Buku A Scholar in the Shadow (2010) dibuka dengan sebuah observasi empiris yang tajam: di tengah maraknya penjualan buku Muslim kontemporer, karya-karya Syams al-Dīn Muḥammad ibn Abī Bakr, yang lebih dikenal sebagai Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), hadir secara masif dan persisten.

Dari edisi dengan sampul berwarna-warni hingga cetakan monokromatik yang lebih serius, kehadiran karyanya di lapak-lapak pedagang buku mengarah pada satu kesimpulan, buku karya Ibn al-Qayyim dijamin laris manis di pasaran.

Popularitas fenomenal ini bukanlah tanpa sebab. Analisis dalam pengantar buku ini mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang menjelaskan daya tarik massa terhadap pemikiran Ibn al-Qayyim:

Aksesibilitas Intelektual

Jika dibandingkan dengan gurunya yang vokal dan polemis, Ibn Taimiyyah (w. 728/1328), tulisan-tulisan Ibn al-Qayyim dianggap “kurang menantang” untuk dibaca. Meskipun mengandung polemik dan kehalusan linguistik yang tinggi, karyanya secara umum memiliki nada yang “kurang agresif” dan bahasa yang “lebih mudah diakses”.

Nuansa Spiritual

Gayanya yang tenang dan terkadang didaktik mampu memberikan keteduhan bagi pembaca modern yang mencari bimbingan spiritual. Karyanya tidak hanya berisi argumen teologis yang kaku, tetapi juga nasihat-nasihat yang menyentuh kalbu.

Relevansi Praktis

Salah satu ciri paling menonjol dari karya-karya Ibn al-Qayyim adalah perhatiannya yang luar biasa terhadap berbagai aspek kehidupan sehari-hari, yang ia yakini harus dijalankan dengan kepatuhan pada ajaran Nabi Muhammad. Sikap ini termanifestasi dalam karya-karya praktis yang menyasar berbagai lapisan masyarakat.

Tuḥfat al-mawdūd fī aḥkām al-mawlūd, misalnya, adalah sebuah buku panduan komprehensif tentang perawatan-pengasuhan bayi dan anak. al-Furūsiyyah adalah risalah tentang seni berkuda yang tidak hanya membahas aspek teknis dan militer tetapi juga dimensi spiritualnya, yang ditujukan bagi elite penguasa Mamluk. Sementara itu, Zād al-ma‘ād fī hady khayr al-‘ibād menjadi panduan hidup monumental yang merangkai materi Sīrah dan Hadis untuk memberikan pedoman praktis bagi kaum beriman.

Sintesis Salafi-Sufi

Daya tariknya yang kuat bagi Muslim kontemporer juga terletak pada kemampuannya untuk meramu konten Salafi dengan minat moral yang mendalam dalam menelusuri jalan spiritualitas Sufi yang berorientasi tradisionalis. Ia menawarkan sebuah jalan spiritual yang berakar kuat pada tradisi para al-salaf al-ṣāliḥ tanpa harus tercerabut dari dimensi spiritualitas batiniah.

Kualitas-kualitas inilah yang secara efektif menjadikan Ibn al-Qayyim sebagai penyaring dan marketing handal bagi doktrin Ibn Taimiyyah. Ia mengambil gagasan-gagasan radikal dan kompleks dari gurunya, kemudian menyajikannya kembali dalam format yang lebih sistematis, didaktik, dan mudah dicerna oleh audiens yang lebih luas. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai jembatan intelektual yang membuat pemikiran Ibn Taimiyyah yang seringkali sulit dan polemis menjadi lebih menarik dan relevan bagi Muslim awam, baik pada masanya maupun di era modern.

Dalam Bayang-Bayang Ibn Taimiyyah

Ironisnya, kualitas yang sama yang membuatnya begitu populer di pasar massa justru menjadi salah satu penyebab marginalisasi dirinya dalam dunia akademis (khususnya Barat). Buku ini mendiagnosis Ibn al-Qayyim sebagai seorang a scholar in the shadow, sebuah status yang lahir dari beberapa faktor.

