Buku krarya Hanī Nasīrah, Matāhat al-Ḥākimiyyah: Akhṭā’ al-Jihādiyyīn fī Fahm Ibn Taimiyyah (Labirin Ḥākimiyyah: Kesalahan-Kesalahan Kaum Jihadis dalam Memahami Ibn Taimiyyah), memposisikan dirinya sebagai sebuah referensi intelektual kunci dalam studi kritis terhadap wacana ekstremisme kontemporer. Buku ini, yang pada dasarnya merupakan disertasi doktoral, menyajikan sebuah perjalanan analisis yang mendalam untuk membongkar dan mendekonstruksi pembacaan kelompok-kelompok jihadis terhadap warisan IbnTaimiyyah.
Tesis sentral buku ini adalah bahwa pemahaman jihadis terhadap Ibn Taimiyyah telah menciptakan sebuah “labirin” (mātahat); sebuah konstruksi ideologis yang kompleks, membingungkan, dan pada akhirnya menyesatkan. Ini bukan sekadar kesalahan interpretasi biasa, melainkan sebuah proyeksi anakronistis yang memaksakan konsep modern, terutama Ḥākimiyyah (Kedaulatan Tuhan), ke dalam kerangka pemikiran seorang ulama pra-modern. Proyeksi ini, pada gilirannya, menjebak para pengikutnya dalam sebuah labirin justifikasi kekerasan yang sepenuhnya terlepas dari konteks historis dan sistem pemikiran asli sang ulama. Metafora “labirin” secara efektif menggambarkan jalan buntu intelektual yang dihasilkan dari pembacaan yang terfragmentasi dan bias ini.
Untuk menavigasi labirin ini, Nasīrah menerapkan sebuah metodologi yang ia sebut sebagai pendekatan kategori dan konsep yang mengatur (manhaj al-maqūlāt al-ḥākimah). Pendekatan ini secara cermat berupaya untuk membedakan antara prinsip-prinsip dasar (uṣūl) yang membentuk inti konsisten dari pemikiran Ibn Taimiyyah; seperti penekanannya pada persatuan umat dan pencegahan fitnah, dengan fatwa-fatwa partikular (fatāwā juz’iyyah) yang merupakan respons langsung terhadap kondisi historis yang spesifik dan tidak dapat digeneralisasi.
Tulisan singkat dan sederhana ini akan mengikuti struktur argumen buku Nasīrah secara sistematis. Dimulai dengan rekonstruksi konteks historis yang melahirkan pemikiran Ibn Taimiyyah, kemudian berlanjut pada dekonstruksi atas apropriasi pemikirannya oleh kelompok jihadis, menganalisis fenomena revisi internal (murāja’āt) di dalam gerakan jihād itu sendiri, menyajikan studi kasus mendalam tentang Fatwā Mārdīn yang sering disalahgunakan, dan diakhiri dengan sebuah sintesis atas kesimpulan-kesimpulan utama buku ini.
Dunia Ibn Taimiyyah: Konteks, Biografi, dan Wacana Politik
Konteks Krisis: Membentuk Seorang Mujaddid
Untuk memahami pemikiran Ibn Taimiyyah secara otentik, Bab 1 dari buku Nasīrah secara krusial menempatkan sang Syaikh al-Islam (l. 661 H/1263 M) dalam zamannya: era Kesultanan Mamlūk Baḥrī, sebuah periode yang ditandai oleh gejolak dan krisis multidimensional. Nasīrah mengidentifikasi lima krisis utama yang secara kolektif membentuk wacana dan prioritas intelektual Ibn Taimiyyah:
Invasi Eksternal: Dunia Islam dihadapkan pada ancaman eksistensial ganda: invasi brutal bangsa Mongol (Tatar) dari Timur yang telah menghancurkan Kekhalifahan ‘Abbāsiyyah di Baghdad, dan sisa-sisa agresi Perang Salib dari Barat.
Fitnah Internal: Panggung politik internal dunia Islam diwarnai oleh ketidakstabilan, perebutan kekuasaan, dan persekongkolan di antara para amir dan sultan.
Fanatisme Mazhab: Pintu ijtihād terasa tertutup, digantikan oleh dominasi taqlīd buta dan fanatisme mazhab fiqh yang sering kali memicu konflik intelektual dan sosial yang tajam.
