Sekitar 2016, Solo seperti menjadi tepian literasi yang memukau. Ada banyak komunitas literasi, ada banyak tokoh buku, ada banyak acara-acara keilmuan. Semua orang bisa masuk, dan semua orang ingin masuk untuk nyangkruk bersama.

Ada banyak alasan mengapa Solo waktu itu begitu istimewa. Angkringan, loper koran, acara literasi, kesenian, dan diskusi kritis dan saling kritik terjadi di tempat-tempat agung: di koran dan majalah. Bukan di jalanan. Tak ada sentimen rasial bila ada perbedaan pendapat atau pilihan.

Tapi suasana itu seperti tidak terjadi lagi hari ini.

Pada masa itu, tiap Minggu pagi aku dan teman selalu bergegas ke CFd. Pada masa itu, tujuan kami ke CFd Manahan, bukan di Slamet Riyadi. Tujuan kami dulu cuma satu: mencari buku. Sisanya njajal makanan suka-suka.

Aku masih ingat buku-buku yang aku beli saat pertama kali di Solo. Dan aku masih ingat angka berapa jumlah duit yang aku habiskan saat itu. Aku beli buku-buku lawas: ada majalah Gatra, Prisma, primbon, cara cepat berbahasa Jawa, dan buku-buku terbitan Pustaka Jaya.

Aku sebenarnya tidak tahu apakah buku-buku itu bagus atau tidak. Aku juga tidak tahu buku itu bakal dibaca atau bermanfaat kelak. Pokoknya beli dulu, pikirku masa itu.

Masa itu, stadion Manahan memang surganya buku. Aku kadang sendirian ke sana naik ontel. Oh ya, masa itu aku belum punya motor. Dan tidak ada pula kendaraan seperti trans Solo, apalagi Bajaj. Kartasuro-Manahan rasanya tidak jauh. Aku masih merasakan hawa horor ketika melewati gudang gula, yang kini berubah nama menjadi, duh lupa. Tapi aku juga merasakan bagaimana angin dan sawah yang membentang di baratnya UMS. Wah, rasa itu sudah tidak bisa lagi dirasakan hari ini.

Setelah dua hari di Solo pencarian tetap ke buku. Aku dibawa ke Gladak. Di Gladak adalah surganya buku lawas. Bukan buku baru. Orang-orang berdatangan membeli buku dan majalah lawas. Kadangkala sebenarnya orang ingin membeli sticker, kaca mata, baju, atau nasi pecel. Tapi juga sering mampir ke warung buku.

Di Gladak dulu parkir gratis!

Belanja di Gladak itu seru. Dulu kita bisa membaca dan mencari sepuasnya. Kita bisa ngobrol bersama pemilik kiosnya. Kalau ada buku baru akan datang, kita rebutan dengan teman-teman, laiknya mencari harta karun. Benar, memang buku lawas itu seperti harta karun, kalau rezeki kita dapat buku bagus tapi harga murah.

Dulu penjual warung buku di Gladak kurang begitu tahu buku. Maksudnya, buku-buku bagus masih dijual murah. Kita kegirangan ketika menemukan buku penting dan mereka cuma menjual 10-15 ribu. Tapi sekarang mereka sudah pintar. Mereka tahu buku-buku penting dan bagus. Kita tidak bisa menego seperti dulu. Sebel sebenarnya, tapi senang juga.

Belanja di warung buku Gladak menyenangkan. Kalau duit kurang, kita bisa ngutang. Kita dianjurkan tidak boleh malu. “Lanang kok malu ngutang”, kata ibu penjual warung buku. Aku masih ingat waktu itu membeli bundelan majalah Prisma. Tapi duitku kurang. Belum ke ATM.

Ngutang beli buku itu tidak enak. Rasanya terus kepikiran. Pinjam buku aja tidak enak, apalagi ngutang beli buku. Tiap mau tidur terus terhantui, meski utang itu tidak lekas dibayar.

Pada masa itu, teman-teman sering belanja buku dan majalah bersak-sak. Kita patungan. Laiknya membeli baju thrifting, kita tidak boleh membongkar sak buku. Baru kalau deal, sak itu boleh dibongkar. Aduh, membongkar buku-buku adalah kebahagiaan tersendiri. Debunya seperti memantulkan huruf-aksara keilmuan. Menyusun buku berdasarkan tema seperti menyusun tangga masa depan. Ahay!

Aku dan penjual buku saling save nomor. Kalau sudah lama tidak ke Gladak biasanya ditanya. Mereka juga jarang posting buku di status Wanya. Paling-paling, ya di Facebook pribadinya. Dan hanya Mas Entis kayaknya yang lumayan update di Facebooknya. Dulu kita pernah mengajarkan mereka bagaimana jualan di media.

Di masa pandemi, kami sering janjian bersama teman-teman. Sebab, di masa pandemi, semua toko buku itu sepi orang, sepi pelanggan. Bahkan Togamas dan sekian banyak retail toko buku tutup. Dan tokoh besar seperti Gramedia hampir saja juga tutup. Untungnya mereka pintar manajemen: mereka menjual tas, pulpen, koper dan jam tangan. Dan punya hotel plus media. Janjian ke Gladak, sekadar untuk memberikan semangat kepada mereka, bahwa “kami, pelanggan masih ada”.

Minggu lalu, aku ke Gladak lagi. Wajah para penjual buku di Gladak tampak cerah. Mereka bercerita bagaimana banyak komunitas dan orang-orang kembali berdatangan ke kiosnya. Mereka juga kadang diwawancara, dipotret, dan nama-nama mereka disebut di media. Kabanyakan yang datang adalah wajah baru: anak muda dan berpakaian kelcer. Kita bisa menebak itu adalah generasi milenal dan gen-Z.

Anak-anak milenal dan gen-Z  ternyata juga suka buku. Mereka dominan baca buku-buku kiri. Wah, kebengetan betul kalau kaum tua masih memandang generasi muda sebelah mata.

Kalau ada generasi tua memandang bahwa “dinamika keilmuan mandek”, itu karena mainan orang tua di Facebook saja. Sementara anak muda bisa berselancar mencari buku-buku bagus ke ujung dunia. Dan di sana banyak buku bagus yang generasi tua tidak tahu.

Generasi muda biasa berdiskusi keilmuan di mana saja. Mereka bisa berdiskusi keilmuan semua media, seperti Tiktok, Instagram, Wa dan lainnya. Tak perlu tempat khusus, apalagi flayer. Ini cukup mudah bagi generasi muda. Tapi cukup sulit bagi generasi tua.

Seperti warung buku Gladak Surakarta, ada banyak yang tidak tahu, bahwa di sinilah “surganya buku lawas”  dan ada pula pecel dan teh anget asoy.

Komentar