‘Abd al-Qādir al-Jīlānī lahir pada 470 H/1077 M dan meninggal pada 561 H/1166 M. Meskipun lahir di provinsi Jīlān (atau Gīlān) di Laut Kaspia, ia pindah ke Baghdad saat masih remaja dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Periode ini merupakan salah satu perubahan besar di negeri-negeri Muslim, khususnya Baghdad dan sekitarnya.[1] Kehidupan al-Jīlānī secara garis besar dibagi menjadi dua fase umum; yang pertama, dari masa muda dan pendidikannya, menemukan jati diri dan mendapatkan landasan spiritual Islam, dan yang kedua, mengajar, memberikan khotbah dan ceramah kepada banyak orang dan membimbing mereka di jalan spiritual. Fase pertama sekitar empat puluh atau lima puluh tahun pertama hidupnya, sedangkan fase kedua adalah sisa hidupnya.

Al-Jīlānī bermażhab Ḥanbalī, dan merupakan salah satu ulama mażhab Ḥanbali terkemuka pada saat itu.[2] Ia lahir dari keluarga yang taat beragama, Ayahnya terkenal dengan kesalehan, ibadah, serta perilakunya yang mulia.[3] Memiliki empatpuluh sembilan anak; duapuluh tujuh laki-laki dan duapuluh dua perempuan.[4] Di antara anaknya yang paling menonjol adalah ‘Abd al-Razzāq (w. 603 H) seorang imām dan ahli ḥadīṡ dari mażhab Ḥanbalī,[5] juga ‘Abd al-Wahhāb (593 H) seorang faqīh dalam mażhab Ḥanbalī, belajar fiqh langsung dari ayahnya.[6] Al-Jīlānī belajar dari banyak guru dengan ragam keahlian ilmu, di antaranya; Abū Muḥammad Ja‘far ibn Aḥmad al-Baghdādī al-Sarrāj (w. 500),[7] Abu al-Qāsim ‘Alī ibn Aḥmad al-Baghdādī (w. 510),[8] Ḥammād ibn Muslim al-Dabbās (w. 525) seorang Zāhid masyhur.[9] Dan di antara muridnya adalah; Abū al-Maḥāsin ‘Umar ibn ‘Alī (w. 575),[10] dan Abū Muḥammad ‘Abd Allāh ibn Aḥmad ibn Muḥammad ibn Qudāmah al-Maqdisī (w. 541)[11]

Karya al-Jīlānī yang paling terkenal adalah Futūḥ al-Ghaib.[12] Karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.[13] Buku ini berisi tujuh puluh delapan bab yang dimulai dengan “Tentang Tugas Utama dari setiap Mu‘min,” dilanjutkan kepada topik yang lebih luas seperti “Janji,” “Pantangan,” dan “Jenis Pengetahuan Batin,” dan diakhiri dengan “Orang-Orang yang Berjuang dalam Laku Spiritual dan Muḥāsabah.” Isi dari buku ini sepertinya diambil dari ceramah al-Jīlānī. Karena selalu dimulai dengan “Syaikh berkata…” dan diatur secara runut. Tidak diketahui secara pasti apakah al-Jīlānī melakukannya sendiri atau dilakukan oleh salah seorang muridnya. Diriwayatkan bahwa ceramah-ceramah itu didiktekan kepada putranya ‘Abd al-Razzāq.[14] Namun dalam pengantar buku, yang ditulis oleh al-Jīlānī, ia menjelaskan bahwa isinya adalah “kata-kata yang muncul dariku sebagai pengantar dari futūḥ al-ghaib.” Apakah kalimat ini awalnya ‘muncul’ sebagai ceramah yang diberikan kepada murid atau yang lain tidak sepenuhnya jelas. Namun demikian, ia mengklarifikasi bahwa “kata-kata ini kemudian disusun ke dalam bentuk yang paling tepat untuk para pencari kebenaran dan murid,” yang menunjukkan bahwa karya tersebut telah disusun dalam format buku selama masa hidup al-Jīlānī.[15]