Konflik Sektarian: Terjadi kebangkitan Syī‘ah yang signifikan, terutama dengan adanya aliansi antara beberapa kelompok Syī‘ah dengan Mongol, yang memperdalam ketegangan sektarian dengan mayoritas Sunnī.
Kebangkitan Bāṭiniyyah: Penyebaran aliran tasawuf falsafī dan sinkretisme bāṭiniyyah, seperti ajaran Ibn ‘Arabī, dianggap oleh Ibn Taimiyyah sebagai ancaman serius terhadap kemurnian akidah dan ortodoksi Sunnī.
Dengan menetapkan konteks krisis yang berlapis ini, Nasīrah secara fundamental membingkai ulang proyek intelektual Ibn Taimiyyah. Berbeda dengan pembacaan jihadis yang melukisnya sebagai seorang revolusioner puritan yang menentang penguasa tiran, Nasīrah berargumen bahwa prioritas utama Ibn Taimiyyah adalah preservasi (ḥifẓ).
Tujuannya adalah menjaga keutuhan negara Muslim yang tersisa (Kesultanan Mamluk) sebagai benteng terakhir, mempertahankan ortodoksi Sunnī dari infiltrasi teologis internal, dan menstabilkan masyarakat dari ancaman anarki. Jihādnya, baik dalam bentuk pena maupun pedang, pada dasarnya bersifat defensif dan bertujuan untuk restorasi, bukan subversi.
Kelompok jihadis cenderung mengisolasi perjuangan Ibn Taimiyyah melawan Tatar sebagai model tunggal untuk melawan “penguasa murtad” modern. Namun, Nasīrah menunjukkan bahwa Tatar hanyalah salah satu dari lima ancaman eksistensial yang dihadapinya. Ancaman dari perpecahan internal dan deviasi teologis sama, jika tidak lebih, pentingnya dalam kalkulasi Ibn Taimiyyah.
Oleh karena itu, dukungannya terhadap negara Mamluk, bahkan ketika para sultannya jauh dari ideal, harus dipahami sebagai sebuah pilihan pragmatis untuk mencegah keruntuhan total, sebuah nuansa yang sepenuhnya hilang dalam wacana jihadis kontemporer.
Teori Politik Pragmatis: Antara Realitas dan Ideal
Bab 2 dari buku Nasīrah menguraikan pemikiran politik Ibn Taimiyyah, yang tidak terkodifikasi dalam satu risalah sistematis, melainkan tersebar di berbagai karyanya. Analisis Nasīrah menyoroti beberapa pilar utama dari teori politiknya yang bersifat pragmatis dan realistis.
Pertama, Ibn Taimiyyah lebih menekankan substansi daripada bentuk. Fokusnya adalah pada terwujudnya siyāsah syar‘iyyah (politik yang berlandaskan syariat), yaitu penerapan keadilan dan hukum Islam, ketimbang pada bentuk formal sebuah Khilāfah dengan syarat-syarat idealnya. Bagi Ibn Taimiyyah, tujuan utama dari sebuah pemerintahan adalah untuk menegakkan agama dan mengatur dunia (iqāmat al-dīn wa siyāsat al-dunyā).
Kedua, sebagai konsekuensi dari realisme ini, Ibn Taimiyyah secara pragmatis menerima legitimasi seorang penguasa yang merebut kekuasaan melalui kekuatan (wilāyat al-taghallub). Selama penguasa mutaghallib (perebut kekuasaan) tersebut mampu menjaga ketertiban, membela wilayah Muslim dari musuh eksternal, dan menegakkan syariat, maka ketaatan kepadanya menjadi wajib. Ini adalah posisi yang diambil untuk mencegah kejahatan yang lebih besar, yaitu fitnah (kekacauan dan perang saudara), yang ia anggap lebih merusak daripada tirani seorang penguasa yang tidak ideal.
Kerangka politik Ibn Taimiyyah ini, seperti yang disajikan oleh Nasīrah, merupakan antitesis langsung dari fondasi ideologi Salafī-Jihādī.
