Kearifan Lokal (lokal wisdom) yang gaung ramai dalam sosial budaya dan ekonomi pemberdayaan, sering terdengar dalam konteks survivel of the fittest, sebagai dialektika masyarakat tradisional dalam mengikuti alur kehidupan modernitas. Secara Terminologi, istilah Kearifan lokal adalah bentuk pengetahuan, kebijaksanaan, dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu komunitas lokal, yang mencakup pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan, dan praktik masyarakat dalam menghadapi dan memenuhi kebutuhan hidupnya serta beradaptasi dengan lingkungan.
Contoh Kearifan Lokal di Indonesia adalah, Hutan Larangan Adat (Riau):Aturan adat yang mengatur penggunaan hutan agar tidak dirusak. Awig-Awig (Lombok dan Bali):Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. Hukum Sasi (Maluku):Sistem pengaturan kegiatan masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber daya alam di laut. Pendopo dalam Arsitektur Jawa:Konsep ruang terbuka yang menjamin ventilasi dan sirkulasi udara lancar, menunjukkan keselarasan dengan alam. Gotong Royong:Nilai solidaritas dan kerja sama yang mendalam dalam masyarakat. Dan juga Masyarakat Sunda Wiwitan, seperti Badui, Cigugur, Kampung Naga di Jawa Barat dan Banten yang menjaga alam tetap Lestari.
Terkadang dalam prakteknya, Komunitas Kearifan lokal juga mampu bersifat adaptif, mampu menyerap dan mengolah unsur budaya asing, serta menjadi identitas dan pedoman hidup masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Sehingga, sangat wajar, masyarkat Kearifan Lokal mampu bertahan hingga hari ini. Adapun hal yang paling utama dapat bertahan hingga sekarang adalah, kemampuan menjaga keseimbangan alam dengan membentuk identitas kepribadian diri dan komunitas atau budaya yang teraplikasi dalam ruang pengelolaan ketahanan pangan.
Artinya, kearifan lokal sedikit banyaknya mengaplikaskan pola nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-hari walau dalam level sederhana, dimana makna kecukupan dan tidak berlebihan menjadi dasar dalam melakukan sirkulasi barang dan jasa, serta pemanfaatan sumber daya alam. Prinsip berkecukupan ini pada dasarnya ada dua makna historis, satu kecukupan hari ini, dan kedua kecukupan hari esok dalam bentuk swasembada pangan.
Atas dasar inilah, tema tersebut di atas, akan membawa sebuah Analisa Ekonomi Keseimbangan terkait konsep ekonomi dalam Masyarakat Sunda Wiwitan, lalu siapa itu Sunda Wiwitan? Seberapa pentingkah kita meneladani konsep ekonomi mereka?
Sunda Wiwitan, sebuah Role Model
Isitilah Wiwitan yang berada pada Sunda Wiwitan berarti asal atau mula yang dibesarkan dalam tradisi Masyarakat Sunda.
Sunda Wiwitan itu siapa? Pertanyaan ini tidak mengerucut pada satu budaya yang ada di Provinsi Jawa Barat, Sunda Wiwitan diambil dari masa lalu Sunda, yang ajarannya diajarkan oleh para tetua yang memerintahkan penerusnya untuk melanjutkannya. Sunda Wiwitan diklasifikasikan sebagai agama kuno karena kedalaman alam dan pemujaan kepada Sang Hyang, Sang Hyang pada perlindungan sosial, dalam kehidupan sehari- hari, upacara dan perayaan. Juga Sang Hyang Untuk membantu masyarakat mengatasi keadaan untuk kehidupan yang lebih baik dan untuk berkah dalam aktivitas sehari hari,
Dengan kata lain, Sunda Wiwitan adalah agama atau aliran paling awal yang dianut masyarakat Sunda sebelum masuknya agama lain seperti Islam, protestan, khatolik, dan Hindu, Buddha. Kepercayaan ini masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat Sunda hingga saat ini. Sunda Wiwitan unik karena memadukan unsur animisme, vitalisme, politeisme, dan monisme. (Saputra, 2017).
Kemudian, bagaimana ruang aktifitas ekonominya? Apakah bisa dijadikan semangat keteladanan dalam Pembangunan? Ini yang sangat menarik!
Memang tidak presisi bila mensandingkan market, saham, perbankan, SBN, Spread Keuntungan, hegemoni modal, Investasi, financial engineering, fiskal, moneter dan sebagainya. Tentu saja istilah-istilah itu hanya didapat dalam ruang kehidupan ekonomi modern. Persoalannya, apakah tidak memaksakan sebuah analogi tersebut dengan konsep ekonomi Masyarakat kearifan lokal, seperti komunitas Sunda Wiwitan.
Konsep ekonomi dalam Sunda Wiwitan tidak didasarkan pada ekonomi modern, melainkan pada prinsip menjaga keseimbangan alam dan harmoni sosial budaya. Sunda Wiwitan sebagai kearifan Lokal dapat kita telusuri di Kanekes, Lebak Banten (Masyarakat Baduy); Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul; Kasepuhan Ciptagelar Cisolok Sukabumi; Kampung Naga Cirebon; Cigugur Kuningan; Desa Adat Cireundeu, Leuwigajah Kota Cimahi, Desa Susuru Ciamis, Desa Pasir Garut, dan Kabupaten Bogor.
