Sejak kolonialisme meletakkan pondasinya dalam tubuh dunia Muslim, ilmu pengetahuan tidak lagi sekadar alat pencarian kebenaran, tetapi juga medan kuasa. Di dunia Islam, epistemologi dominan bukan lagi yang bersumber dari wahyu dan pengalaman lokal, tetapi dari perangkat-perangkat akademik modern yang dijejalkan oleh institusi kolonial dan pascakolonial. Di sinilah dekolonisasi menjadi bukan sekadar proyek akademis, melainkan tindakan eksistensial untuk merebut kembali martabat diri, memulihkan otonomi intelektual, dan membebaskan studi Islam dari ketergantungan metodologis dan paradigmatik terhadap Barat.
Salah satu manifestasi paling penting dari dekolonisasi itu muncul dalam kearifan lokal Jawa, yang termaktub dalam adagium filosofis: “Jawa Digawa, Arab Digarap, Barat Diruwat.” Tiga frase ini bukan sekadar slogan budaya belaka, tetapi fondasi kosmologi epistemik yang menawarkan alternatif atas krisis identitas keilmuan umat Muslim di Indonesia. Ia lahir dari pengalaman sejarah panjang akomodasi, resistensi, dan kreativitas Ulama Nusantara dalam menavigasi Islam, tradisi lokal, dan pengaruh Barat.
Esai ini hendak menunjukkan bahwa filosofi tersebut bukan sekadar produk budaya populer, melainkan tawaran radikal atas dekolonisasi studi Islam. Dengan mengaitkannya pada kerangka teoretis yang lebih luas; mulai dari kritik terhadap orientalisme, epistemologi Islam klasik, hingga pendekatan integratif al-Attas (islamisasi ilmu) dan integrasi-interkoneksi, akan tampak bahwa filosofi ini merupakan upaya serius untuk meneguhkan kedaulatan epistemik Islam di Nusantara.
Jawa Digawa: Dari Kawruh Lokal ke Perlawanan Epistemik
Komponen pertama, Jawa Digawa (Jawa dibawa), berbicara tentang afirmasi terhadap lokalitas dan pengetahuan Nusantara. Dalam budaya Jawa, pengetahuan bukan semata logika dan rasionalitas, tetapi juga rasa; dimensi afektif, spiritual, dan kontekstual yang membentuk kawruh. Pengetahuan yang benar tidak hanya bener, tetapi juga pener, yakni selaras, harmonis, dan tidak memaksakan.
Dalam kerangka epistemologi dekolonial, seperti yang dikembangkan oleh Walter Mignolo, Jawa Digawa adalah semacam epistemic disobedience, pembangkangan terhadap pakem Barat yang mengklaim universalitas ilmu. Dalam narasi kolonial, kearifan lokal sering dianggap tak ilmiah, mistik, atau irasional. Filosofi Jawa justru membalik klaim ini; pengetahuan harus mengakar dan membumi, bukan sekadar melangit di awang-awang.
Konsep ini bersenyawa dengan pendekatan ‘irfānī dalam epistemologi Islam klasik, di mana kebenaran diperoleh melalui penyucian jiwa dan intuisi spiritual. Ini berbeda dari pendekatan burhānī (rasional-logis) yang dominan dalam ilmu modern. Amin Abdullah menyebut ini sebagai pendekatan transdisipliner; mengintegrasikan bayānī, burhānī, dan ‘irfānī dalam satu kesatuan ilmu. Maka, Jawa Digawa adalah konfirmasi bahwa ilmu itu tak tunggal sumbernya; ia juga lahir dari tanah, bahasa, dan rasa.
Dalam konteks studi Islam, Jawa Digawa menuntut metodologi tafsir dan hukum Islam yang sensitif terhadap ‘urf lokal. Tradisi seperti tedhak siten, nyadran, atau sekatèn bukan sekadar budaya, tetapi ekspresi dari Islam yang membumi. Ini menantang tesis orientalis yang memisahkan Islam “murni” dari Islam “sinkretik.”
Arab Digarap: Mengambil Ruh, Bukan Replikasi Budaya
Frasa kedua, Arab Digarap (Arab dikelola/digarap), menunjukkan sikap kritis terhadap “kolonialisme internal” yang mengidolakan bentuk-bentuk Arab sebagai satu-satunya representasi Islam yang sah. Ulama Nusantara sejak Walisongo sudah melakukan distingsi tegas antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Yang pertama diambil sebagai rūḥ, yang kedua dikelola secara selektif.
Fenomena “pengarab-araban” dalam kehidupan Muslim Indonesia sering kali muncul sebagai respons terhadap krisis identitas, di mana yang Islami disamakan dengan yang Arab. Penggunaan jubah, nama-nama Arab, hingga penolakan atas adat lokal menjadi indikator gejala ini. Padahal, Islam bukan milik Arab. Islam adalah rahmat bagi semesta, bukan budaya Arab yang dicopas sebatas bentuk zahir.
Filosofi Arab Digarap adalah koreksi tajam atas purifikasi sempit dan Arabisasi tanpa konteks. Ia sejalan dengan semangat maqāṣid al-syarī‘ah, yang mementingkan substansi dan maslahat. Dalam metodologi hukum Islam, prinsip maṣlaḥah dan ‘urf adalah pembuka jalan bagi hukum Islam yang inklusif dan kontekstual. Seperti diperlihatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa-fatwanya yang berbasis pada realitas Indonesia, penggalian hukum dilakukan melalui ijtihād yang mempertimbangkan adat, realitas sosial, dan kebutuhan zaman.
