Nur Rohmam*

Suatu hari saya berjalan-jalan ke ruangan seorang dosen muda yang secara usia dan keilmuan lebih senior dari saya. Beliau adalah dosen di kampus yang sama di mana saya mengabdi. Selain energik, sosoknya banyak menginspirasi saya dan beberapa teman sebagai juniornya.

Ruangan itu memang tak terlalu lebar secara dhahir. Namun di dalamnya saya temukan keluasan ilmu dan hati penghuninya. Sebab, di ruangan itu terjejer puluhan bahkan ratusan buku yang disusun rapi di sebuah rak.

Keramahan dan keluasan ide yang sering kali dituturkan para penghuni ruangan itu, menambah simpati saya. Sehingga bagi saya tak ada ruangan yang begitu mengagumkan untuk dikunjungi selain ruangan itu.

Yang tak kalah penting, bagitu kita mengucapkan salam dan masuk ke ruangan tersebut, kita langsung dihadapkan pada kata-kata penting yang pernah diajarkan oleh ulama’ besar yang hidup sekitar 11 Abad yang lalu. Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, atau yang terkenal dengan panggilan Imam As-Syafi’i (w. 204 H/819 M).

Kata-kata yang dipasang pada dinding ruangan itu dituliskan pada kanvas yang telah dibingkai indah, berbunyi:

من لم يذق مر التعلم ساعة, تجرع ذل الجهل طول حياته

“Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan”.

Kalimat itu mungkin singkat, namun memiliki pesan yang sangat dalam bagi para penuntut ilmu kapan pun dan di mana pun. Itulah sebabnya kalimat tersebut tidak hanya ditempel pada dinding ruangan senior saya itu, namun juga ia tempel pada laptop yang sering ia gunakan. Meskipun akhir-akhir ini saya tak lagi melihatnya menggunakan laptop itu lagi, namun sepertinya kata-kata itu yang memotivasinya untuk terus belajar. Semangat belajarnya itulah yang kemudian mengantarkannya diganjar dengan banyak prestasi dan kini ia akan melanjutkan studinya ke Australia.

Pernah suatu ketika senior saya ini, saya minta untuk masuk ke kelas saya. Pada kesempatan itu, ia juga menyampaikan kalimat ini kepada para mahasiswa. Bahwa proses belajar memang tidak mudah dan sangat melelahkan bahkan membosankan. Namun ketahuilah bahwa berapa banyak orang di negeri ini yang hidup di bawah garis kelayakan sebab ia tak mau dan tak mampu menahan pedihnya belajar.

Selain kalimat di atas, Imam Syafi’i juga pernah berpesan pada kita bahwa seorang yang menuntut ilmu bagaikan orang yang sedang berburu. Maka agar buruan itu tidak lepas, maka ikatlah dengan ikatan yang kuat, yakni tulisan. Sebab, bagi seorang yang belajar namun tak menuliskannya, maka ibarat ia menangkap hewan buruan, kemudian meninggalkannya tanpa ikatan, maka lepaslah sudah. Maka antara membaca, mendengarkan, meresapi dan menulis merupakan satu kesatuan dalam menuntutu ilmu.

Dalam bahasa Arab, pesan Imam Syafi’i tersebut berbunyi demikian:

العلم صيد و الكتابة قيده , قيّد صيو دك با لحبال الواثقة # فمن الحماقة أن تصيد غزالة , وتتركها بين الخلائق طالقة

Jika pesan Imam Syafi’i di atas merupakan kalimat penyemangat dan anjuran teknis, ada hal penting lainnya yang dipesankan beliau kepada kita. Bahwa suatu ketika Imam Syafi’i datang kepada gurunya untuk curhat. Ia mengadu kepada gurunya perihal sulitnya menghafal. Kemudian gurunya mengatakan untuk meninggalkan ma’siat. Kemudian gurunya juga menasehatinya bahwa ilmu itu cahaya yang datangnya dari Allah. Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada pelaku ma’siat.

Dari pesan Imam Syafi’i di atas, saya kemudian teringat pada Profesor Habib Quraish Shihab yang pada sebuah seminar juga pernah mengingatkan, bahwa hakikatnya, ilmu itu bukan yang dipelajari. Namun sejatinya ilmu adalah sesuatu yang ditancapkan pada sanubari seseorang bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Waallahu a’lam.

Komentar