yatim piatu, diasuh oleh Mbah Ghonimah sudara kandungnya.

Rekam jejak akademik Aqib Suminto mencapai derajat puncak yaitu Professor atau guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun jabatan tersebut dimulainya dari bawah bukan dari PT. Kariernya dimulai dari tahun 1957 sebagai guru agama di SLTP Pamekasan, dan  1959 M. sebagai guru PGA Pamekasan. Kemudian beliau melanjutkan studi  di Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA Jakarta 1960 M. Setelah selesai melanjutkan studinya, beliau memulai mengajar di PT, yakni 1967 M. sebagai asisten dosen dan kemudian diangkat menjadi staf pengajar yang memiliki jabatan asisten ahli tahun 1970 di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan strukturalnya adalah Dekan Fak. Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1973-1977 dan menjabat sebagai dekan pertama Fak. Dakwah IAIN Syarif Hidaytullah Jakarta 1990-1994.

Selain cemerlang dalam bidang akademik, Aqib juga seorang yang organisatoris. Sejumlah organisasi diikutinya dengan baik. Sejak tahun 1953-1957, ia ikut dalam Pelajar Islam Indonesia (PII)., 1960-1964 menjadi Senat Mahasiswa, 1965-1967 Ketua Dewan Mahsiswa, 1965-1968 HMI, 1972-1973 Sekretaris II pada Pusat Dakwah Islam,   1975-1979 anggota MUI, 1977-1979 LPTQ dan sekaligus menjadi hakim MTQ dari tahun 1983-1990. Dengan demikian, selama hidupnya beliau berjuang untuk kehidupan ummat secara umum melalui beragam organisasi.

Pesantren sebagai lingkungan hidup yang memberikan warna khusus. Hal tersebut terutama atas kelahiran Khusnul Aqib Suminto adalah 16 Agustus 1934 M. di lingkungan pesantren ternanama pada masa tersebut. Sejak remaja beliau kemudian memutuskan untuk sekolah umum. Hal tersebut tercermin dalam perjalanan sekolah setelah SD. Beliau lebih banyak belajar di SD Islam Waliman Lamongan pada tahun 1949, Sekolah Menengah Islam (SMI) Jurusan Budaya di Tuban pada tahun 1953, Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA).  Beliau mendapatkan pelajaran bahasa Inggris, Perancis, Aljabar Ilmu Ukur dan lain sebagainya. Dengan demikian, keilmuan yang dicari dalam kehidupannya adalah keilmuan umum yang berbeda dengan lingkungan dan keluarganya yang kebanyakan berpendidikan agama di pesantren.

Kenyataan di atas, menjadikan Aqib Suminto belajar Islam secara autodidak. Hal tersebut melihat banyaknya keluarganya yang menjadi kiyai. Namun demikian, sosok Aqib ini senang berdakwah dengan cara ceramah dan tulisan dalam media harian dan majalah. Sejak muda yakni tahun 1957 beliau sudah menjadi khatib padahal beliau mengajar sastra budaya di sekolah umum bukan sekolah keagamaan. Hal inilah menuntut Aqib untuk belajar sungguh-sungguh. Kemudian beliau belajar di tahun 1964 PAI Fakultas Tarbiyah di IAN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus sarjana muda di tahun 1964. Sedangkan sarjana lengkapnya diselesaikan di Jurusan Dakwah Fak. Ushuluddin  IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1968. Dengan demikian, perjalanan akademik keilmuannya dilengkapi dengan kajian keislaman di PT yang merupakan bagian dari kelanjutan pendidikan di pesantren.

Kehidupan keseharian Prof. Aqib dilalui dengan sangat sederhana. Dalam kesehariannya, iamenulis di sejumlah media dan menjadi pengedar majalah Gema Islam di seputar Kampus Ciputat. Selain itu, beliau aktif dalam berdakwah. Sehingga beliau lama dalam menyelesaikan tugas akhirnya dan oleh karenanya sempat  ditegur oleh pembimbingnya yatu Prof. Osman Raliby. Dengan perjuangan yang luar biasa, akhirnya dapat terselaseaikan pada tahun 1968.

Berbagai pengalaman di atas menjadikan kapasitas akademik beliau terasah dengan menulis dengan beragam media dan buku yang monumental. Ragam tulisan beliau dalam media antara lain adalah Dakwah untuk Masyarakat dalam Mimbar Ulama, 1977., Hidup adalah Ujian dalam Panji Masyrakat 1981, Dialog antar Agama di Negeri Belanda, 1977, Perlu Wawasan untuk Jawab Problem Ketidakadilan, Harian Terbit 9 April 1991, Ulama kurang menyiapkan Kader meneruskan Misi Pewaris Nabi saw., Harian Terbit 9 Juni 1991 dan Dari Segi Dakwah, MTQ dan Perannya, Pelita 1 Februari 1991. Selain itu, juga terdapat tiga buah buku antara lain dengan judul Taubat pada tahun 1970 diterbitkan oleh Tintamas.  Buku tersebut merupakan terjemah dari Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali. Pada tahun 1973 lahirlah buku Problematika Dakwah. Buku tersebut merupakan antologi tulisan beliau yang tersebar dalam beragam media. Buku ketiga adalah disertasinya yaitu Politik Hindia Belanda yang diterbitkan oleh LP3S Jakarta tahun 1985.

Aqib muda menikah dengan Siti Khafsah pada 26 Agustus 1961 saat ia berumur 28 tahun sedangkan isterinya berumur 15 tahun. Dua tahun kemudian, yakni 30 September 1963 beliau dikarunia anak pertama yaitu Arif A. Gafar. Sedangkan anak keduanya lahir pada 14 Juni 1965 yaitu  Nurul Inayati (Ruly), 28 Juni 1967 mendapatkan anak perempuan yang kedua yaitu  Nurul Faizah (Ulfah), lahir tanggall 22 Maret 1969 Nurul Hidayati (Ida), 22 Oktober 1970 lahir anak laki-laki yang diberi nama Irfan Irawan (Ipang), dan anak terakhir lahir pada 17 Agustus 1973 dengan  Agus Aridianto (Ari). Adik Kiyai Atqon inilah yaitu Nyai Hj. Muhsinah yang kemudian memiliki keturunan kepada penulis artikel ini.  Prof Aqib wafat di usia yang ke 60 tahun pada 1994 di RS Cipto Mangoenkusumo (RSCM) Jakarta. (MAS)

Komentar