Boyolali,— Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Tengah mendorong penguatan standar infrastruktur dan tata ruang pesantren agar lebih aman, sehat, dan nyaman sesuai standar. Komitmen ini ditegaskan dalam kegiatan Halaqah Pengasuh Pesantren bertema “Arsitektur, Desain, Tata Ruang, dan Infrastruktur Pesantren” yang digelar di Ponpes Nurul Qur’an, Simo, Boyolali, Selasa (21/10/2025).

Kegiatan tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. KH. Abu Choir, M.A.(RMI PWNU Jateng) dan Ir. Ashar Saputra, Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Forum ini diikuti para pengasuh pesantren dari berbagai daerah di Jawa Tengah yang selama ini menghadapi beragam persoalan dalam pengelolaan infrastruktur, mulai dari izin mendirikan bangunan (IMB), status tanah wakaf, hingga keterbatasan tenaga teknis.

Dalam paparannya, Dr. KH. Abu Choir, M.A. menegaskan bahwa sarana merupakan bagian dari arkanul ma’had yang dikristalkan dalam UU No. 18 Tahun 2029 tentang Pesantren, yaitu Asrama dan Masjid. Kedua aspek ini memiliki nilai filosofis yang tidak hanya sekedar bangunan. Bahkan asrama santri, masjid, dan rumah kyai ibarat pertemuan simbolik interaksi manusia menuju kebaikan hakiki. Gus Dur pernah mengilustrasikan cerita pewayangan, dimana santri ialah para salik yang beriyadhah menuju baik dan Kiai ialah para mursyid yang membimbingnya, sedangkan masjid adalah medan Kurusetranya. Oleh karena itu keberadaan asrama santri, rumah/dalem Kyai, Masjid dan infrastruktur pesantren lainnya tidak boleh sampai kehilangan makna sebagai tempat pendidikan.

“Namun demikian, tetap harus memperhatikan nilai-nilai dasar ilmu teknik pembangunan, sehingga menjamin santri aman, sehat, dan nyaman”, demikian tegasnya.

Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa penting bagi pesantren menjaga kemandirian agar nilai sarana dapat mendukung pendidikan holistik santri, namun tetap harus memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan bagi santri.

“Pesantren adalah lembaga mandiri yang harus tetap menjaga nilai-nilai dan tradisinya. Namun kemandirian itu tidak berarti mengabaikan standar keselamatan dan kelayakan bangunan,” ujarnya.

Sementara itu, Ir. Ashar Saputra menjelaskan bahwa pembangunan pesantren idealnya melalui empat tahap penting: perencanaan, konstruksi, operasional dan pemeliharaan, serta evaluasi bangunan. Setiap tahap, menurutnya, memerlukan keterlibatan tenaga ahli agar bangunan yang dihasilkan sesuai dengan fungsi dan aman digunakan dalam jangka panjang.

“Banyak pesantren membangun secara swadaya tanpa perencanaan teknis. Padahal, keamanan dan kelayakan bangunan menjadi bagian dari tanggung jawab moral pengasuh,” jelasnya.

Selain membahas persoalan teknis, halaqah ini juga mengidentifikasi sejumlah kendala administratif, seperti kesulitan mengurus IMB di lahan wakaf atau tanah yang masuk zona hijau, serta minimnya akses terhadap arsitek dan kontraktor yang memahami karakter pesantren.

Sebagai tindak lanjut, forum ini merekomendasikan agar RMI PWNU Jawa Tengah menjalin kerja sama dengan asosiasi profesional seperti Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), dll. Bahkan bisa juga berkolaborasi dengan Pergurun Tinggi dalam riset dan PKM pada bidang sarana tersebut. Kolaborasi ini diharapkan membantu pesantren melakukan pembangunan secara swakelola dengan biaya yang lebih efisien.

RMI juga didorong untuk memetakan konsultan dan kontraktor dari kalangan santri, serta mengadvokasi pemerintah agar memberikan pembebasan biaya IMB/PBG bagi pesantren untuk bangunan baru dan bangunan lama.yang belum memiliki izin. Selain itu, perguruan tinggi mitra yang memiliki fakultas teknik sipil dan arsitektur diharapkan dapat berkontribusi melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi di pesantren.

Halaqah ini menjadi bagian dari peringatan Hari Santri Tahun 2025 sekaligus sebagai bagian upaya RMI dalam memperkuat kapasitas kelembagaan pesantren, tidak hanya di bidang pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga dalam pengelolaan infrastruktur yang aman, sehat, dan nyaman secara berkelanjutan.

“Kami ingin pesantren menjadi tempat belajar yang nyaman, tertata, dan tetap berakar pada nilai-nilai tradisi pesantren dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah,” tutur Abu Choir menutup sesi diskusi.

Komentar