Meskipun karya-karyanya seperti I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn (sebuah kompendium prinsip fiqh), Aḥkām Ahl al-Ẓimmah (referensi utama tentang hukum minoritas non-Muslim), dan Madārij al-Sālikīn (maqāmat-aḥwāl Sufi) diakui sebagai karya yang unik dan monumental, korpus sastranya secara keseluruhan “tetap hampir belum dijelajahi” oleh para sarjana Barat. Alasan-alasan utama untuk ‘pengabaian’ ini meliputi:

Dominasi Figur Ibn Taimiyyah

Alasan paling signifikan adalah posisinya yang selalu berada di bawah bayang-bayang gurunya. Kontribusinya seringkali direduksi menjadi sekadar karya seorang “murid yang rajin,” sebuah pandangan yang secara implisit menafikan orisinalitasnya dan membuatnya dianggap tidak layak untuk penelitian ilmiah yang mendalam. Sosok Ibn Taimiyyah yang eksentrik, karismatik, orisinal, dan menawan, ditambah dengan volume tulisannya yang luar biasa besar, membuat profil Ibn al-Qayyim yang lebih lembut dan sistematis tampak “membosankan” (dull) di mata para peneliti.

Hambatan Bahasa dan Gaya Tulisan

Penggunaan bahasa Arab yang rumit dan sangat teknis, serta kutipan-kutipan ekstensif dari Al-Qur’an dan Hadis, menjadi penghalang akses bagi sebagian sarjana Barat. Namun, argumen ini tidak sepenuhnya memuaskan, mengingat Ibn Taimiyyah sendiri bukanlah penulis yang mudah diakses bahasanya.

Prasyarat Spiritual

Buku ini juga mengisyaratkan bahwa untuk dapat mengapresiasi kedalaman pemikiran Ibn al-Qayyim, diperlukan “kecenderungan tertentu terhadap aspek spiritual dalam Islam” (devoted piety), sebuah prasyarat yang mungkin tidak dimiliki oleh semua peneliti akademis sekuler.

Paradoks ini; popularitas di masyarakat awam dan marginalitas di dunia akademi, bukanlah sebuah kebetulan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Kualitas yang membuatnya tampak kurang orisinal di mata akademisi yang mencari pemikir revolusioner adalah kualitas yang sama yang membuatnya menjadi sumber bimbingan yang dihargai oleh jutaan Muslim di seluruh dunia.

Peta Jalan Penelitian Kontemporer

Buku ini memberikan peta jalan penelitian kontemporer tentang Ibn al-Qayyim, yang direpresentasikan oleh kontribusi-kontribusi dalam buku ini. Pembagian tematik buku ini; Masyarakat dan Hukum, Tuhan dan Manusia, serta Tubuh dan Jiwa, secara implisit mencerminkan proyek intelektual holistik Ibn al-Qayyim: sebuah upaya untuk mengintegrasikan semua aspek kehidupan manusia di bawah satu kerangka wahyu yang komprehensif.

Masyarakat dan Hukum (Society and Law)

Bagian ini menyoroti kelangkaan studi Barat tentang teori hukum Ibn al-Qayyim. Kontribusi dalam buku ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut. Birgit Krawietz menyajikan analisis sistematis pertama terhadap I‘lām al-Muwaqqi‘īn, yang ia definisikan sebagai karya hibrida inovatif antara genre adab al-muftī (etika pemberi fatwa) dan uṣūl al-fiqh. Yehoshua Frenkel menganalisis visi utopis Ibn al-Qayyim tentang masyarakat yang dipimpin oleh ulama, sebagaimana tercermin dalam Zād al-Ma‘ād. Sementara itu, David Freidenreich mengkaji Aḥkām ahl al-Ẓimmah melalui studi kasus tentang hukum daging sembelihan non-Muslim, yang secara tajam menunjukkan bagaimana premis-premis teologis membentuk putusan-putusan hukumnya.