Sementara kelompok jihadis modern menuntut puritanisme absolut dalam legitimasi, di mana hanya penguasa yang menerapkan syariat secara “sempurna” yang dianggap sah, dan menjadikan penggulingan penguasa yang “tidak sah” sebagai kewajiban agama tertinggi, Ibn Taimiyyah justru menyediakan kerangka teologis untuk menerima dan bekerja sama dengan penguasa yang tidak sempurna demi kemaslahatan yang lebih besar.
Kelompok jihadis membangun seluruh ideologi mereka di atas premis bahwa penguasa Muslim kontemporer adalah ṭāghūt yang harus digulingkan. Namun, penerimaan Ibn Taimiyyah terhadap wilāyat al-taghallub menunjukkan bahwa dalam situasi serupa, ia akan memprioritaskan stabilitas di bawah Kesultanan Mamlūk (yang juga naik ke tampuk kekuasaan melalui perebutan) daripada menyerukan pemberontakan yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan dan membuka pintu bagi invasi Mongol. Dengan demikian, menggunakan pemikiran Ibn Taimiyyah untuk membenarkan pemberontakan modern adalah sebuah kontradiksi fundamental terhadap logika politiknya sendiri.
Apropriasi Jihadis: Penempaan Sebuah Ideologi dari Fragmen Teks
Bagian ini merupakan inti dari argumen Nasīrah, yang dirinci dalam Bab 3 bukunya. Ia membedah bagaimana kelompok Salafi-Jihadī secara sistematis dan selektif mengonstruksi ideologi mereka dengan mengambil fragmen-fragmen dari warisan Ibn Taimiyyah, lalu menafsirkannya kembali di luar konteks untuk melayani agenda kontemporer mereka.
Penemuan Tauḥīd al-Ḥākimiyyah
Nasīrah berargumen bahwa konsep Ḥakimiyyah (Kedaulatan Tuhan), yang diposisikan oleh kelompok jihadis sebagai pilar sentral tauḥīd, adalah sebuah inovasi konseptual modern. Istilah ini dikembangkan oleh pemikir abad ke-20 seperti Abul A‘lā Maududi dan kemudian dipopulerkan secara radikal oleh Sayyid Qutb.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak pernah menggunakan istilah Ḥākimiyyah atau mengonseptualisasikannya sebagai kategori tauḥīd yang terpisah dan mandiri. Kelompok jihadis mengambil penekanan Ibn Taimiyyah pada Tauḥīd al-Ulūhiyyah (mengesakan Allah dalam ibadah dan ketaatan) dan secara anakronistis menafsirkannya kembali melalui lensa Ḥākimiyyah. Dalam pembacaan mereka, setiap penguasa yang tidak memerintah dengan “apa yang diturunkan Allah” secara total dan eksklusif dianggap telah melakukan syirik besar, menjadikannya seorang ṭāghūt (tiran yang disembah) dan kafir yang halal darahnya.
Radikalisasi Konsep Lainnya
Proses apropriasi ini tidak berhenti pada Ḥākimiyyah. Nasīrah menunjukkan bagaimana konsep-konsep kunci lainnya juga direinterpretasi secara radikal:
Takfīr (Pengkafiran): Nasīrah menekankan betapa Ibn Taimiyyah sangat berhati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir kepada individu tertentu (takfīr al-mu‘ayyan). Ia selalu menekankan pentingnya terpenuhinya syarat-syarat (syurūṭ) seperti sampainya ḥujjah yang jelas, dan hilangnya penghalang-penghalang (mawāni‘) seperti kebodohan (jahl), salah tafsir (ta’wīl), atau paksaan (ikrāh). Sebaliknya, kelompok jihadis menerapkan takfīr secara umum dan massal (takfīr ‘amm) terhadap seluruh pemerintahan, aparat keamanan, dan bahkan masyarakat Muslim yang hidup di bawahnya, dengan mengabaikan sepenuhnya syarat dan penghalang individual.
Dār al-Islām vs. Dār al-Kufr: Kelompok jihadis mengadopsi pandangan dunia yang biner dan kaku, di mana semua negara Muslim modern yang tidak menerapkan syariat secara penuh secara otomatis diklasifikasikan sebagai Dār al-Kufr (Wilayah Kafir). Klasifikasi ini menjadi justifikasi teologis untuk melancarkan perang di dalam wilayah tersebut. Pandangan ini secara langsung bertentangan dengan nuansa pemikiran Ibn Taimiyyah, yang memperkenalkan kategori ketiga, yaitu wilayah “campuran” atau “komposit” (dār murakkabah), sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam analisis Fatwā Mārdīn.