Buku ini didasarkan pada pengendalian nafs atau diri, menyelaraskan diri dengan kehendak Ilahi. Metode utama untuk meraih maqām zuhd atau asketisme tingkat tinggi. Buku ini memiliki pesan yang kuat tentang penerimaan terhada qadr atau takdir, baik itu berupa berkah maupun musibah. Ibn Taimiyyah juga menulis komentar tentang Futūḥ al-Ghaib dalam Majmūʿ al-Fatāwā, dan yang juga telah diterbitkan dalam naskah terpisah.[16] Komentar Ibn Taimiyyah tidak terlalu luas karena hanya mencakup bab satu, enam, sepuluh dan delapan belas; atau hanya empat bab dari tujuhpuluh delapan bab dalam Futūḥ al-Ghaib. Namun demikian penjelasan wacana yang dia tafsirkan dari empat bab tersebut cukup panjang dan mencakup diskusi menarik tentang topik-topik sufistik seperti qadr, nafs dan fanāʾ. Dalam Syarḥ-nya, Ibn Taimiyyah juga menunjukkan kekaguman dan penghormatan yang tinggi terhadap al-Jīlānī.

Kemudian ada al-Ghunyah li-Ṭālibī Ṭarīq al-Ḥaqq, yang ditulis langsung oleh al-Jīlānī sendiri. Bukan transkrip ceramah yang dituliskan oleh muridnya. Buku ini berisi panduan dasar-dasar Islam; shalat, puasa, sedekah dan ziarah untuk memulai jalan Sufi, anjuran tentang akhlak yang baik, iman yang benar, dan tema-tema seputar akhlak.[17] Dengan demikian, buku ini adalah panduan lengkap tentang Īmān, Islām, dan Iḥsān, “menjelaskan jalan yang benar untuk melanjutkan jalan menuju Tuhan.”[18] Buku ini sama dengan Qūt al-Qulūb karya Abū Ṭālib al-Makkī[19] atau Iḥyāʾ ‘Ulūm al-Dīn karya Abū Ḥāmid al-Ghazālī.[20]

Selanjutnya ada al-Fatḥ al-Rabbānī, kumpulan ceramah yang disampaikan antara tahun 545 H/1151 M dan 546 H/1152 M.[21] Setiap ceramah dimulai dengan catatan yang menyebutkan tanggal ceramah tersebut disampaikan. Penulis juga terkadang memberikan deskripsi tentang keadaan dan perilaku al-Jīlānī dalam ceramah tertentu, terkadang hanya informasi umum sebagaimana dia akan memulai atau mengakhiri setiap sesi.[22]

Kemudian ada Sirr al-Asrār yang ditulis sendiri oleh al-Jīlānī dan tidak didasarkan pada catatan ceramahnya.[23] Dalam pengantarnya, al-Jīlānī menjelaskan bahwa buku ini ditulis untuk para sālik yang ingin mengetahui secara umum tentang syarīʿah (hukum), ṭarīqah (jalan spiritual), dan ḥaqīqah (hakekat). Buku ini dibagi dalam duapuluh empat bagian pendek, yang mencakup segala hal mulai dari kosmologi hingga praktik żikr. Intinya, buku ini berfungsi sebagai panduan singkat menuju jalan spiritual dan sebagai lanjutan dari al-Ghunyah.

Ada satu karya yang sering dinisbatkan kepada al-Jīlānī yaitu al-Fuyuḍāt al-Rabbānī karya Ismā‘īl ibn Muḥammad Saʿīd al-Qādirī.[24] Buku ini berisi banyak doa-doa yang mungkin berasal dari al-Jīlānī, namun teksnya sudah jelas disusun dengan tambahan dari al-Qādirī. Selain berisi wirid dan doa yang bersumber dari al-Jīlānī, buku ini juga berisi pengertian dan informasi tentang tujuh jenis nafs (jiwa), serta beberapa syair qaṣīdah dan cara-cara melakukan tawaṣṣul melalui al-Jīlānī.