Pada level epistemologi, Arab Digarap menolak dikotomi “Islam otentik” versus “Islam lokal.” Ini kritik terhadap tafsir-tafsir skripturalis yang mengabaikan konteks sosio-historis dan spiritual masyarakat. Di sini dekolonisasi berjalan dari dalam Islam, menantang juga dominasi tafsir Arab-sentris yang mengklaim monopoli atas makna wahyu.
Barat Diruwat: Melawan Hegemoni
Frasa ketiga, Barat Diruwat (Barat disucikan/disaring), menunjukkan respons strategis terhadap dominasi ilmu dan budaya Barat. Ini bukan anti-Barat, tapi anti-hegemoni. Ini bukan paranoia, tapi kehati-hatian epistemik. Dalam perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas, ilmu Barat dibangun di atas weltanschauung sekuler, dualistik, dan materialistik yang bertentangan dengan worldview Islam. Maka, Islamisasi ilmu bukan menolak Barat secara total, tetapi mendekonstruksi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, dan menggantinya dengan sistem nilai Islam.
Barat Diruwat adalah strategi menyaring (filtering). Ia mendorong Muslim untuk berpikir secara otonom, untuk membedakan antara sains sebagai alat dan ideologi Barat sebagai muatan. Dalam pendidikan tinggi, ini berarti membangun kurikulum yang tidak hanya mengutip Barat, tetapi juga menafsirkan, mengkritik, dan mengembangkan dari posisi epistemik sendiri.
Dekolonisasi Barat juga berarti mengembalikan etika dalam pengetahuan. Ilmu tidak bebas nilai. Seperti ditekankan Ibn Taimiyyah yang kemudian dikembangkan oleh Fazlur Rahman, ilmu harus memiliki misi moral. Barat Diruwat mendorong keberpihakan pada komunitas, keadilan sosial, dan transformasi spiritual. Ia menolak netralitas semu sains modern yang justru membenarkan eksploitasi dan dehumanisasi.
Dari Filosofi ke Strategi: Dekolonisasi Studi Islam di Indonesia
Ketiga komponen filosofi ini, bila dirangkai, menjadi satu kerangka dekolonisasi studi Islam yang operasional. Ia tidak mengandalkan jargon akademik, tetapi mengalir dari kebijaksanaan hidup, dari tanah tempat Islam berkembang secara natural. Ia adalah epistemologi hidup (living epistemology), bukan sekadar diskursus segelintir elit akademik.
Dekolonisasi dalam studi Islam bukan tentang menolak Barat atau Arab, tetapi tentang menjadi subjek pengetahuan, bukan objek. Ia adalah perjuangan untuk mendefinisikan ulang pusat-pusat produksi ilmu. Dalam konteks Indonesia, itu berarti; Merevisi kurikulum Studi Islam di perguruan tinggi agar tidak hanya mengacu pada otoritas Timur Tengah atau Barat, tetapi juga memasukkan turāṡ Nusantara dan kearifan lokal. Mendorong penelitian berbasis komunitas, yang mendengarkan suara rakyat, ulama lokal, dan pengalaman keagamaan yang hidup dalam praktik, bukan hanya teks. Mengembangkan metodologi tafsir dan uṣūl fiqh yang kontekstual dan interkoneksi, bukan hanya teks-sentris dan Arab-sentris.
Meneguhkan etika keilmuan yang spiritual dan membebaskan, bukan sekadar teknis atau profesionalistik.
Penutup: Tantangan dan Jalan Panjang ke Depan
Namun dekolonisasi bukan proyek yang mudah. Tantangannya besar; Internalisasi kolonialisme di benak Muslim sendiri, yang menganggap Arab lebih Islam dan Barat lebih modern. Dominasi birokrasi akademik yang lebih menghargai publikasi di jurnal-jurnal asing daripada pengembangan keilmuan lokal. Resistensi ideologis dari kelompok skripturalis yang menolak pendekatan kontekstual dan budaya. Bahaya esensialisme baru, ketika lokal dianggap selalu benar tanpa kritik.
Dekolonisasi butuh sintesis; antara Islamisasi, interkoneksi, dan kosmopolitanisme Islam. Ia juga butuh jihād kultural; pendidikan ulang generasi muda tentang bahasa ibu, sejarah lokal, dan spiritualitas Jawa yang Islami. Tanpa itu, filosofi ini sebatas puing-puing slogan yang berserakan.
Jawa Digawa, Arab Digarap, Barat Diruwat bukan sekadar slogan kearifan lokal. Ia adalah tawaran radikal dalam membangun dunia ilmu yang adil, berakar, dan spiritual. Ia menunjukkan bahwa Islam di Nusantara bukan produk Arabisasi atau Westernisasi, tetapi hasil dialektika aktif antara wahyu, akal, dan budaya.
Ini adalah jalan tengah yang kuat; tidak menjadikan Arab sebagai kiblat budaya, tidak menjadikan Barat sebagai acuan tunggal ilmu, dan tidak menjadikan lokalitas sebagai fetisisme. Ia adalah jalan kedaulatan epistemik.
Filosofi ini menantang kita semua; akademisi, mahasiswa, ulama, dan masyarakat luas, untuk menjadi subjek pengetahuan. Untuk tidak lagi sekadar mengutip, tetapi mengembangkan. Untuk tidak lagi sekadar belajar, tetapi menemukan. Untuk tidak lagi hanya menjadi konsumen ilmu, tetapi arsitek dan produsen peradaban.