Tuhan dan Manusia (God and Man)

Mencatat pengabaian historis terhadap teologi Ḥanbalī, bagian ini menampilkan studi-studi yang menggali kedalaman pemikiran teologis dan spiritual Ibn al-Qayyim. Jon Hoover menganalisis teodisi (keadilan Tuhan) dalam Syifā’ al-‘Alīlmelalui pertanyaan tentang hikmah di balik penciptaan Iblis. Yasir Qadhi dan Abdessamad Belhaj bersama-sama mengkaji magnum opus polemis al-Ṣawā‘iq al-Mursalah, dengan fokus pada teori hermeneutika dan kritik tajamnya terhadap penggunaan majāz (makna kiasan) dalam teologi. Terakhir, Ovamir Anjum meneliti sifat spiritualitas non-mistik Ibn al-Qayyim dalam komentarnya yang monumental terhadap manual Sufi, Madārij al-sālikīn.

Tubuh dan Jiwa (Body and Soul)

Bagian terakhir ini berfokus pada karya-karya yang telah menerima beberapa perhatian sebelumnya, namun dengan pendekatan baru. Irmeli Perho menganalisis al-Ṭibb al-Nabawī, menyoroti sintesis unik Ibn al-Qayyim antara tradisi pengobatan Galenik yang rasional dan pengobatan kenabian yang berbasis wahyu, menciptakan sebuah pendekatan holistik terhadap kesehatan.

Tzvi Langermann dan Geneviève Gobillot memberikan dua perspektif yang berbeda namun saling melengkapi tentang Kitāb al-Rūḥ. Langermann melihatnya sebagai contoh “naturalisasi ilmu pengetahuan” di mana pengetahuan ilmiah Yunani diintegrasikan ke dalam kerangka Islam tradisionalis. Gobillot, di sisi lain, menganalisis secara mendalam pandangannya tentang rūḥ dan nafs dalam kaitannya dengan doktrin teologis seperti takdir dan pengaruh mistisisme dari pemikir seperti al-Ḥakīm al-Tirmiżī.

Keterkaitan yang ditunjukkan oleh para kontributor; antara teologi dan hukum, retorika dan akidah, spiritualitas dan kesehatan fisik, menegaskan bahwa pemisahan modern antara disiplin-disiplin ilmu ini asing bagi pandangan dunia Ibn al-Qayyim yang terintegrasi.

Epilog

Buku A Scholar in the Shadow ini lebih dari sekadar kompilasi biografi dan pemikiran. Ia adalah sebuah manifesto metodologis yang kuat, yang menyerukan re-evaluasi total terhadap posisi Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam sejarah pemikiran Islam.

Tesis utama yang diusung adalah bahwa Ibn al-Qayyim harus dipahami bukan sebagai bayangan gurunya, tetapi sebagai sebuah lensa atau prisma. Ia adalah figur sentral yang melaluinya warisan Ibn Taymiyyah yang luas, kuat, dan terkadang mentah, difokuskan, disempurnakan, disistematisasi, dan pada akhirnya ditransmisikan secara efektif ke generasi-generasi berikutnya dan ke audiens yang lebih luas. Perannya bukanlah sekadar sebagai penyalin, melainkan sebagai seorang arsitek intelektual yang membangun struktur-struktur argumen yang koheren dari fondasi yang diletakkan oleh gurunya.

Dengan demikian, buku ini menetapkan agenda yang jelas untuk penelitian masa depan. Ia mendorong para sarjana untuk meninggalkan dikotomi yang tidak produktif antara orisinalitas dan ketergantungan, dan sebaliknya mengadopsi pendekatan intertekstual yang lebih bernuansa. Ini adalah seruan untuk menganalisis kreativitas sastranya, melacak dialognya dengan beragam sumber intelektual, dan menelusuri pengaruhnya yang berkelanjutan hingga ke era modern.

Tulisan ini ditutup dengan penegasan bahwa memahami Ibn Qayyim al-Jawziyyah secara mendalam bukan hanya kunci untuk memahami pemikiran Ḥanbalī pasca-klasik, tetapi juga esensial untuk memetakan asal-usul dan perkembangan banyak aliran pemikiran Islam Salafi kontemporer yang membentuk wacana keagamaan saat ini. Mengeluarkannya dari bayang-bayang bukan hanya soal keadilan historis, tetapi juga sebuah keharusan analitis.

Wallāh A‘lam bi al-Ṣawāb.

Komentar