Semester ini, selain mengajar seputar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, saya diamanahi untuk mengajar mata kuliah “Studi Islam Borneo” di Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, UIN Sultan Adji Muhammad Idris Samarinda. Jujur saya, mata kuliah ini baru bagi saya karena dua alasan. Pertama, kajian ini lebih banyak menyasar pada analisis etnografi dan studi kawasan. Kedua, Islam yang disorot adalah di Pulau Kalimantan.

Memang, saya adalah putra banua, lahir dan bertumbuh di sini. Tetapi, separuh kehidupan saya justru dilalui di Yogyakarta. Saya jauh lebih bisa berbicara Islam di Jawa dibanding Islam di Kalimantan. Namun, dari sinilah perjalanan refleksi ini dimulai. Pembelajaran ini bisa menjadi awal pertobatan lokalitas yang selama ini jarang disorot. Saya lebih banyak berbicara Islam dalam kacamata global-universal. Padahal ada banyak ragam ekspresi keislaman yang penting untuk dihayati.

Selama ini, ketika berbicara Islam dan kebudayaan, riset tertuju pada pulau Jawa. Di antara yang paling awal dan populer adalah penelitian Clifford Geertz tentang pola kultur keberislaman masyarakat Jawa yang berpola abangan, santri, dan priyai, sebagaimana dalam karyanya berjudul The Religion of Jawa. Ada pula Indonesianis, Mark R. Woodward yang meneliti pergumulan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kebatinan budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Muslim Jawa sebagaimana dalam karyanya berjudul Islam in Java: Normative Piety and Misticism.

Apa yang mereka lakukan adalah sebuah upaya monumental. Tetapi tidak boleh berakhir pada glorifikasi berlebihan. Terlebih kajian tersebut juga sudah banyak dikritisi oleh peneliti selanjutnya. Satu kritik utama dari karya serupa tentang itu adalah terlalu berpusat di Jawa. Bukan berarti tidak penting, tetapi akhirnya mengaburkan aneka ekspresi keislaman dari wilayah lain. Karenanya, penelitian semacam itu justru perlu dilanjutkan dengan mengkaji Islam di dataran kebudayaan Nusantara. Atau dengan istilah lain, membaca lokalitas Islam sama pentingnya dengan menggagas universalitas Islam.

Bahkan sebenarnya kita tidak dapat melihat universalitas secara utuh tanpa menyoroti lokalitas. Sebab yang lokal dan global saling terhubung, apalagi di era digital. Soal konektivitas ini, ada kisah menarik. Awal abad 20, seorang ulama dari Libanon menulis kitab berjudul, “Limadza Ta-akhkharal Muslimuna, wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?”, Mengapa Umat Islam Mundur dan yang lain Maju? Pertanyaan itu saja sudah menggambarkan satu kemajuan zaman ketika umat Islam sering digambarkan tertindas dan terjajah. Ada upaya kritik internal ke dalam untuk melihat apa yang salah dari umat Islam. Ini adalah semangat pembaharuan, yang idealnya disampaikan oleh tokoh dari Mesir.

Nyatanya, pertanyaan itu pertama kali justru disampaikan oleh seorang ulama dari Sambas, Kalimantan Barat, bernama Syaikh Muhammad Basyuni Imran. Kala itu, ia menyampaikan kegelisahannya dengan menyurati pemimpin majalah Al-Manar, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Dari beliau, pertanyaan itu kemudian disampaikan kepada Syakib Arslan yang melahirkan karya monumental tersebut. Fenomena tersebut dapat menjadi pelajaran bahwa gelora pembaruan di dunia Islam juga dipengaruhi oleh ulama lokal di Kalimantan.

Belajar dari kisah tersebut, ada tiga alasan mengapa lokalitas Islam perlu disuarakan. Pertama, membangun kesadaran pluralitas. Islam memang tunggal, tetapi kebudayaan Islam itu sangat plural. Dan Islam yang tunggal itu pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang beragam. Islam tidak bisa dipraktikkan dalam ruang hampa budaya. Tradisi keislaman masyarakat Banjar akan berbeda dengan masyarakat Sambas, meski sama-sama berada di Kalimantan.

Kedua, membangun kesadaran etnografis. Islam tidak hanya di Timur Tengah tetapi berkembang ke berbagai wilayah. Teori antara pusat dan pinggiran yang mengatakan bahwa pusat Islam adalah di Timur Tengah, perlu dipertanyakan kembali. Saat ini, Islam berkembang pesat dan melahirkan pusat-pusat ‘kecil’ di berbagai wilayah. Kesadaran kawasan ini juga berkorelasi dengan kelenturan ajaran Islam (luyunah). Bagi daerah yang kekurangan air, praktik wudhu dapat diganti dengan tayammum. Bagi daerah minoritas Islam, akan mempunyai ekspresi keagamaan yang berbeda, seperti arsitektur masjid atau suara azan yang dikumandangkan.

Ketiga, membangun kesadaran historis. Dengan belajar Islam di satu daerah, kita pun akan menapak tilas sejarah Islam. Kesadaran historis ini berpangkal pada tiga poin: figur, teks dan institusi. Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam, bagaimana metode dakwahnya, apa peninggalannya, dan sebagainya. Dimulai dari figur yang berperan penting di daerah. Figur ini adalah tokoh lokal seperti kiai, guru, tuan guru, anre’ gurutta, dan sebutan lainnya.

Dari figur akan melahirkan teks. Bisa teks yang tertulis berupa manuskrip kitab tentang ajaran Islam. Dapat pula teks yang hidup di masyarakat yaitu budaya yang berakulturasi dengan spirit agama. Figur dan teks ini pada akhirnya akan membentuk satu institusi: pesantren, pengakuan sosial, atau struktural di kerajaan. Korelasi ketiga poin ini akan menciptakan otoritas keagamaan. Dengan otoritas ini, Islam tersebar dan diwariskan dari masa ke masa.

Inilah potret studi Islam kawasan. Lokalitas tidak boleh lagi dilihat terpisah atau bahkan bertentangan dengan global. Sebaliknya, kehadiran Islam di daerah justru dapat memperkaya potret Islam universal, yaitu bahwa Islam dapat menempatkan ajarannya selaras dengan ruang dan waktu yang berjalan.

Komentar