Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang berbeda. Lingkungan hadir tanpa aspek rohani (kejiwaan) dan berkembang secara alamiah. Manusia hadir bagian dari alam dengan memiliki (by design) aspek rohani, free will (kehendak bebas), dan ikhtiar (daya upaya). Sehingga, relasi manusia tidak saja bersifat horizontal tetapi juga relasi yang bersifat vertikal. Gerakan horizontal manusia adalah relasi manusia dengan diri sendiri, manusia dengan sesama, dan dengan alam. Relasi manusia dengan Tuhan disebut sebagai gerakan vertikal.

Henry David Thoreau dalam bukunya The Making of Walden, 1957, mengkritik cara pandang terhadap alam bahwa manusia (petani) adalah “perampok”. Alam hanya dipandang oleh petani sebagai sarana memperoleh properti. Manusia egois dan serakah terhadap alam sehingga merendahkan alam dan mengolah tanah hanya untuk mendapatkan keuntungan darinya.

Thoreau dalam buku Natural History of Massachusetts, 1842, melihat dan membaca fenomena alam dengan kegembiraan. Dia menceritakan keindahan alam ketika melihat magnolia (marga tumbuhan dengan bunga indah), migrasi burung, melihat Florida Keys (kepulauan pulau karang di lepas pantai selatan Florida), pecahnya musim salju, dan mencairnya salju.

Manusia dipandang telah melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam oleh Arne Naess, dalam “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary”, 1973. Manusia menganggap dirinya adalah subjek penguasa alam (antroposentrisme) dan alam sebagai objek yang harus dikuasai (eksploitasi) oleh manusia.

Antroposentrisme dan eksploitasi alam sering disebut sebagai titik awal kerusakan alam saat ini. Eksploitasi alam ini bukan saja merugikan alam namun menyebabkan penderitaan kepada manusia itu sendiri. Penderitaan tersebut terjadi karena manusia dan alam selalu berhubungan. Manusia membutuhkan alam dan perilaku manusia mempengaruhi alam.

Menurut bacaan di atas, manusia dan alam adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Padahal alam dan manusia hakikatnya tidak dapat dipisahkan, manusia adalah bagian kecil dari alam, seperti yang diungkapkan oleh Timothy Morton dalam buku “Dark Ecology: For a Logic of Future Coexistence”, 2016. Walaupun pada akhirnya, kebersamaan dan hubungan manusia dengan alam lebih banyak menimbulkan dampak negatif terhadap alam.

Perlu diakui bahwa hubungan manusia dan alam tidak selamanya positif, ambigu, dan kompleks. Manusia harus menerima realitas bahwa kondisi alam tidak selalu berkontribusi positif kepada manusia. Bencana gunung merapi akan menimbulkan kerugian material atau finansial tetapi sekaligus akan memberikan kontribusi positif. Letusan gunung berapi menghasilkan material vulkanik dapat digunakan dalam kontruksi sebagai pasir, kesuburan tanah untuk pertanian, kesediaan sumber daya mineral, potensi energi panas buku, dan muncul potensi tempat wisata.

Manusia sebagai Sahabat Alam

Naess menegaskan dalam buku Ecology, Community and Lifestyle bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Problem lingkungan hanya dapat diselesaikan oleh manusia dengan mengalahkan ego manusia itu sendiri. Manusia membutuhkan sistem etika untuk memahami dunia, nilai dalam kehidupan dan alam serta prinsip-prinsip ekologi yang mendalam untuk menyelamatkan lingkungan.

Penanganan lingkungan membutuhkan ekosofi atau filsafat yang menekankan keselarasan ekologis antara manusia, alam, dan spiritualitas. Naess menyarankan bahwa perlu tindakan kolektif agar terjaga keanekaragaman hayati, keberlangsungan manusia dan alam serta penanganan isu-isu lingkungan.

Penyair besar dari Italia Abad Pertengahan, Dante Alighieri (1265-1321) dengan karya besarnya “The Divine Comedy” (Komedi Ilahi), mengatakan “Nature is the art of God” (Alam adalah seni Tuhan). Manusia dan alam bukan saja hubungan kausalitas semata, namun juga hubungan moral dan spiritual.

Semua kitab suci dari agama apapun selalu mengajak manusia menjaga alam karena menjaga alam bagian dari kebaikan semua agama. Dalam kitab suci Al-Qur’an, misalnya, malaikat sempat mempertanyakan tujuan Allah (Tuhan) ketika manusia hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.

Manusia dikhawatirkan menjadi perusak bumi. Kekhawatiran ini diabadikan di dalam Al-Qur’an dan dijawab Allah bahwa sebagai Tuhan, Dia Maha Tahu terhadap semua ciptaan-Nya dan apa yang terjadi di masa mendatang. Ini menunjukkan bahwa alam selalu dipandang penting secara spiritual dan moral karena kerusakan alam hakikatnya merugikan manusia itu sendiri.

Agama Islam memandang bahwa alam adalah ayat-ayat kauniyah yang dapat diambil pelajaran atau hikmah darinya (i’tibar). Manusia melihat alam bukan hanya karena kebutuhan dan ego semata. Tetapi, alam harus dipandang sebagai bukti ciptaan Tuhan dan manusia harus memahaminya.

Mengapa demikian? Alam dengan segala dimensinya harus dipahami dengan baik agar manusia tidak salah dalam mengambil manfaat (intifa’) darinya. Manusia harus paham batas pemanfaatan alam agar tidak terjadi eksploitasi alam secara berlebihan. Sehingga, apabila sebelum atau sesudah kerusakan alam terjadi maka harus segera diupayakan dan tindakan perbaikan kepada alam (islah) agar alam tidak rusak.

Jadi, manusia adalah bagian dari alam dan harus bersahabat dengan alam. Pengelolaan lingkungan mempengaruhi keseimbangan ekosistem alam dan kelangsungan hidup manusia dan alam itu sendiri.

Tugas menjaga dan bersahabat dengan alam bukan hal yang mudah tetapi tetap harus tetap diupayakan dengan kerja keras dalam waktu yang relatif lama (asra’u at-Thariq li al-ghayah tuulu az-zaman fi al jiddah). Penghijauan, pembuatan kawasan lindung, pengelolaan sampah, pengurangan penggunaan plastik, dan penghematan air merupakan ikhtiar yang tetap harus dilakukan.

Komentar