Islamsantun.org. Ramadhan telah berlalu. Hikmah menunaikan ibadah puasa bagi umat Muslim sudah tampak, apakah membawa seseorang pada peningkatan ketakwaan atau justru sebaliknya. Bagi setiap Muslim, hikmah Ramadhan memang tidak sama: tergantung seberapa besar upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan selama berpuasa. Sebagai ibadah eksoterik dan esoteris sekaligus, puasa berbeda dengan ibadah lainnya. Namun, bagaimana makna puasa dalam tradisi ulama sufi?
Buku berjudul “Puasa Sufistik: Mereguk Pesan-pesan Batin Ibadah Puasa” karya Darmawan merupakan buku yang pas untuk memahami itu. Buku setebal 125 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Nuralwala tersebut membahas makna puasa dalam perspektif sufisme sekaligus refleksi tiga belas tokoh sufi ihwal puasa itu sendiri. Buku ini menjadi semacam oase spiritual di tengah gurun materialisme-pragmatisme; rekonstruksi makna puasa yang memahaminya adalah niscaya.
Buku ini terdiri dari tiga bab utama. Pertama, selayang pandang tasawuf. Diskursus ketasawufan diulas di bagian ini, mencakup definisi kaum sufi, Al-Qur’an dan sufisme, harmonisasi syariat-eksoterik dengan hakikat-esoteris, hingga dinamika tasawuf masyarakat urban. Dalam konteks urgensi bahasan, penulis—yang merupakan dosen di STAI Sadra Jakarta—mencoba membuat gambaran kepada pembaca mengapa tasawuf itu penting, dan mengapa tradisi mereka laik jadi teladan bersama.
Kedua, makna puasa. Bagian ini semacam penegasan penulis tentang puasa yang ia maksud dalam judul buku. Bagian ini mengulas makna, fungsi, dan manfaat puasa, juga secara spesifik menelusuri makna puasa Ramadhan—yang baru saja berlalu. Ketiga, makna puasa dalam tradisi ulama sufi. Ini bagian terpenting dari keseluruhan bahasan penulis. Pada bagian ini, puasa sufistik terjabarkan melalui berbagai definisi reflektif para ulama sufi sesuai pengalaman spiritual mereka.
Tentu saja, makna puasa dalam tradisi ulama sufi mudah ditebak, yaitu hakikat-oriented. Dengan kata lain, puasa terdefinisikan tidak sebagai ajaran syariat an sich, melainkan sebagai ajaran akhlak; dimensi Islam selain syariat dan akidah. Namun justru itulah bagian terpentingnya. Buku Puasa Sufistik mencoba telaah puasa melalui dimensi syariat dan hakikat sekaligus: sebuah seni penghambaan kepada Tuhan yang teraliensi masifnya modernitas di satu sisi dan defisit kebatinan di sisi lainnya.
Puasa Sufistik
Puasa adalah ibadah yang multidimensi. Demikian premis yang Darmawan bangun dalam bukunya, dengan menekankan bahwa aspek esoteris puasa cukup kompleks. Hal pertama yang ia uraikan adalah bagaimana Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi kaum sufi. Faktanya, diskursus tasawuf sering kali diperdebatkan dan dianggap bid’ah, terutama oleh kalangan Wahabi. Uraian tersebut menjadi argumentasi bahwa antara kaum sufi dan Al-Qur’an, relasinya, kuat sekali.
Namun, tasawuf tipe mabuk (sukr, intoxication) berbeda secara diametral dengan tasawuf tipe tidak mabuk (sahw, sobriety). Padahal, syariat adalah tangga untuk sampai pada hakikat, sehingga antara dua tipikal tersebut harus diketengahi sebagai sesuatu yang saling melengkapi dan harus diperlakukan secara seimbang. Artinya, tasawuf yang ideal menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat (hlm. 15). Tasawuf yang demikian merupakan landasan puasa sufistik.
Lalu bagaimana puasa yang dimaksud? Yaitu mencakup puasa wajib di bulan Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa sunah. Puasa merupakan ibadah yang diajarkan setiap agama, yang berfungsi agar manusia bertakwa; menjadi pribadi yang merasakan kehadiran Allah Swt setiap saat (hlm. 40). Pada intinya, Darmawan hendak menegaskan bahwa setiap puasa mengandung dimensi transendental; tak hanya menahan makan-minum dan sekelumit hawa nafsu, melainkan jalan menuju musyahadah (hlm. 41).