Al-Walā’ wa al-Barā’ (Loyalitas dan Pemutusan Hubungan): Konsep ini, yang dalam pemikiran Ibn Taimiyyah diterapkan utamanya dalam konteks teologis (memisahkan diri dari ahli bid‘ah) dan geopolitik (melawan negara non-Muslim yang agresif), diubah oleh jihadis menjadi sebuah alat untuk melakukan pemisahan diri (‘uzlah) secara sosial dan politik dari masyarakat Muslim yang lebih luas, yang mereka cap sebagai masyarakat jāhiliyyah.
Untuk memperjelas distorsi sistematis ini, tabel berikut menyajikan perbandingan langsung antara pemahaman Ibn Taimiyyah dan interpretasi Salafi-Jihadi, sebagaimana dianalisis oleh Hānī Nasīrah.
Tabel 1: Analisis Perbandingan Konsep-Konsep Kunci (Interpretasi Ibn Taimiyyah vs. Salafi-Jihadi)
Konsep Kunci | Pemahaman Ibn Taimiyyah (menurut Hānī Nasīrah) | Interpretasi salafi-Jihādī (sebagaimana yang didekonstruksi Nasīrah) |
Ḥākimiyyah | Konsep ini tidak ada dalam leksikonnya. Fokusnya adalah pada Tauḥīd al-Ulūhiyyah (ketaatan dalam ‘ibādah), dengan siyasah syar‘iyyah sebagai aplikasi praktisnya. | Ditinggikan menjadi pilar keempat Tauḥīd. Kegagalan menerapkan Syariah secara total dianggap sebagai syirik dan alasan untuk takfīr otomatis terhadap penguasa. |
Takfīr | Sangat dibatasi untuk individu (mu‘ayyan). Memerlukan pemenuhan syarat (pengetahuan) dan hilangnya penghalang (kebodohan, paksaan, salah tafsir). Membedakan antara tindakan kufur dan pelakunya. | Diterapkan secara umum (‘amm) kepada penguasa, aparat negara, dan masyarakat yang mendukung mereka, seringkali tanpa mempertimbangkan penghalang individu. |
Dār al-Islām/Kufr | Mengakui adanya kategori ketiga: wilayah “campuran” (dār murakkabah) di mana penduduknya Muslim tetapi hukumnya tidak sepenuhnya Islam (contoh: Mārdīn). | Pandangan biner yang kaku. Setiap negara yang tidak menerapkan Syariah secara penuh dianggap Dār al-Kufr, yang melegitimasi perang di dalamnya. |
Jihād | Sebuah kewajiban kolektif yang dipimpin oleh otoritas negara (walī al-amr) untuk tujuan defensif atau untuk menghilangkan penghalang dakwah. Pemberontakan internal (khurūj) dilarang keras untuk mencegah fitnah. | Sebuah kewajiban individu (farḍ ‘ain) untuk menggulingkan “penguasa murtad” (musuh dekat) dan melawan kekuatan global (musuh jauh), seringkali tanpa otoritas negara. |
al-Walā’ wa al-Barā’ | Loyalitas kepada komunitas Muslim dan pemutusan hubungan teologis dari bid‘ah serta pemutusan hubungan politik dari negara-negara non-Muslim yang memusuhi Islam. | Pemutusan hubungan sosial dan politik secara total dari masyarakat Muslim yang dianggap “jāhiliyyah” dan semua sistem negara modern. |
Jalan Keluar dari Labirin? Revisi (Murāja’āh) dan Pengakuan
Bab 4 dari buku Nasīrah menyajikan sebuah fenomena yang sangat signifikan: munculnya revisi ideologis (muraja’ah) dari dalam gerakan Salafi-Jihadi itu sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya retakan internal dalam bangunan ideologis yang sebelumnya tampak monolitik dan memberikan validasi kuat terhadap kritik yang diajukan Nasīrah.