Yang terakhir adalah tafsir al-Qur’ān yang seringkali dinisbatkan kepada al-Jīlānī yang berjudul Tafsīr al-Jīlānī dalam lima jilid.[25] Meskipun diterbitkan dengan nama ini, judul yang diberikan oleh penulis dalam pendahuluan adalah al-Fawātiḥ al-Ilāhiyyah wa al-Mafātiḥ al-Ghaibah al-Muwaḍḍaḥah li al-Kalim al-Qurʾāniyyah wa al-Ḥikmah al-Furqāniyyah. Judul asli ini tampaknya memiliki kemiripan dengan judul beberapa karya al-Jīlānī lainnya, yang juga menunjukkan bahwa isinya mengandung ‘pembukaan’ dan ‘wahyu yang mencerahkan’ dari keghaiban. Editornya, Muḥammad Fāḍil al-Jailānī juga menunjukkan bahwa karya tersebut bukanlah tafsir tradisional yang mengandalkan pengetahuan dan pemahaman seperti kebanyakan tafsir, tetapi lebih merupakan karya yang mengandalkan inspirasi sufistik.[26] Dengan demikian, karya ini merupakan tafsir yang menarik karena tidak didasarkan pada pemahaman rasional terhadap ayat-ayat tersebut, tetapi lebih merupakan penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’ān dari perspektif sufistik. Dalam pendahuluannya dikatakan,

Saudara-saudaraku, semoga Tuhan menjagamu, jangan salahkan aku atas apa yang kamu temukan padaku… itu adalah jalan Tuhan agar dia dapat mewujudkan dari pengetahuannya apa yang tersembunyi, dan dapat mengeluarkan apa yang tersembunyi dalam yang ghaib… dan jangan memandang (karya) ini dengan pandangan akademik, melainkan dengan mata batin kontemplatif, dengan pengalaman dan perasaan pribadi, bukan dengan pembuktian, melalui pemaparan dan kesaksian, dan bukan melalui penilaian dan perhitungan.[27]

 

Ungkapan ini mirip dengan apa yang ditulis dalam pengantar Futūḥ al-Ghaib. Tafsīr ini tidak mengutip ayat-ayat dan kemudian diberi penjelasan sebagaimana jamaknya kitab tafsīr, melainkan rangkaian komentar atas ayat-ayat yang menghasilkan satu prosa, dari awal setiap surat atau bab. Setiap surat didahului dengan pendahuluan dan diikuti dengan kesimpulan. Secara keseluruhan, dan sebagaimana disebutkan di atas, Tafsīr al-Jīlānī merupakan karya yang unik. Namun seperti yang telah disampaikan di awal, ada keraguan besar atas keaslian tafsir ini ditulis oleh al-Jīlānī.[28]

Karya al-Jīlānī dalam taṣawuf  menunjukkan luas pengetahuannya tentang ilmu syarī’ah; khususnya fiqh, hal ini karena salah satu gurunya dalam taṣawuf adalah Ḥammād al-Dabbās.[29] Berangkat dari karya al-Jīlānī di atas, beberapa pendapatnya tentang taṣawuf dirangkum sebagaimana berikut; Taṣawuf menurut definisi al-Jīlānī adalah al-Ṣidq ma‘a Allāh (jujur kepada Allāh) dan ḥusn al-khuluq ma‘a al-khalq (bersikap baik kepada sesama),[30] taṣawuf adalah bertakwa kepada Allāh dan taat kepadaNya, dengan menjalankan syarī‘at, dan lapang dada, murah hati, berwajah ceria, menghilangkan gangguan, bersabar dan menahan diri atas kesulitan dan ujian, dan menjaga kehormatan para masyāyikh, bergaul dengan baik kepada sesama, saling menasehati antara yang tua dan muda, meninggalkan dendam, menyegerakan kebaikan, menghindari kesia-siaan, dan saling membantu dalam urusan agama dan dunia.[31]

