“Anak muda bisa menampilkan ekspresi politik yang jenaka di media sosial, tak melulu harus serius. Dan yang ringan, sepele dan jenaka itu justru lebih mudah diterima,” tutur Agus Mulyadi dalam seminar nasional prodi Pemikiran Politik Islam UIN Raden Mas Said Surakarta (22/5) bertema “Ekspresi Politik Gen-Z di Ruang Siber”, di aula lantai 4 FAB.

Agus Mulyadi mencontohkan kasus korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang dulu pernah viral. Agus memilih membuat konten di Instagram dengan fokus pada biaya sunat cucu SYL yang dibiayai Kementan, yang terungkap saat sidang korupsi. Konten Agus yang mengundang tawa itu tak kehilangan daya kritisnya. Ia menyebutnya sebagai kritik anak muda yang subtil, jenaka dan berdampak.

Mantan pemred mojok.co itu juga menjelaskan bahwa melalui konten-konten lucu dan receh, anak mudah dapat menurunkan tensi politik yang tinggi di media sosial. Kita tahu, di tiap gelaran pemilihan umum, medsos mendadak menghangat dan kadang memanas. Tak jarang berujung pada pembelahan di masyarakat.

Pun demikian, apakah anak muda, wabilkhusus gen z, melek politik? Agus menyodorkan data: hanya sekitar 20% gen z yang masih mengikuti berita politik menurut survei Alvara. Dan hanya sekitar 14% anak muda yang berminar mencalonkan diri sebagai anggota DPRD/DPR dan kepala daerah menurut survei CSIS. Bagi sebagian anak muda, politik masih dianggap sesuatu yang kotor. Di sisi lain, para politisi tidak begitu piawai menggaet perhatian anak muda.

Agus memberi catatan, anak-anak muda tidak akan lepas dari masalah-masalah yang khas anak muda, dan seharusnya masalah itu bisa diselesaikan dengan jalur politik. Di antara masalah itu: kesehatan mental, kekerasan seksual, judol, pinjol, cyber-bullying, keamanan data, lapangan kerja, mahalnya harga rumah dll. Agus juga merinci hal-hal yang membuat anak muda stres, di antaranya persoalan asmara (4%), karier (8%), hubungan keluarga (5%), minder (17%), keuangan (59%).

“Politik memang tidak bisa menyelesaikan persoalan asmaramu, kariermu, mindermu atau hubunganmu dengan keluarga. Tapi, lewat jalur politik, urusan keuangan harusnya bisa diselesaikan. Dan kalau urusan keuangan beres, maka asmara juga beres, hubungan dengan keluarga beres, yang lain beres. Soal keuangan ini soal lapangan kerja, soal pajak dll. Jadi anak muda mestinya melek politik,” tegas Agus.

Agus melanjutkan, ”Anak muda punya nalar kritis dan logika bermedia sosial yang lebih maju, sehingga bisa berperan menangkis disinformasi seputar politik yang ada di media sosial.”

Anak muda, kata Agus, dengan akses pengetahuan yang luas bisa menjadi generasi yang membawa perubahan. Perubahan besar memang didorong oleh ide-ide besar, namun kadangkala perubahan besar terjadi setelah terpicu hal hal kecil. Anak muda punya potensi untuk mendorong adanya kebijakan pemerintah yang lebih baik.

“Teruslah berisik di media sosial, terutama untuk menyuarakan hal-hal yang perlu disuarakan,” pesan Agus.

Komentar