Kitab Misykat al-Anwar (selanjutnya ditulis Misykat) al-Ghazali, berbeda jauh, bahkan sangat jauh berbeda dibanding dengan Ihya’ Ulumuddin (selanjutnya ditulis Ihya’) dan karya-karya yang lain, dilihat dari ketebalan, kualitas isi, dan orisinalitas pemikiran tasawufnya. Kitab ini, Misykat, meski tipis, seratus halaman lebih sedikit, namun menurut sebagian pengkaji tasawuf al-Ghazali, merupakan karya tasawuf yang paling orisinal.
Dalam Misykat, terlihat pandangan esoterik dan filosofis al-Ghazali. Sangat radikal (dalam pengertian filsafat). Karya ini, meski kalah populer dibanding dengan Ihya’, disebut-sebut sebagai karya pamungkas, yang menunjukkan kematangan intelektual dan spiritualnya.
Al-Ghazali, di dalam kitab itu, sempat menyebut selain Ihya’, juga Mahak al-Nazhar, al-Maqshad al-Asna, dan Mi’yar al-Ilmi. Ini berarti, kitab Misykat ditulis setelah kitab-kitab itu, yang menurut beberapa sumber, sekitar tahun 495/1101 dan 505/1111.
Apa yang dianggap istimewa dari kitab Misykat, bagi al-Ghazali dan pembacanya? Kitab ini, tulis WHT. Gairdner (1952), sebagai pandangan sufistik al-Ghazali yang diyakininya secara rahasia antara dirinya dan Allah, dan tidak pernah menyebutnya kecuali kepada suatu kelompok khusus murid-murid atau mereka yang dalam terminologi tasawuf disebut orang-orang yang berada pada “maqam yang tinggi”.
Abu al-‘Ala ‘Afifi dalam pengantarnya di Misykat, yang diterbitkan oleh al-Dar al-Qawmiyyah, tahun 1964, menyimpulkan bahwa isi di dalamnya menggambarkan sikap atau posisi al-Ghazali dalam masalah-masalah yang telah dibahas di dalam karya-karya sebelumnya. Dalam Misykat, al-Ghazali justru dekat—untuk tidak mengatakan kalau ia sebenarnya juga mengajarkan—paham wahdat al-wujud.
Menurut ‘Afifi, melalui Misykat, al-Ghazali sampai pada pemahaman bahwa tidak ada yang ada dalam wujud kecuali Allah, karena wujud segala sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau berasal dari-Nya. Wujud pinjaman apa pun berada pada hukum atau sifat yang tiada (fi hukmi al-ma’dhum). Alam, dengan demikian, tidak mempunyai wujud (h. 7).
Sampai di sini, rasanya kurang sempurna jika tidak mengutip langsung ungkapan al-Ghazali, sebagaimana tergambar dalam Misykat, halaman 54-56 berikut:
“… ungkapan “tidak ada dalam wujud kecuali Allah” dan “segala sesuatu adalah binasa kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qasas: 88), bukan dalam arti bahwa segala sesuatu selain Allah binasa pada waktu tertentu, tetapi adalah binasa secara azali dan abadi. Segala sesuatu selain Allah, jika dipandang dari dirinya sendiri, adalah ketiadaan belaka (‘adam mahdh), dan jika dipandang dari arah datangnya wujud, dari Sumber Pertama, adalah ada (mawjud), bukan dalam arti ada dengan sendirinya, tetapi ada sejauh berasal dari Allah, maka yang benar-benar ada hanyalah wajah Allah”.
Perhatikan lagi ungkapan berikut :
“Wujud adalah cahaya dan ketiadaan adalah kegelapan. Yang paling berhak memiliki nama cahaya adalah Sumber cahaya itu sendiri, “Cahaya Pertama”, “Cahaya Yang Sebenarnya”, “Cahaya Terjauh dan Tertinggi” yang tiada cahaya di atasnya dan darinya turun cahaya kepada selainnya, yaitu Allah. Nama cahaya untuk selain “Cahaya Pertama” hanyalah kiasan, karena segala sesuatu selain Dia, jika dilihat dari dirinya, tidak mempunyai cahaya sama sekali. Cahaya pada segala sesuatu itu adalah pinjaman dari sesuatu yang lain. Cahaya yang sebenarnya adalah Dia yang di tangan-Nya penciptaan dan perintah, dan Dia adalah yang pertama memberi cahaya dan menjaga keberlangsungannya. Tidak sesuatu pun berbagi dengan Dia hakikat nama cahaya ini dan tidak pula kepemilikannya kecuali secara kiasan. Alam atau “selain Allah” pada dirinya adalah ketiadaan belaka dan wujud hakiki hanyalah Allah sebagai cahaya hakiki hanyalah Allah”.
Dari penjelasan di atas, tampak al-Ghazali melalui Misykat, sebenarnya telah merintis teori iluminasi (al-isyraqiyah), mendahului Suhrawardi yang mengembangkan mazhab iluminasi secara lebih sempurna. Di luar itu, terdapat hal lain yang penting kita refleksikan, dalam memandang karakteristik pemikiran tasawuf al-Ghazali.
Dalam hal ini, jika mengacu pada kitab Misykat, mengelompokkan al-Ghazali ke dalam tipologi tasawuf yang dikenal sebagai “akhlaki” (al-tasawwuf al-akhlaqi) atau “Sunni” (al-tasawwuf al-Sunni)—sebuah klasifikasi yang problematis dan cenderung diskriminatif—sebagai “lawan” dari tasawuf filosofis (al-tasawwuf al-falsafi), jelas tidaklah tepat. Al-Ghazali, melalui Misykat, menunjukkan sebaliknya, yaitu dapat pula dimasukkan ke dalam tipologi tasawuf falsafi, bukan akhlaki, sebagaimana dipahami banyak kalangan.
Terdapat kaum sarjana yang bahkan “menuduh” al-Ghazali bermuka dua. Kepada orang banyak ia mengajarkan tasawuf (moderat?) yang dipandang sebagai tasawuf Sunni atau akhlaki. Sementara untuk dirinya sendiri, dan kalangan tertentu, yaitu murid-muridnya yang maqam spiritualnya dianggap mumpuni, mengajarkan pandangan esoterik dan filosofis yang radikal, sehingga ia pun layak dikelompokkan ke dalam tipologi tasawuf filosofis.
Karena itu, jika mengikuti alur pemikiran tersebut, dapatlah dikatakan bahwa upaya dalam memahami Misykat, baik sebagai pembaca atau pendengar melalui ngaji, misalnya, pastikan tidak ada masalah saat memahami Ihya’, sebab ini menjadi syarat mutlak untuk “naik kelas”—sebagaimana tingkatan maqamat dalam tasawuf.
Lah, bagaimana mungkin ngaji kitab Misykat, sementara dalam hati dan pikirannya masih setengah tiang menerima filsafat dan pemikiran-pemikiran progresif tentang ketuhanan?