Ṣūfī, menurut al-Jīlānī adalah mereka yang senantiasa bermujāhadah dalam jalan Allāh hingga sampai pada Ma‘rifah,[32] ia membedakan antara mutaṣawwif dan ṣūfi, menurutnya, mutaṣawwif adalah pemula dalam ṭarīqah, sedangkan Ṣūfī adalah sālik yang telah sampai pada jalannya.[33] Metode (manhaj) yang dipakai adalah metode yang berlandaskan pada al-Qur’ān dan Sunnah. Hal ini jelas tampak dari nasehat-nasehat yang disampaikan kepada murid-muridnya. Al-Jīlānī berkata, “lihatlah dirimu dengan penuh kasih sayang, jadikan al-Qur’ān dan Sunnah sebagai pedoman, pelajari dan fahami keduanya, lalu berbuatlah atas landasan keduanya, jangan pernah berpegang pada ‘katanya’ sebagaimana Firman Allāh dalam Q.S. al-Ḥasyr:7,[34] dan janganlah menentangnya dan meninggalkannya.”[35]

Taṣawuf, menurut al-Jīlānī harus memenuhi delapan kualitas; al-Sakhā’, Riḍā, Ṣabr, Isyārah, Gharbah, Taṣawwuf, Siyāḥah, dan Faqr.[36] Saat menjelaskan riḍā al-Jīlānī mencontohkan pribadi dan karakter Ismā‘il ibn Ibrāhīm saat menerima dengan ikhlāṣ perintah Allāḥ untuk menyembelihnya.[37] Sedangkan dalam ṣabr dia mencontohkan keteladanan nabi Ayyūb, dalam isyārah menyebutkan nabi Zakariyyā sebagai teladan,[38] sedangkan gharbah[39] dia menjadikan Yaḥyā ibn Zakariyyā sebagai contohnya. Sedang dalam kualitas taṣawuf, al-Jīlānī mencontohkan Mūsā ibn ‘Imrān yang dipilih Allāh sebagaiman firmanNya dalam Q.S. al-A‘rāf:144.[40] Kemudian ada al-siyāḥah dia contohkan keteladanan ‘Īsā ibn Maryam, dan faqr dengan teladan Nabi Muḥammad. Faqr yang dimaksud adalah membutuhkan Allāh saja tanpa rasa membutuhkan sedikitpun kepada selainNya.[41]

Pandangan terpenting dalam taṣawuf al-Jīlānī adalah perhatiannya yang besar terhadap keseimbangan antara teori dan praktik, antara ilmu dan amal.[42] Ia juga memberi porsi lebih pada sisi pendidikan dalam bertaṣawuf, hal ini terlihat dari mayoritas khotbahnya yang berkaitan langsung dengan amal perbuatan.[43] Menurutnya, seorang murīd dan sālik wajib memiliki syaikh, karena syaikh (guru) merupakan dasar utama dalam pendidikan taṣawuf.[44] Dan dalam prosesnya, al-Jīlānī membuat rambu-rambu interaksi antar murīd-syaikh ini; taat sepenuhnya pada guru, tidak boleh melawan, menutup aib guru, istiqāmah dalam bimbingan bersamanya, memilih ungkapan kata terbaik saat berbicara dengannya, dan dilarang berbicara kecuali untuk hal yang penting dan mendesak.[45]

Selanjutnya, al-Jīlānī juga memberi batasan dan kewajiban-kewajiban seorang murīd pemula yang wajib dijaga dan jalankan. Yaitu; berpegang teguh pada al-Qur’ān dan Sunnah, salaf al-ṣāliḥ, dan menjalankan ajaran dari keduanya.[46] Tentang samā‘[47] ia mendefinisikannya dengan, “perbincangan dan perkataan yang disunnahkan oleh Allāh dan para ulama dari auliyā’ yang berbentuk bait-bait puisi maupun sya‘ir yang menyentuh hati.”[48] Dia menambahkan bahwa adab dalam samā’ adalah; agar meniatkannya untuk żikr dengan sepenuh hati dan menghindarkan hatinya dari hal-hal tercela, tidak memperlihatkan gerakan-gerakan yang berlebihan dan suara-suara yang tidak baik.[49]

 

 

Sumber Bacaan

 

Al-Ghazālī, Muḥammad Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Riyāḍ: Dār Ibn Ḥazm, 2005.

