Perjalanan kali ini penuh dengan makna dalam hidup saya. Perjalanan yang tak terduga ini membuka wawasan dan pandangan saya. Kalimantan, yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kini mulai terancam dengan banyaknya penambangan di sekitarnya. Lantas, apakah kita sudah adil terhadap alam yang telah memberikan kehidupan kepada manusia itu sendiri?

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Ayat ini menegaskan agar manusia menjaga alam yang telah ditata sedemikian rupa, dan tidak berlebihan dalam mengeksploitasi sumber daya. Sebagai khalifah di muka bumi yang diutus oleh Allah SWT, kita memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan dan tidak merusak alam.

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan di sana dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. Al-Baqarah: 30)

Makna khalifah pada ayat di atas adalah pemimpin dan pengelola alam semesta. Walaupun para malaikat sempat meragukan keputusan itu, Allah tetap menjadikan manusia sebagai wakil-Nya di bumi. Kini, kerusakan alam yang terjadi menjadi bukti betapa berat amanah tersebut. Namun, di tengah kerusakan itu masih ada manusia-manusia yang peduli terhadap kelestarian alam, salah satunya adalah masyarakat adat.

Suku Dayak merupakan salah satu suku yang terus berjuang menjaga alam di Kalimantan. Desa Gleo Asa, di Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, adalah contoh nyata kala masyarakat adat Dayak masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat dalam menjaga alam. Bagi mereka, alam bukan sekadar tempat menanam tumbuhan, tetapi bagian dari kehidupan dan sumber penghidupan.

Saya berkesempatan mengikuti Sekolah JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kalimantan Timur pada tanggal 13-18 Oktober lalu, dan ditempatkan di Desa Gleo Asa. Di sana, kami tinggal bersama masyarakat, merasakan langsung kehidupan mereka, dan belajar dari kebijaksanaan yang mereka wariskan. Kami menumpang di rumah Ibu Rina, seorang perempuan tangguh yang menjadi penggerak masyarakat dalam melawan tambang. Dari beliau saya belajar arti keteguhan dan cinta pada tanah kelahiran.

Selama di sana, kami berbaur dengan masyarakat dan menemukan banyak pelajaran berharga. Salah satunya datang dari kawan baru saya, Andre, seorang mahasiswa akhir jurusan PPKn di Universitas Mulawarman dan asli Dayak Tunjung.

Andre menjelaskan bagaimana masyarakat adat Dayak Tunjung hidup dan menjalankan tradisi nenek moyang mereka. Alam menjadi pusat dari kehidupan sosial, ritual keagamaan, dan kebudayaan mereka. Namun, ia juga menyesalkan, jika alam rusak, maka tradisi yang selama ini dijalankan pun perlahan akan menghilang.

Cerita lain datang dari Pak Albert, salah satu tokoh masyarakat yang awalnya cuek dengan dunia tambang. Namun, ketika tanahnya hendak diambil secara paksa, kesadarannya muncul. Ia mulai menyadari bahwa kehilangan alam bukan hanya berarti kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan tradisi dan jati diri.

Salah satu tradisi yang kini nyaris punah adalah menugal (bahasa Dayak), yaitu kegiatan menanam padi secara gotong royong. Dahulu, anak muda dan orang tua berkumpul di ladang, menanam sambil bercanda dan bergurau. Kini, hanya orang tua yang masih melakukannya, sementara generasi muda lebih memilih bekerja di tambang.

Akibatnya, tradisi perlahan memudar, kerukunan antarwarga mulai renggang, dan alam terus terkikis. Lantas, apakah masyarakat adat akan ikut hilang seiring habisnya hutan? Apakah kita akan diam melihat bumi yang seharusnya kita jaga justru dirusak oleh tangan kita sendiri? Padahal, kita adalah hamba yang diutus untuk menjaga, mengatur, dan memakmurkan bumi ini sebagai makhluk yang sempurna.

Komentar