Di kota yang dikenal paling toleran di Indonesia, Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Raden Mas Said Surakarta memilih langkah sederhana tapi penting: menulis. Melalui pelatihan literasi di Pondok Pesantren Nurul Asna, para akademisi dan komunitas lintas iman mencoba menyalin kembali pengalaman hidup bersama dalam perbedaan.
“Salatiga memang sering disebut kota toleran, tapi tanpa tulisan, label itu bisa jadi hanya slogan,” kata Dr. Bakhrul Amal, Ketua RMB. “Kami ingin memastikan praktik baik yang nyata di masyarakat tidak hilang begitu saja.”
Sekitar sepuluh komunitas lintas iman hadir dalam kegiatan ini. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman hidup berdampingan, membangun empati, hingga mengatasi prasangka. Menurut Syafawi Ahmad Qhadafi, panitia pelaksana, literasi adalah kunci agar pengalaman itu dapat diwariskan.
“Komunitas-komunitas ini punya pengalaman luar biasa, tapi sering kali tak terdokumentasi. Menulis menjadi cara untuk melawan lupa,” ujarnya.
Tuan rumah kegiatan, Gus Azmi, menambahkan bahwa menulis adalah bagian dari tanggung jawab intelektual seorang santri. “Ilmu tanpa tulisan akan hilang, tapi tulisan bisa menghidupkan ilmu,” katanya.
Melalui kegiatan ini, RMB UIN Raden Mas Said ingin membangun kesadaran bahwa moderasi beragama tidak hanya lahir dari forum-forum akademik, melainkan juga dari catatan hidup masyarakat yang saling menghargai.