Al-Jīlānī, ‘Abd al-Qādir. al-Fatḥ al-Rabbānī. Damaskus: Dār al-Albāb, n.d.

———. Al-Ghunyah li-Ṭālibī Ṭarīq al-Ḥaqq. Damaskus: Dār al-Albāb, 2001.

———. Futūh al-Ghaib. Damaskus: Dār al-Albāb, 2003.

———. Futuhul Ghaib: Kitab Pembuka Rahasia Kegaiban. Diterjemahkan oleh M. Navis Rahman dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Qaf Media Kreatif, 2018.

———. Jalāʾ al-khwāṭir. Diterjemahkan oleh Muhtar Holland. Florida: al-Baz Publishing, 1997.

———. Malfūẓāt. Diterjemahkan oleh Muhtar Holland. Florida: al-Baz Publishing, 1992.

———. Revelations of the unseen. Diterjemahkan oleh Muhtar Holland. florida: al-Baz Publishing, 1992.

———. Sirr al-Asrār. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2005.

———. Tafsīr al-Jīlānī. Istanbul: Markaz al-Jīlānī, 2009.

Al-Kailānī, ‘Abd al-Razzāq. Al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī: al-Imām al-Zāhid al-Qudwah. Damaskus: Dār al-Qalam, 1994.

Al-Kailānī, Jamāl al-Dīn Fāliḥ. Ṡaurah al-Rūḥ: Istiqrā’āt Tafkīkiyyah fī al-Falsafah al-Ṣūfiyyah ‘inda al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī. Kairo: Dār al-Zanbaqah, 2019.

Al-Makkī, Abū Ṭālib. Qūt al-Qulūb. Diedit oleh Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Al-Riḍwān. Kairo: Maktabah Dār al-Turāṡ, 2001.

Al-Qādirī, Ismaʿīl Ibn Muḥammad Saʿīd. Fuyuḍāt al-Rabbānī. Kairo: Muṣtafā Bābī Ḥalabī, n.d.

Al-Tādifī, Muḥammad Yaḥyā. Qalā’id al-Jawāhir fī Manāqib al-Syaikh ‘Abd al-Qādir. Kairo: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, n.d.

Al-Ṭūsī, Naṣr ‘Abd Allāh bin ‘Alī bin al-Sarrāj. Al-Luma‘. Diedit oleh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīṡah, 1960.

Al-Żahabī, Muḥammad ibn Aḥmad. Siyar A‘lām al-Nubalā.’ Diedit oleh Syu‘aib Al-Arnauṭ dan Basyār Ma‘rūf. 3 ed. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1985.

Ibn al-‘Imād, ‘Abd al-Ḥayy ibn Aḥmad ibn Muḥammad. Syażarāt al-Żahab fī Akhbār man Żahab. Beirut: Dār Ibn Kaṡīr, 1986.

Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, Muḥammad ibn Abī Bakr. Zād al-Maʿād fī Hady Khayr al-ʿIbād. Diedit oleh Shuʿayb Al-Arnāʾūṭ dan ʿAbd al-Qādir Al-Arnāʾūṭ. Muʾassassat al-Risāla, n.d.

Ibn Rajab, ʿAbd al-Raḥmān b. Syihāb. Kitāb al-Żail ʿalā Ṭabaqāt al-Ḥanābilah. Kairo: Maṭbaʿat al-Sunnah al-Muḥammadiyyah, 1952.

Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm. Sharh Futuh Al-Ghaib: Commentary on Revelations of Unseen. Diterjemahkan oleh Muhtar holland. Florida: al-Baz Publishing, 2011.

———. Syarḥ Futūḥ al-Ghaib. Damaskus: Dār al-Qādirī, 2005.

Malik, Hamza. The Grey Falcon: The Life and Teaching of Shaykh Abd Al-Qādir Al-Jīlānī. Brill, 2019.

Manẓūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār Iḥyā al-Turaṡ al-‘Arabī, 1997.

Syarqāwī, Ḥasan. Mu‘jam Alfāẓ al-Ṣūfiyyah. Kairo: Muassasah Mukhtār, 1992.

[1] Untuk diskusi tentang setting geo-sosio-politik-religius yang menyertai al-Jīlānī, lihat, Hamza Malik, The Grey Falcon: The Life and Teaching of Shaykh Abd Al-Qādir Al-Jīlānī. (Brill, 2019), 33–73.

[2] ʿAbd al-Raḥmān b. Syihāb Ibn Rajab, Kitāb al-Żail ʿalā abaqāt al-anābilah (Kairo: Maṭbaʿat al-Sunnah al-Muḥammadiyyah, 1952), 1:291; ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq (Damaskus: Dār al-Albāb, 2001), 1:55.

[3] ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, al-Fat al-Rabbānī (Damaskus: Dār al-Albāb, n.d.), 224.

[4] Muḥammad ibn Aḥmad Al-Żahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā,’ ed. oleh Syu‘aib Al-Arnauṭ dan Basyār Ma‘rūf, 3 ed. (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1985), 20:447.

[5] Ibn Rajab, Kitāb al-Żail ʿalā abaqāt al-anābilah, 2:40.

[6] ‘Abd al-Ḥayy ibn Aḥmad ibn Muḥammad Ibn al-‘Imād, Syażarāt al-Żahab fī Akhbār man Żahab (Beirut: Dār Ibn Kaṡīr, 1986), 4:314.

[7] Al-Żahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā,’ 19:228.

[8] Al-Żahabī, 19:259.

[9] Al-Żahabī, 19:594; Ibn al-‘Imād, Syażarāt al-Żahab fī Akhbār man Żahab, 4:73.

[10] Ibn al-‘Imād, Syażarāt al-Żahab fī Akhbār man Żahab, 4:252; Al-Żahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā,’ 21:105.

[11] Ibn Rajab, Kitāb al-Żail ʿalā abaqāt al-anābilah, 2:133; Al-Żahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā,’ 22:165.

[12] ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Futūh al-Ghaib (Damaskus: Dār al-Albāb, 2003); ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Revelations of the unseen, trans. oleh Muhtar Holland (florida: al-Baz Publishing, 1992).

[13] Al-Jīlānī, Revelations of the unseen; ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Futuhul Ghaib: Kitab Pembuka Rahasia Kegaiban, trans. oleh M. Navis Rahman dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Qaf Media Kreatif, 2018).

[14] ‘Abd al-Razzāq Al-Kailānī, Al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī: al-Imām al-Zāhid al-Qudwah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1994), 324.

[15] Al-Jīlānī, Futūh al-Ghaib, 9.

[16] Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Syar Futū al-Ghaib (Damaskus: Dār al-Qādirī, 2005); Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Sharh Futuh Al-Ghaib: Commentary on Revelations of Unseen, trans. oleh Muhtar holland (Florida: al-Baz Publishing, 2011); Jamāl al-Dīn Fāliḥ Al-Kailānī, aurah al-Rū: Istiqrā’āt Tafkīkiyyah fī al-Falsafah al-Ṣūfiyyah ‘inda al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (Kairo: Dār al-Zanbaqah, 2019).

[17] Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq.

[18] Al-Jīlānī, 11.

