Sabtu, 2 Februari 2025 M bertepatan dengan 3 Sya’ban 1446 H menjadi pagi kelabu. Setelah menyelesaikan rutinitas di pagi hari ditambah ngemong ponakan, diri ini terkejut dengan pesan whatsapp yang sudah ramai menyebut Innalillaahi wa inna ilaihi roji’un. Entahlah, ketika melihat untaian kalimat itu, hati selalu menjadi gundah. Selayaknya menunggu antre-an tiket kepergian, siapa lagi kali ini yang akan ‘bepergian’. Tak terpikirkan sebenak pun bahwa sosok yang dipanggil Tuhan itu adalah sang hamilul Quran, penjaga Al-Quran, Ust. Dr. Abdul Jalil, S.Th.I, M.S.I.

Beliau adalah sosok guru yang amat rendah hati dan penuh inspirasi. Tercatat sebagai dosen Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Pengampu Kajian Kitab di Laboratorium Studi Al-Quran dan Hadis (LSQH) juga sebagai pengasuh kompleks Ribathul Qur’an wal Qira’at 2 Krapyak. Tentu ada banyak lagi kesibukan beliau yang sehari-hari dekat bahkan menginternalisasikan nilai-nilai Al-Quran.

Sampai tulisan ini dibuat, penulis masih bimbang dengan kenyataan pahit nan cepat ini. Bukan karena menolak suratan Ilahi yang sudah pasti, tetapi merasakan ada satu paku bumi yang menancapkan nilai-nilai Al-Quran di Indonesia sudah tiada di tengah kondisi keagamaan yang makin menyayat hati, sungguh menambah luka ironi.

Belum lagi, ada kenangan selama 8 tahun menjadi muhibbin beliau dalam setiap perkuliahan maupun pengajian. Perjumpaan pertama saya dengan beliau pada tahun 2015, ketika diri ini baru mulai masuk LSQH. Kala itu, beliau menginisiasi kajian kitab yang selama ini diulas di pesantren ke dalam lingkungan akademik kampus. Sungguh diri ini masih merasa perlu kehadiran beliau untuk membimbing kami generasi muda agar bisa mencintai dan menghayati nilai-nilai Al-Quran. Mendengar kabar lelayu tersebut, kaget bukan kepalang. Benarkah berita ini? Berharap pesan ini palsu semata yang sering mewarnai jagat maya. Namun kematian itu haq, tak sekalipun mengandung hoax.

Seketika saya membuka chat terakhir yang beliau kirimkan 23 Januari 2025, “Salam. Apakah Mas Rahmat pernah berobat di PKU Gamping? Apakah harus daftar dan booking duluan atau bisa langsung ke situ? Kalau di rumah sakit daerah harus daftar sebelum ke RS, terus antri lama”. Membaca pesan itu, tak terbersit sama sekali sekiranya itu adalah pesan terakhir sekaligus tanda perpisahan beliau. Daku mengira, bisa jadi anak atau istri beliau sakit, atau kalau pun beliau yang sakit, bukanlah hal yang serius.

Memang pada akhirnya kedekatan kita pada satu tokoh membuat rasa kehilangan itu kian kokoh. Sebagaimana Nabi berhasil mendidik para sahabat sehingga mereka sangat bersedih dengan kepergian sang teladan. Bahkan ada beberapa sahabat yang menolak informasi tersebut. Lantas turunlah Surat Ali Imran ayat 144 yang sering dibaca ketika maulid Nabi. Pun nasihat Abu Bakar kala itu mempertegas kehidupan dan kematian. Beliau mengatakan, “Siapa yang menyembah Muhammad, dia sudah tiada, siapa yang menyembah Allah, Dia Maha Hidup”.

Dalam berbagai kesempatan kehidupan, kita sering menyaksikan rangkaian perpisahan. Melihat psikologis keguncangan sahabat kehilangan sosok panutan, kiranya demikianlah—tentu tak sama persis—yang dirasakan oleh santri, murid dan kolega beliau. Semua berduka, semua merana. Setiap manis perjumpaan memang selalu menyediakan pahit perpisahan. Itulah kehidupan.

