Status zero attack terrorism kembali disematkan pada Indonesia. Ini karena tidak ada aksi terorisme sepanjang tahun 2024. Namun, di balik itu semua masih ada sejumlah persoalan terkait penanganan terorisme.

Sejumlah Masalah

Di antaranya adalah penanganan para returnee WNI yang selama ini kembali ke pangkuan Indonesia. Mereka masih dianggap menjadi momok yang menyeramkan di masyarakat. Karena itu mantan eks napiter ini tidak diterima karena dikhawatirkan terlibat terorisme kembali atau takut manjadi virus radikal kepada masyarakat.

Kedua, permasalahan lain adalah ketidakpastian dinamika politik global yang terus berkembang di tahun 2025, terutama di Timur Tengah. Ketidakpastian ini menjadi penentu berkembangnya teroris. Para teroris tidak pernah berhenti mengintip suasana politik luar dan terus mencari cara beradaptasi dengan mencari celah di internal dalam negeri.

Meski Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa terorisme bisa diatasi melalui preventive strike, tetapi di lapangan masih banyak teroris liar yang berkeliaran. Adanya teroris liar ini ditandai dengan terjadinya penangkapan dan konten-konten radikal yang terus tersebar di media massa. Karena itu, tantangan terorime 2025 masih mencekam di Indonesia.

Salah satu tantangan nyata di depan kita adalah euforia kelompok radikal atas kemenangan Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di Suriah. Kemenangan HTS atas Bashar al-Assad dianggap kemenangan khilafah yang dijalankan dengan cara jihad kekerasan.

Sudah banyak tokoh radikal yang semangat mengucapkan selamat kepada HTS. Bahkan dalam suatu kesempatan di Tirtonadi, Solo, saya juga bertemu dengan mereka yang mengatakan bahwa Al-Jaulani (pemimpin HTS) menjadi bapak pembaharu gerakan Islam. Mereka menyebutnya sebagai arsitek jihad modern.

Saya khawatir apa yang dilakukan HTS dan Al-Jaulani menjadi inspirasi kelompok radikal untuk menegakkan panji-panji Islam. Bahwa Al-Jaulani menjadi arsitek jihad modern tidak sepenuhnya salah. Tetapi perjuangan jihad Al-Jaulani dibawa ke Indonesia adalah salah kaprah. Meski banyak kritik yang ditumpahkan ke Al-Jaulani-HTS karena bersekongkol dengan Barat, bagi kelompok radikal tidak menjadi masalah. Yang penting bagi mereka jihadnya sukses terpenuhi.

Inilah kekeliruan berlapis yang harus diwaspadai. Jadi, kemenangan HTS bukan saja mengubah peta geopolitik global, tetapi juga mengubah dinamika gerakan terorisme di Indonesia. Menurut saya, dalam penegakan terorisme ada banyak yang perlu disyukuri seperti zero attack terrorism, tetapi ada juga yang harus diantisipasi bersama.

Ketiga, selain tantangan para returnee dan euforia kelompok radikal, masih ada lagi sebenarnya yang harus kita lihat secara teliti, yakni euforia kelompok HTI yang akan menyelenggarakan peringatan keruntuhan khilafah internasional oleh Hizbut Tahrir di Kanada. Peringatan ini tidak menutup kemungkinan HTI di Indonesia juga akan mengadakan event serupa. Hal ini menjadi tantangan bersama, sebab acara tersebut akan menjadi momentum untuk menguatkan soliditas dan semangat kelompok HTI.

Memperkuat Multisektoral

Lalu apa yang perlu segara kita lakukan? Salah satunya memastikan bahwa kekuatan kita melampaui kekuatan para kelompok radikal. Salama ini, teroris selalu selangkah lebih maju daripada kita, baik dari tingkat strategi maupun dari cara mereka menghindar dari proteksi keamanan.

Program deradikalisasi dan kontra terorisme perlu diperlebar lagi. Jika selama ini para returnee masih dianggap “masalah” di masyarakat, saatnya mereka dibina secara moderat agar bisa diterima oleh masyarakat secara luas. Polisi sudah membagi mereka menjadi zona klaster, dari klaster merah, kuning hingga hijau. Pada klaster hijau inilah harapan returnees menjadi contoh teladan di masyarakat karena kembali menjadi masyarakat Pancasila.

Selain itu, kita harus memperkuat multisektoral untuk menjaga zero attack terrorism. Pelibatan semua pihak dalam penanganan terorisme 2025 sangat urgent untuk memastikan semua lini aman.

Kolaborasi multisektoral seperti kerja bersama antara pemerintah dan swasta, publik dan masyarakat dalam satu basis pendekatan terpadu akan bisa memecahkan masalah krusial teroris. Jika strategi multisektoral ini terus diperkuat maka zero attack terrorism masih akan menjadi predikat untuk Indonesia

Komentar