[19] Abū Ṭālib Al-Makkī, Qūt al-Qulūb, ed. oleh Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Al-Riḍwān (Kairo: Maktabah Dār al-Turāṡ, 2001).

[20] Muḥammad Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Riyāḍ: Dār Ibn Ḥazm, 2005).

[21] Al-Jīlānī, al-Fat al-Rabbānī.

[22] ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Malfūāt, trans. oleh Muhtar Holland (Florida: al-Baz Publishing, 1992), xiii. Kadang bagian akhir dari kitab ini juga diterbitkan terpisah dengan judul, ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Jalāʾ al-khwāir, trans. oleh Muhtar Holland (Florida: al-Baz Publishing, 1997).

[23] ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Sirr al-Asrār (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2005).

[24] Ismaʿīl Ibn Muḥammad Saʿīd Al-Qādirī, Fuyuāt al-Rabbānī (Kairo: Muṣtafā Bābī Ḥalabī, n.d.).

[25] ‘Abd al-Qādir Al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī (Istanbul: Markaz al-Jīlānī, 2009).

[26] Al-Jīlānī, 28.

[27] Al-Jīlānī, 33–34.

[28] Malik, The Grey Falcon: The Life and Teaching of Shaykh Abd Al-Qādir Al-Jīlānī., 2–13.

[29] Muḥammad Yaḥyā Al-Tādifī, Qalā’id al-Jawāhir fī Manāqib al-Syaikh ‘Abd al-Qādir (Kairo: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, n.d.).

[30] Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq, 2:160.

[31] Al-Jīlānī, Futūh al-Ghaib, 166.

[32] Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq, 2:160.

[33] Al-Jīlānī, 2:161.

[34] Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

[35] Al-Jīlānī, Futūh al-Ghaib, 65.

[36] Al-Jīlānī, 166.

[37] Muḥammad ibn Abī Bakr Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, Zād al-Maʿād fī Hady Khayr al-ʿIbād, ed. oleh Shuʿayb Al-Arnāʾūṭ dan ʿAbd al-Qādir Al-Arnāʾūṭ (Muʾassassat al-Risāla, n.d.), 1:70.

[38] Naṣr ‘Abd Allāh bin ‘Alī bin al-Sarrāj Al-Ṭūsī, Al-Luma‘, ed. oleh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīṡah, 1960), 414.

[39] Gharbah adalah pergi dari tempat asal untuk mencari riḍā Allāh. Seorang ṣūfī bila pergi dari kampung halamannya akan menjadi faqīr dan tidak memiliki apa-apa kecuali harapan pada Allāh saja. Lihat, Ḥasan Syarqāwī, Mu‘jam Alfā al-Ṣūfiyyah (Kairo: Muassasah Mukhtār, 1992), 216.

[40] Dia berfirman, “Wahai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia (yang lain) untuk membawa risalah dan berbicara (langsung) dengan-Ku. Maka, berpegang teguhlah pada apa yang Aku berikan kepadamu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”

[41] Syarqāwī, Mu‘jam Alfā al-Ṣūfiyyah, 226.

[42] Al-Jīlānī, al-Fat al-Rabbānī, 35,41,51, 201.

[43] Al-Jīlānī, Futūh al-Ghaib, 117.

[44] Ia berkata, “para masyāyīkh adalah jalan menuju Tuhan, pintu yang harus dilewati untuk menuju Tuhan, untuk itu wajib hukumnya bagi setiap murid untuk memiliki guru yang mengarahkannya. Lihat, Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq, 2:164; Al-Jīlānī, al-Fat al-Rabbānī, 127.

[45] Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq, 2:164.

[46] Al-Jīlānī, 2:163.

[47] samā‘ adalah semua irama yang bisa dinikmati oleh telinga. Lihat, Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Iḥyā al-Turaṡ al-‘Arabī, 1997), 8:165.

[48] Al-Jīlānī, Al-Ghunyah li-ālibī arīq al-aqq, 2:180.

[49] Al-Jīlānī, 2:179-180,167.

Komentar