Tulisan ini kalau pun mau disebut obituari, saya lebih senang menyebutnya sebagai refleksi dan kesan al-faqir yang pernah dan akan terus belajar dari beliau. Sebab tulisan ini tidaklah layak dan bisa menjelaskan keluasan akhlak, keluwesan ilmu dan kebaikan beliau dalam membumikan Al-Quran. Perjumpaan terakhir tepat pada tanggal 8 Maret 2023, beberapa saat sebelum saya benar-benar meninggalkan Yogyakarta setelah 13 tahun belajar di kota pelajar tersebut. Ditemani adik kelas IAT, saya sowan ke rumah sederhana beliau di sekitar Krapyak. Meski sederhana, rumah itu menjadi saksi keberkahan beliau mengajarkan kitab demi kitab yang dikhatamkan.

Teringat kembali memori pertama kali mendatangi rumah beliau untuk mengaji kitab “Al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an” karya Imam As-Sa’di. Pemilihan kitabnya saja menarik, meski beliau berlatar ahl al-sunnah al-nahdhiyah, tetapi dengan santai mengkaji pemikiran wahabiyah. Ini juga pengalaman personal pertama dengan seorang dosen, yang alih-alih jaim, justru sang dosen bergaul ‘merakyat’ bersama mahasiswa di kediamannya.

Setelah sowan tersebut, dengan narasi yang cukup panjang dalam posting-an facebook, beliau menyampaikan, “Terkadang hubungan saya dengan beberapa mahasiswa tidak sekadar urusan akademik atau belajar di kelas kampus. Seperti kisah saya dan Rahmatullah Al-Barawi yang pernah sekolah di MA An-Nur Bantul, S-1 Prodi IAT UIN Suka, dilanjut dengan S-2 di kampus yang sama…Saya doakan semoga ilmu-ilmu yang didapati selama di Yogya bermanfaat dan barakah, lancar urusannya, termasuk rencana menjadi dosen di salah satu kampus di sana. Terima kasih atas segala khidmah dan doa. Bit-taufiq”.

Kalimat itu adalah cuplikan dari status beliau hanya untuk memberikan testimoni sekaligus penyemangat bagi al-faqir yang jujur masih susah untuk move on dari kota penuh kenangan ini. Beliau memberikan wejangan bahwa mengabdi itu bisa di mana saja. Beliau pun menceritakan banyak ulama Al-Quran yang menyebar di seantero pelosok negeri ini. Mereka tidak terkenal di bumi, tetapi viral di langit.

Pun dalam kesempatan itu, beliau hadiahkan satu kitab tebal, “Latha’if al-Minan wa al-Akhlaq fi Wujub al-Tahadduts bi Ni’matillah ‘ala al-Ithlaq” karya Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, ulama tasawuf terkemuka dari Mesir. Dalam halaman sampul tertulis kitab ini dibeli pada bulan Maret tahun 2017 dan dihadiahkan kepada saya Maret 2023 silam. Lebih spesifik lagi, kitab ini menguraikan penting menceritakan nikmat Allah (tahadduts bi ni’matillah). Waktu itu saya tidak sepenuhnya memahami alasan mengapa beliau memberikan kitab ini. Tentu ada alasan spesifik dan hanya beliau yang tahu.

Hal yang ku ingat kala itu, setelah mengatakan izin pamit boyongan saking Jogja, beliau masuk ke kamar perpustakaan pribadinya, sekitar lima menit di dalam menyusuri rak kitabnya—yang juga mempunyai kenangan personal karena waktu pindahan bersama beberapa kawan lain, saya ikut membantu mengangkat tumpukan kitab beliau—lantas keluar membawa kitab “Al-Minan al-Kubra” tersebut. Kemudian beliau menjelaskan sekilas isi kitab ini dan penulisnya. Batinku kala itu menerka bahwa beliau hendak mengajarkan al-faqir ini, tidak cukup belajar bayani dan burhani sebagaimana yang diperoleh di kampus dan diskusi akademik, tetapi juga perlu menekankan aspek irfani, akhlak, dan tasawuf.

Belakangan al-faqir ini memahami dari perjalanan kehidupan beliau, tahadduts bin ni’mah adalah kemauan untuk belajar sekaligus mengajarkan ilmu yang dimiliki. Tidak pelit berbagi ilmu sekaligus ‘rakus’ untuk belajar adalah bentuk dari menampakkan kenikmatan akal dan kesehatan yang diberikan Allah. Memang dalam hidup, beliau dikenal sangat mudah berbagi. Bukan hanya berbagi finansial yang juga tak seberapa didapat dari upah mengajar dosen, tetapi juga berbagi refleksi dan khazanah intelektual. Tidak sedikit mahasiswa yang datang curhat kepada beliau meskipun tak tercatat sebagai Dosen Pembimbing Skripsi (DPS). Pun ada banyak mahasiswa yang menulis tugas akhir berasal dari inspirasi perkuliahan beliau.