Bilamana kita manusia modern bisa meneladani kearifan lokal dalam Masyarakat Sunda Wiwitan?
Secara sederhana, Sunda Wiwitan menganut paham yang terwujud dalam aktivitas pertanian dan tradisi yang berlandaskan pada penghormatan terhadap alam dan leluhur, keseimbangan alam dan kehidupan, dan bukan pada akumulasi kekayaan, harta dan jabatan. Fokus Mereka pada intinya adalah pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan secara bersama-sama dan menjaga kelestarian lingkungan, sehingga roda ekonomi dalam komunitas tersebut tersirkulasi dengan efektif.
Mengail Keteladanan Ekonomi Kehidupan Sunda Wiwitan
Ada tiga tema besar dari Analisa penulis pada Konsep Ekonomi Sunda Wiwitan yang perlu diteladani adalah, Satu, Kecukupan (Bahasa lainnya kesederhanaan), Kedua, Keseimbangan, Ketiga, Kolaborasi atau Kerjasama.
Kecukupan, Keseimbangan dan Kolaborasi merupakan tiga kesatuan konsep sosial, budaya ekonomi yang tidak bisa dipisahkan oleh Masyarakat Sunda Wiwitan, dimana efek yang diakibatkan ketiga ini adalah, bentuk Kekuatan Swasembada pangan, kekuatan (Kesehatan) Raga, dan Kelestarian alam.
Melihat Analisa ini, roda perekonomian lokal seperti, salah satu contoh penganut Sunda Wiwitan, Masyarakat Kanekes, Baduy dapat men-treatment Ketahanan pangan berlangsung selama berabad-abad, bahkan diperkirakan lebih dari 500 tahun. Masyarakat Baduy, terutama yang berada di wilayah Baduy Dalam, yang telah menjaga pola hidup yang sangat bergantung pada alam dan tradisi pertanian yang sudah ada sejak lama.
Sistem pertanian yang mereka jalankan, seperti pertanian padi huma dan pola rotasi tanaman, sangat sederhana dalam arti kecukupan tadi, selain itu mereka dapat beradaptasi dengan kondisi alam setempat dimana prinsip harmonisasi dan keseimbangan menjadi bagian dari warisan budaya yang terjaga dengan baik.
Masyarakat Baduy juga menghindari penggunaan teknologi pertanian kimiawi dan lebih mengutamakan metode organik, yang sudah terbukti efektif dalam menjaga ketahanan pangan mereka selama ratusan tahun. Pola konsumsi yang berbasis pada produk lokal, seperti padi, ubi, singkong, dan sayuran, juga menjadi bagian dari kunci ketahanan pangan mereka yang berlangsung begitu lama.
Selain itu, kemampuan Swasembada pangan masyarakat Baduy juga didukung oleh sistem sosial yang kuat. Sistem Kolaborasi, Kerjasama, Gotong Royong dalam kegiatan pertanian, seperti dalam penanaman, perawatan tanaman, hingga panen. Mereka bekerja bersama-sama untuk memastikan semua kebutuhan pangan mereka tercukupi secara komunal. Dengan demikian, harmoni dengan alam, pangan organik yang sehat, distribusi ekonomi barter diantara mereka dan sesekali berinteraksi dengan dunia luar untuk memeuhi kebutuhan pendukung lain, memunculkan bentuk fenomena Masyarakat yang sehat.
Mungkinkah mendengar sekarang Masyarakat Sunda Wiwitan terkena Pandemi? Apakah mereka bolak balik masuk Rumah Sakit? Apakah mereka terkena serangan penyakit menua? Atau mudah masuk angin dan sakit? Tentu saja dalam data statistik atau pengamatan langsung ke lapangan, tidak menemukan hal hal pertanyaan tersebut di atas. Itu yang kemudian Masyarakat Sunda Wiwitan adalah Masyarakat yang sehat.
Masyarakat yang sehat ini terlihat dari pola kerja yang terus beraktifitas dan bergerak, menurut Erich Fromm seorang filsuf dan psikoanalis humanis, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memungkinkan individu berkembang secara utuh sebagai manusia — yakni menjadi pribadi yang bebas, bertanggung jawab, penuh cinta, produktif, dan autentik. Dengan kata lain, Masyarakat sehat mendorong individu untuk “menjadi” (being), bukan “memiliki” (having). Karena, manusia tidak diukur dari kepemilikan materi, tetapi dari kualitas keberadaan mereka, seperti kreativitas, cinta, solidaritas, kolaborasi dan tanggung jawab. Dan Produktivitas ekopnomi di sini bukan hanya soal CAPAIAN dan kerja FISIK, tapi kemampuan untuk menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam bentuk makna, kasih, dan hubungan antarmanusia yang sejati.
Dari sinilah, lingkup Masyarakat yang sehat akhirnya Kembali menjadi Modal dasar ekonomi komunitas Sunda Wiwitan. Bernalar positif, good vibes, mampu bekerjasama secara team work, dan bergotong royong membangun ketahanan pangan, sehingga sirkulasi barang dan jasa, atau ekonomi komunitasnya terjaga dengan baik hingga 500 tahun. Mungkinkah Indonesia mampu mencontoh nilai-nilai kehidupan Sunda Wiwitan yang baru berusia kemerdekaan ke-80 tahun? Semoga, karena itu, mencintai Indonesia tidak hanya dengan rasa, tapi dengan aksi membangun kemakmuran bangsa.