Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara (PKPPN) IAIN Surakarta bekerjasama dengan Bentang Pustaka kembali merayakan buku. Kali ini buku yang dibedah berjudul Saring Sebelum Sharing yang ditulis oleh Prof. Nadirsyah Hosen, Guru Besar Hukum di Monash University Australia.

Prof. Nadirsyah adalah seorang akademisi muda dari Indonesia yang kemudian mengembangkan karir ilmiahnya di Australia. Secara akademik, beliau menyelesaikan S1, S2, dan S3-nya masing-masing di dua Universitas berbeda. Konon kabarnya beliau adalah salah satu guru besar yang diperebutkan di sana. Inilah salah satu alasan mengapa buku ini penting untuk dirayakan, sebab buku berkualitas dari seseorang yang secara keilmuan berkualitas pula.

Selain Prof. Nadirsyah, acara ini juga diramaikan oleh Dr. Islah Gusmian, dosen IAIN Surakarta, yang juga mempunyai banyak karya di bidang tafsir Nusantara dan tulisan-tulisan lainnya tentang manuskrip kuno. Dengan karya-karyanya itu, beliau disebut-sebut sebagai salah satu pakar tafsir Nusantara sekaligus seorang Filolog.

Berbeda dengan biasanya, perayaan buku kali ini dilaksanakan dengan model talkshow atau semacam diskusi mengalir yang dipandu oleh moderator kocak oleh M. Endy Saputo. Seorang dosen IAIN Surakarta alumni CRCS, yang juga merupakan salah satu tim PKPPN dengan segenap pengalaman dan prestasinya di bidang akademik. Sehingga gayeng lah, acara ini.

Sebagaimana talkshow pada umumnya, moderator tidak hanya memandu acara seperti seminar-seminar lokal pada umumnya. Namun acara ini dimulai dari pertanyaan moderator (pemandu acara), featback, pertanyaan lagi, bahkan mengundang audience naik ke panggung serta dihujani pertanyaan oleh moderator, dan menceritakan kesan-kesan mereka dalam mengikuti materi serta diajak untuk mengkampanyekan anti hoax.

Mengawali ceramahnya, Prof. Nadisyah atau yang akrab disapa Gus Nadir mengatakan bahwa buku ini ditulis karena beberapa alasan, di antaranya; pertama, banyaknya pertanyaan dari netizen tentang hadis-hadis yang mereka temukan di media sosial yang digunakan untuk menghakimi orang lain. Bentuknya berupa hadis-hadis terjemahan yang kemudian dijadikan meme dan diviralkan.

Hadis-hadis tersebut disebarkan tanpa pejelasan yang komplit, baik secara kualitas sanad (transmisi periwayatan) maupun penjelasan matan (substansi). Padahal, membaca hadis itu tidak cukup membaca terjemahannya saja. Kita juga harus pastikan juga keabsahan teks (matan) hadis dengan melihat periwayatnya. Tak cukup di situ saja, namun juga melihat konteks hadis itu dilafalkan, dengan melihat asbab al-wurud dan juga riwayat dari sahabat lainnya.

Alasan kedua, buku ini berupaya mengungkap keteladanan dan meneladani Nabi. Meneladani Nabi sebagai suri tauladan dalam berbagai aspek kehidupan. Nabi sebagai pemimpin spiritual, kepala negara, kepala rumah tangga, dan sebagainya.

Salah satu contoh yang diutarakan oleh Gus Nadir adalah hadis shahih tentang berwudhu setelah memakan daging onta. Dalam hal ini, Gus Nadir menjelaskan sebagaimana kriteria di dalam mustholah al-hadits, melihat kaidah fiqh, dan juga perkataan sahabat. Nampaknya, hadis ini merupakan sesuatu yang kontradiktif (terjadi perbedaan). Maka harus dibandingkan, mana yang paling kuat. Dalam aspek fiqh, mazhab yang mewajibkan wudhu setalah memakan daging onta hanya mazhab Hanbali. Mereka mengatakan bahwa salah satu yang membatalkan wudhu’ adalah makan daging onta. Hadis inilah yang kemudian menjadikan perbedaan pendapat di kalangan ulama’.

Dalam terminologi ulum al-hadis, penting melihat teks dan konteks hadis (asbab al-wurud). Konteks hadis ini adalah pada waktu itu, Nabi dan para sahabat hendak melaksanakan sholat berjamaah. Menjelang dimulai sholat, Nabi mencium bau kentut. Maka untuk menghindari judgment terhadap seseorang, dan membuat malu karena ditanya siapa yang kentut, maka Nabi bertanya, “Siapa yang habis makan daging onta?”, tentunya banyak dari para sahabat yang mengiyakan hal itu. Lalu, Nabi kemudian mengajak para sahabat untuk berwudhu kembali setelah sholat.

Nah, di sinilah kemudian dapat ditarik pelajaran tentang akhlak Rasulullah yang sangat lembut dan bijak. Sehingga dari mempelajari hadis itu, banyak hal yang didapatkan. Baik terkait hukum, akhlaq, petunjuk hidup, dan lain motivasi-motivasi hidup lainnya.

Ketiga, buku ini juga diharapkan bisa menangkal hoax (berita bohong) yang akhir-akhir ini marak, khususnya di media sosial.

Dr. Islah Gusmian mengatakan bahwa buku ini adalah buku yang berbobot yang disajikan dengan renyah dan ringan. Bukan sebaliknya. Dr. Islah juga menegaskan bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, telah dikenal sanad keilmuan, sebagaimana terdapat dalam pembelajaran pesantren dan telah banyak ditulis di dalam naskah-naskah pesantren.

Namun sayangnya, generasi milenial (gen-z) yang merupakan anak kandung teknologi, seringkali telah di-ninabobo-kan dengan sesuatu yang serba cepat dan instan. Padahal mencari ilmu tidak bisa instan dan secepat kilat. Oleh karena itu, sangat tepat jika tema Saring sebelum Sharing dalam menyebarkan berita dan informasi menjadi penting.

Di akhir sesi, Gus Nadir berpesan “Saat ini, zaman sudah berubah. Belajar tidak hanya dari kertas, tapi juga dengan media digital. Namun perlu diingat bahwa kita harus pegang kaidah-kaidah klasik yang ada di dalam khasanah keilmuan pesantren dan ulama’, namun jangan sampai tidak mengikuti perkembangan zaman. Maka tetaplah tradisional ilmunya, namun cara penyampaiannya sesuai perkembangan zaman. Dr. Islah juga mengatakan pola dan cara berfikir kita harus ada proses humanisasi. Sehingga beragama tidak instan dan bukan hanya mementingkan formalitas, dan kehilangan substansi.
Semoga Bermanfaat. (Nur Rohman).

Komentar