Inilah realisasi tahadduts bin ni’mah yang sudah dijalani beliau. Di hlm. 7 kitab tersebut, beliau memberikan stabilo terkait pernyataan Imam Asy-Sya’rani yang terjemahan bebasnya sebagai berikut:

“Tahadduts bin ni’mah tidak selalu dilakukan dengan cara menyebut nikmat tersebut berulang kali, tetapi cukup dengan memberikan manfaat atau berakhlak yang mulia walau hanya sesaat dalam kehidupan ini.”

Kitab ini seolah memberikan gambaran apa yang Pak Jalil lakukan selama ini. Beliau tak banyak berkata, tetapi sekali berkata yang keluar adalah mutiara. Beliau tak banyak bercakap, sekalinya bertindak luar biasa dalam beradab. Karenanya melalui tulisan ini, ada beberapa hal yang dapat menjadi pembelajaran dari kehidupan beliau. Pertama, mengajar adalah gerak aktif dari kegiatan belajar. Beliau sering mengutip hadis yang masyhur seputar keutamaan belajar Al-Quran. Khairukum man ta’allama al-Qur’an wa ‘allamah. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang belajar dan mengajarkan Al-Quran. Apa makna hadis ini? Beliau menegaskan sebelum mengajar Al-Quran, kita perlu belajar. Dan proses ini adalah gerak aktif dan dinamis.

Menjadi ciri khas beliau, setiap akan mengampu kajian kitab, beliau akan membaca kitab tersebut sampai selesai, membandingkan dengan beberapa kitab setema, barulah beliau membuka pengajian rutin. Ini adalah contoh keteladanan seorang guru yang tak pernah berhenti menimba ilmu. Di tengah hari ini kita menyaksikan surplus guru besar tetapi perilakunya membuat gusar.

Karakter lain yang beliau tanamkan untuk terus belajar adalah dengan cinta pada ilmu pengetahuan. Caranya dengan menghadirkan pertanyaan yang menggugah. Bagi mereka yang sering mengikuti perkuliahan atau pengajian, tentu tidak asing bahwa Pak Jalil sering menghadirkan pertanyaan reflektif. Misalnya ketika mengkaji kitab “Al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qira’at” karya Makki al-Qaisi, beliau memberikan penekanan, “kapan kata mutawatir disyaratkan oleh ulama dalam qiraat Al-Quran? mengapa mutawatir disyaratkan? Apa alasannya?” pertanyaan yang dimunculkan itu memberikan penalaran epistemologis untuk melacak istilah mutawatir dalam qiraat. Atau dalam kesempatan yang lain, beliau memberikan inspirasi topik penulisan, semisal “mengapa qiraat Imam Hasan Al-Bashri dianggap sebagai qiraat syadz?” melahirkan kajian tokoh qiraat Imam Hasan Al-Bashri.

Ketika mengkaji kitab “Al-Fauz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir” karya Syaikh Ad-Dahlawi pada pembahasan i’jaz Al-Quran, beliau mengusulkan kajian perkembangan i’jaz al-Quran sebagai mata kuliah sendiri dalam kajian tafsir. Beliau pun memberikan penekanan bagaimana sejarah muslim dalam pembelaan Al-Quran? Lagi-lagi, pernyataan beliau itu, jika hendak dikaji mendalam, maka bisa melahirkan satu artikel jurnal, skripsi, tesis atau bahkan disertasi.

Memberikan inspirasi ini adalah cara beliau untuk menanamkan semangat mencari ilmu. Tidak sebatas inspirasi gagasan, beliau juga menghadirkan referensi bacaan. Rasanya tidak pernah luput dalam setiap pertemuan beliau akan menyebut satu kitab baru yang belum banyak diketahui sebelumnya. Bahkan sering kali, kitab itu dihadiahkan kepada sang murid. Sependek yang saya koleksi, beliau memberikan saya 30 lebih kitab atau buku.

Metode menghadiahkan kitab ini juga menjadi narasi penting untuk menyambungkan rasa antara guru dan murid. Di sinilah kehadiran guru tidak sebatas memberikan pengetahuan, tetapi juga menghadirkan pengalaman. Termasuk pengalaman berharga yang akan menjadi kenangan bagi setiap mereka yang pernah mengikuti pengajian beliau adalah berbagi ijazah hadis setiap selesai mengkhatamkan satu kitab. Sayang, pada khataman kitab terakhir yang beliau ampu, “At-Tafsir wa Rijaluh” karya Al-Fadhil Ibn ‘Asyur, beliau tak sempat menyelesaikan dan memberikan ijazah hadis kepada kami. Beliau wafat ketika kitab ini sesaat lagi akan tamat.