Studi Kasus: Dr. Faḍl (Sayyid Imām al-Syarīf)
Tokoh sentral dalam analisis Nasīrah mengenai murāja‘ah adalah Dr. Faḍl (Sayyid Imām al-Syarīf), seorang figur legendaris yang pernah menjabat sebagai amir dan “mufti para mujāhidīn” untuk kelompok Jihad Islam Mesir, serta menjadi mentor ideologis bagi Ayman al-Ẓawāhirī. Tulisan ini merinci analisis Nasīrah terhadap karya revisi Dr. Fạdl yang monumental, Waṡīqat Tarsyīd al-‘Amal al-Jihādī (Dokumen untuk Merasionalisasi Aksi Jihad), yang ia tulis dari dalam penjara di Mesir.
Dalam dokumen ini, Dr. Faḍl secara sistematis membongkar dan menarik kembali banyak posisi ekstrem yang pernah ia anut dan ajarkan. Ia secara eksplisit mengutuk penargetan warga sipil, pembunuhan berdasarkan kebangsaan atau afiliasi mazhab, dan praktik takfir yang tidak terkendali. Ia mengakui bahwa praktik-praktik ini, yang sebelumnya sering dibenarkan dengan kutipan-kutipan yang dipenggal dari Ibn Taimiyyah dan ulama lainnya, merupakan pelanggaran syar‘ī (mukhālafah syar‘iyyah) yang serius dan telah membawa lebih banyak kerusakan (mafsadah) daripada kebaikan (maṣlaḥah) bagi umat Islam.
Murāja‘ah yang dilakukan oleh Dr. Faḍl bukanlah sekadar perubahan taktis atau strategi politik; ini adalah sebuah dekonstruksi ideologis yang datang dari salah satu arsitek utamanya. Ketika seorang pendiri gerakan jihadis secara terbuka mengakui bahwa interpretasi mereka sebelumnya terhadap teks-teks klasik telah salah dan menghasilkan praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat, hal itu secara kuat memvalidasi tesis eksternal Nasīrah bahwa pembacaan jihadis awal memang merupakan sebuah kesalahan (akhṭā’).
Buku Nasīrah adalah sebuah kritik akademis dari luar, sementara murāja’ah Dr. Faḍl adalah sebuah pengakuan dari seorang praktisi dari dalam. Fakta bahwa keduanya, melalui jalur yang berbeda, sampai pada kesimpulan yang sama; bahwa pembacaan jihadis terhadap warisan Islam bersifat terdistorsi, selektif, dan pada akhirnya berbahaya, menunjukkan bahwa kritik Nasīrah bukanlah bias eksternal, melainkan sebuah analisis yang akurat terhadap kelemahan inheren dalam fondasi ideologis Salafi-Jihadī. Ini mengisyaratkan bahwa “labirin” yang mereka bangun begitu menyesatkan sehingga bahkan beberapa arsiteknya sendiri akhirnya menyadari bahwa mereka telah tersesat di dalamnya.
Dekonstruksi “Jihād” melalui Fatwā Mārdīn
Bab 5 dari buku Nasīrah menyajikan analisis paling tajam dan mendalam dengan berfokus pada Fatwā Mārdīn, sebuah teks yang sering dianggap sebagai locus classicus atau bukti utama yang digunakan oleh kelompok jihadis untuk membenarkan perang melawan negara-negara Muslim modern. Nasīrah membongkar pembacaan jihadis ini dengan mengidentifikasi tiga lapisan kesalahan yang saling terkait.
Tiga Lapisan Kesalahan dalam Pembacaan Jihadis
Kesalahan Tekstual (Korupsi Teks): Nasīrah menyoroti penemuan filologis krusial yang menunjukkan bahwa naskah-naskah paling otentik dari fatwa tersebut menggunakan kata yu‘āmal (diperlakukan), bukan yuqātal (diperangi). Versi yang dipopulerkan dan diandalkan oleh kelompok jihadis berbunyi bahwa Muslim yang tinggal di Mardin harus “diperangi” jika ia tidak menegakkan syariat. Namun, teks asli menyatakan bahwa Muslim tersebut harus “diperlakukan” sesuai dengan hak-haknya sebagai Muslim, sementara orang yang keluar dari syariat (seperti penguasa Mongol) diperlakukan sesuai dengan pelanggarannya. Perubahan satu kata ini secara fundamental mengubah seluruh makna fatwa, dari sebuah kerangka untuk akomodasi dan keadilan menjadi seruan untuk konfrontasi dan kekerasan.
