Di antara ilmu-ilmu Islam tradisional, barangkali ilmu Kalam yang praktis hilang dari peredaran. Ilmu Fikih masih terus relevan karena kecenderungan masyarakat Muslim yang berorientasi pada praktik. Benar belaka jika dikatakan bahwa apa yang menjadi concern masyarakat Muslim ialah orthopraxy, melebihi orthodoxy.
Belakangan, ilmu Tafsir semakin memperlihatkan kedigdayaannya. Saya kira, ini terkait dengan fenomena kebangkitan skripturalisme di kalangan umat Islam.
Saya melihat, dalam batas yang besar, tafsir saat ini mengambil-alih peran ilmu Kalam. Para teolog Muslim modern tidak lagi menggunakan bahasa Kalam klasik. Perbincangan seputar free-will dan predestination praktis redup, jika tak boleh dikatakan sudah terkubur. Juga soal sifat-sifat Tuhan. Persoalan ketentuan/takdir Tuhan dikembalikan kepada “Apa kata Qur’an” tentang semua itu. Makanya, sekarang yang berkembang ialah teologi skriptural, bukan lagi Kalam yang mengandalkan pembuktian rasional.
Dulu pernah muncul gagasan neo-Mu’tazilah, tapi tidak mendapatkan ruang. Neo-Mu’talizisme tak mampu menyediakan artikulasi dan bahasa modern untuk menjelaskan hubungan manusia dgn Tuhan.
Barangkali, satu-satunya literatur “model-kalam” yang masih berkembang sekarang ialah perbincangan aqidah di kalangan kaum Wahabi. Literatur aqidah ini memang masih hidup hingga sekarang dan terus diproduksi. Tapi, kita tahu bahwa kaum Wahabi itu anti-Kalam. Kaum Muslim akan terus berteologi, cuman diskursus Kalam klasik sudah kehilangan relevansinya.
Kalau saya mengatakan Kalam sudah mati, bukan berarti ilmu itu tidak lagi penting dipelajari. Don’t get me wrong. Monggo, bagi mereka yg berminat. Saya sendiri sangat suka mempelajari khazanah Islam klasik. Yang saya amati adalah nasib disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional di era modern.
Saya kira, teologi Islam saat ini memerlukan nama baru (tentu juga, metode dan modes of discourse baru). Entah, apa itu?
Mari kita lihat.