Beliau memang punya banyak ‘koleksi’ sanad hadis yang diperoleh dari gurunya, Syaikh Yasin Al-Fadani. Keluwesan beliau mengambil sanad dari pakar hadis Haramain adalah karena masa kecil yang dilalui di tanah haram. Melalui sang guru, beliau melahirkan kecintaan yang mendalam terhadap tradisi. Pemberian ijazah hadis selepas mengkhatamkan kitab adalah bentuk penghormatan tradisi intelektual ulama terdahulu. Ketersambungan sanad melahirkan keberkahan yang kuat.

Salah satu upaya menjaga ittishal as-sanad adalah dengan menghadirkan penghormatan kepada guru. Beliau sangat mencintai dan memuliakan guru. “Barokah Al-Quran tidak bisa dipisah dari tingkat mahabbah kita kepada guru Al-Quran”, ungkap beliau. Kecintaan pada guru ini bukanlah menyuburkan semangat feodalisme yang sering dikritik oleh berbagai kalangan. Ini adalah khazanah keilmuan Islam yang menekankan dimensi spiritual di samping intelektual. Aspek irfani, di samping bayani dan burhani. Ketiga hal ini juga sering dikutip oleh beliau, menyadur pemikiran Al-Jabiri.

Beliau adalah sosok guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mencontohkan dengan laku kehidupan. Inilah worldview keilmuan Islam yang berbeda dengan keilmuan modern ala Barat. Bahwa ilmu itu melahirkan adab. Ilmu tidaklah independen dari perilaku. Meski beliau tidak membatasi bacaan, tetapi tradisi keislaman mengakar kuat. Beliau dapat memposisikan diri seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Beliau membaca segala macam referensi, tetapi tidak semua ditelan tanpa dikritisi.

Dalam satu kesempatan beliau mengatakan bahwa setiap memperoleh satu mushaf Al-Quran yang baru, beliau mempunyai tanggung jawab untuk mengkhatamkan minimal satu kali dengan mushaf tersebut. Di tengah kritik yang pedas terhadap fenomena menghafal Al-Quran dan pembacaannya tanpa penalaran, beliau tetap menekankan penting membaca dan menghafal Al-Quran meski belum tahu maknanya. Pada kesempatan yang lain beliau juga menekankan pembacaan dengan pemaknaan untuk mendapatkan penghayatan yang mendalam.

Poin pentingnya adalah setiap orang mempunyai proses masing-masing untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Ada yang prosesnya dengan membaca Al-Fatihah dan surat-surat pendek, ada yang membaca Surat Yasin setiap malam Jumat atau Surat Al-Kahfi bagi sebagian yang lain, ada yang mentradisikannya dalam bacaan doa, ada pula yang menyelami makna kandungannya. Setiap interaksi dengan kalamullah itu berharga, tak layak dicerca dan dihina, hanya karena kadarnya yang berbeda. Itulah di antara nasihat beliau yang terus terngiang dalam benak al-faqir.

‘Ala kulli hal, tulisan ini ditutup dengan satu refleksi dari Imam Asy-Sya’rani, “Sungguh syukur dengan lisan itu terputus dengan kematian seorang hamba, sedangkan bersyukur yang diwujudkan dengan kitab (atau karya pengabdian) ini akan terus berlanjut dampaknya.”

Sebagaimana sosok sang hamilul Quran yang kini sudah berpulang. Tak ada lagi lisan yang mengajarkan kitab kepada santrinya di rumah, di kampus, juga di pondok. Pun tidak ada lagi lidah yang bergerak untuk merawat kesucian kalam Ilahi. Juga pupus sudah sosok yang tak pelit memberikan ijazah sanad hadis setiap mengkhatamkan satu kitab.

Semoga berkah kehadiran beliau untuk terus mengajar, bahkan di tengah sakitnya, menjadi ekspresi rasa syukur yang tak pernah punah meski raga telah berkalung tanah. Tak ada lagi sosok yang mampu menggantikan sang pejuang Al-Quran. Tetapi kerja kolektif para santri dan muhibbin untuk meneruskan perjuangan, semoga menjadi bukti 43 tahun kehidupan beliau benar-benar membawa pancaran keberkahan Al-Quran.

Komentar