Kesalahan Kontekstual (Anakronisme): Fatwa ini dikeluarkan sebagai respons terhadap situasi yang sangat spesifik dan unik: kota Mārdīn, sebuah wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim tetapi diperintah oleh penguasa Mongol yang baru masuk Islam namun masih menerapkan hukum adat mereka (Yasā‘). Menghadapi situasi yang ambigu ini, Ibn Taimiyyah menolak klasifikasi biner yang kaku antara Dār al-Islām dan Dār al-Kufr. Sebaliknya, ia menciptakan kategori ketiga yang inovatif: “wilayah campuran” atau komposit (dār murakkabah). Tujuan dari fatwa ini bukanlah untuk memberikan izin memberontak, melainkan untuk memberikan panduan fikih yang bernuansa bagi umat Islam yang hidup di bawah kondisi hukum yang ambigu tersebut. Kelompok jihadis sepenuhnya mengabaikan keunikan konteks ini dan menerapkan fatwa tersebut secara universal dan serampangan pada negara-bangsa modern yang kompleks.
Kesalahan Sistemik (Isolasi Teks): Kesalahan terbesar, menurut argumen Nasīrah, adalah praktik mengisolasi fatwa ini dari keseluruhan korpus pemikiran politik Ibn Taimiyyah. Ketika Fatwā Mārdīn dibaca bersamaan dengan penekanannya yang konsisten dan berulang kali pada larangan pemberontakan internal (khurūj), pentingnya menjaga persatuan umat, dan penerimaan pragmatisnya terhadap penguasa yang tidak sempurna untuk mencegah fitnah, maka mustahil untuk menafsirkannya sebagai seruan untuk perang saudara. Pembacaan jihadis hanya mungkin dilakukan dengan mencabut fatwa ini dari sistem pemikiran yang lebih luas yang justru menentang kesimpulan mereka.
Epilog
Buku Matāhat al-Ḥākimiyyah karya Hānī Nasīrah pada akhirnya menyajikan sebuah argumen yang koheren dan kuat bahwa kesalahan kaum jihadis dalam memahami Ibn Taimiyyah bukanlah kesalahan tunggal atau insidental, melainkan serangkaian kegagalan metodologis yang sistematis. Kegagalan-kegagalan ini meliputi: selektivitas (memilih kutipan yang mendukung agenda mereka sambil mengabaikan yang bertentangan), dekontekstualisasi (mengabaikan latar belakang historis yang melahirkan sebuah teks), anakronisme (memproyeksikan konsep-konsep modern ke masa lalu), dan dalam kasus Fatwā Mārdīn, bahkan distorsi tekstual.
Labirin Ḥākimiyyah, dengan demikian, adalah metafora yang tepat untuk menggambarkan jalan buntu ideologis yang diciptakan oleh kesalahan-kesalahan metodologis ini. Ini adalah sebuah konstruksi intelektual di mana setiap jalan tampaknya mengarah pada justifikasi kekerasan, takfir, dan pemberontakan. Namun, jalan keluar yang sebenarnya; yaitu pemahaman yang otentik, holistik, dan kontekstual terhadap pemikiran Ibn Taimiyyah, sengaja diabaikan atau ditutup. Buku Nasīrah, oleh karena itu, berfungsi sebagai peta untuk keluar dari labirin ini. Ia tidak menyerukan penolakan total terhadap Ibn Taimiyyah, melainkan mengajak untuk membacanya secara kritis dan bertanggung jawab.
Kontribusi utama karya Nasīrah adalah menyediakan sebuah kerangka kerja analitis yang solid untuk mendekonstruksi wacana ekstremis dan, yang lebih penting, untuk merebut kembali warisan intelektual Islam dari apropriasi ideologis yang dangkal. Ini adalah seruan mendesak untuk sebuah keterlibatan yang serius dan kritis dengan teks-teks klasik, sebuah keterlibatan yang mengakui kompleksitas, nuansa, dan konteks historisnya, daripada mereduksinya menjadi slogan-slogan politik yang mematikan. Dengan melakukan hal ini, Nasīrah tidak hanya membongkar kesalahan kaum jihadis, tetapi juga membuka jalan bagi pemahaman yang lebih otentik dan relevan terhadap salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah Islam.