Keadaan mulai membaik, virus corona sudah mulai diambang kehancuran, namun alih-alih bisa hidup dengan tenang, masyarakat Indonesia dihujani dengan gemparnya berbagai harga kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan yang lain yang melambung tinggi. Entah persoalan apa yang sedang terjadi dinegeri ini. Rasa-rasanya transparansi perekonomian di Indonesia perlu dipertanyakan. Rakyat kecil terus dipertaruhkan, perusahaan besar terus menggerus kekayaan, pemeritah tidak segera ambil kebijakan, entahlah bulan Ramadan yang katanya penuh keberkahan tapi nyatanya rakyat kecil penuh dengan kesengsaraan.

Keresahan yang dialami masyarakat mengenai harga kebutuhan rumah tangga atau bahan pokok yang melambung tinggi salah satunya ialah kenaikan harga minyak goreng, memang kenaikan harga minyak goreng bukanlah isu yang baru di bulan Ramadan, namun nyatanya hal tersebut masih terus menjadi permasalahan. Pasalnya Sebagian besar sajian buka di bulan Ramadan yakni makanan yang serba digoreng. Tidak dapat dipungkiri keterpikatan masyarakat dengan makanan yang digoreng masih menjadi sajian wajib di bulan Ramadan.

Pernah terdapat meme lucu yang menggelitik untuk dilihat dan didengar. Meme yang menganai pengurangan makanan digoreng dengan makanan direbus. Lucu memang tapi sebenarnya ada benarnya. Minyak goreng yang tinggi akan kandungan kolestrol tersebut, jika seandainya makanan yang digoreng terus menerus dikonsumsi akan mengakibatkan tingginya kandungan korestrol pada tubuh dan hal tersebut tidak baik untuk kesehatan. Apalagi di bulan Ramadan saat ini, makanan yang digoreng tercecer dimana-mana.

Membicarakan soal makanan digoreng, salah satu sajian wajib di bulan Ramadan yakni gorengan. Gorengan menjadi salah satu makanan yang digoreng yang eksistensinya tak pernah lekang oleh waktu. Harga minyak yang tinggi mungkin bukan menjadi alasan pedagang gorengan tidak lagi menjual gorengan tapi akan menjadi alasan kenaikan harga gorengannya. Apakah hal tersebut juga akan menjadi alasan masyarakat tidak membeli? Tentunya tidak, gorengan tetap akan menjadi sajian buka puasa yang tersaji dimeja dengan minuman penghilang dahaga. Bahkan tidak butuh waktu lama bagi pedagang gorengan untuk menanti gorengannya ludes di beli oleh pelanggannya.

Meresahkan harga minyak goreng yang tinggi tapi tidak mengurangi pemakaiannya dalam menyajikan menu buka puasa, memang masyarakat, perusahaan, dan pemerintah sama-sama egois. Jika terus menurus harga minyak goreng tinggi dan terjadinya kelangkaan barang, apakah masyarakat akan mengkonsumsi gorengan? Pertanyaan yang menjadi teka-teki di bulan Ramadan dan setelah Ramadan.

Bulan Ramadan semakin mencekam jika minyak goreng langka dan jika adapun masyarakat harus membelinya dengan harga yang tinggi. Tentu itu akan menjadi permasalahan yang meresahkan. Seharusnya masyarakat dapat memahami kondisi tersebut, jika harga tinggi dan kelangkaan terjadi maka konsumsi dikurangi. Bukan dilarang untuk mengkonsumsi hanya saja mengurangi agar permasalahan yang lebih parah tidak terjadi. Entah ini permainan para tikus-tikus nakal yang ingin merauk keuntungan atau memang keadaan dilapangan kekurangan bahan baku untuk dilakukan pengolahan.

Pernah terdengar isu bahwa tingginya harga minyak goreng karena tidak tersedianya bahan baku pengolahan. Terdengar lucu sebab Indonesia sendiri penghasil sawit terbesar di dunia. Permainan apa yang sedang terjadi mungkin kita lihat saja ending dari permaslahan yang menggemparkan ini. Semangat menanti buka puasa dan jangan lupa kurangi konsumsi gorengan sebab minyak goreng mahal.

*Tulisan ini merupakan kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan media Islam Santun.

Deny Marita Wijayanti, Mahasiswa prodi Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta. Dia salah satu pegiat literasi di Unit Kegiatan Mahasiswa LPM Dinamika.

Komentar