Dengan demikian, puasa sufistik yang Darmawan maksud dalam buku ini mencakup dua pengertian. Pertama, puasa sebagai ibadah eksoterik-esoteris. Dalam konteks ini, puasa dipersepsikan sebagai ibadah yang sejak semula mengandung dua dimensi sekaligus: syariat dan hakikat. Kedua, puasa dalam tradisi ulama sufi. Dalam konteks ini, puasa sufistik saling berkaitan dengan pengalaman subjektif sang sufi, sehingga setiap ulama sufi memiliki refleksi esoteris yang berbeda-beda.
Sufi Bicara Puasa
Buku Puasa Sufistik, penting untuk dicatat, tidak mendikotomi puasa syariat dan hakikat. Dua pengertian puasa sufistik tadi justru berkelindan; bahwa ulama sufi yang memang ahli tirakat, ahli riyadhah, dan ahli puasa, memiliki pengalaman spiritual beragam yang mempertegas desain eksoterik-esoteris puasa itu sendiri. Sahal al-Tustari, misalnya, yang memaknai puasa sebagai metode tirakat persiapan diri (isti’dad) untuk menerima cahaya ilmu dan hikmah dari Allah Swt (hlm. 49).
Refleksi subjektif al-Tustari tersebut memiliki kesamaan dengan Ali bin Utsman al-Hujwiri yang menganggap puasa memuat seluruh metode tasawuf, Jalaluddin Rumi yang menganggap puasa sebagai wasilah menyambut hidangan langit, atau Syihabuddin Yahya Suhrawardi yang mendefinisikan puasa sebagai wasilah menyerap pengetahuan. Puasa, dalam pembicaraan empat sufi tersebut, adalah perantara untuk mencapai suatu tujuan: ilmu dan kebijaksanaan dari Allah Swt.
Begitu pula, bagaimana Abu Hamid al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, juga Kiai Soleh Darat mengorientasikan puasa sebagai ibadah yang meniscayakan keterlibatan batiniah pelakunya memiliki kemiripan pengalaman subjektif mereka sebagai sufi. Tentu saja mereka, para ulama sufi, tidak memaksakan tradisi spiritualnya kepada umat Islam secara umum, melainkan sebatas penegasan bahwa puasa lahiriah tidaklah cukup; tidak mencapai inti penghambaan, dan bahkan sangat jauh dari makna puasa yang sejati.
Uraian Darmawan tentang makna puasa dalam tradisi ulama sufi cukup apik, terlebih ketika ia menutup dengan pembahasan puasa bicara sebagai ibadah puasa yang terlupakan (hlm. 109). Dalam konteks puasa yang terakhir ini, puasa sufistik menemukan relevansinya yang kompleks. Puasa bicara benar-benar menjadi representasi dari dimensi esoteris puasa, karena tidak diproyeksikan sebagai upaya menahan makan minum, melainkan permenungan dan kontemplasi diri (hlm. 114).
Namun demikian, tentu saja setiap karya memiliki kelemahan, termasuk buku Puasa Sufistik: Mereguk Pesan-pesan Batin Ibadah Puasa. Penulisan yang kurang sistematis, misalnya, yang cenderung membuat pembahasan dalam buku ini melompat-lompat. Karena judulnya Puasa Sufistik, seharusnya uraian tentang puasa ada di bab sebelum uraian tentang tasawuf. Begitu pula di bab puasa, baiknya uraian tentang puasa diletakkan sebelum uraian tentan Ramadhan.
Tetapi itu semua tidak mengurangi substansi, sebatas konsekuensi logis dari statusnya sebagai buku antologi penulis: kumpulan catatan diskusi serial artikel Ramadhan di portal Nuralwala.id. Keistimewaan buku ini terletak pada pembahasannya yang bernas, dari intelektual muda yang concern dalam kajian tasawuf. Dan yang pasti, buku ini tidak hanya sangat tepat untuk menelaah makna puasa dalam tradisi ulama sufi, melainkan juga sebagai literatur refleksi diri pasca-Ramadhan: sudah tepatkah puasa kita, sudah diterimakah, dan sudahkah ia membawa batin kita menuju ketakwaan pada Dzat Yang Mahasejati?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Identitas Buku
Judul Buku : Puasa Sufistik: Mereguk Pesan-pesan Batin Ibadah Puasa
Penulis : Darmawan, M.Ag
Penerbit : Penerbit Nuralwala
Kota Terbit : Depok
Tahun Terbit : Maret 2022
Tebak Buku : xviii + 125 Halaman
ISBN : 978-623-96104-2-5