Fenomena aksi bela kiai dan pesantren yang diinisiasi oleh HIMASAL (Himpunan Santri Lirboyo) dan Aliasi Santri Se DIY di PP Salafiyah Mlangi Yogyakarta menarik untuk dipahami dan dijelaskan secara argumentatif. Pasalnya aksi yang dilakukan malam Selasa 21 Oktober bertepatan dengan malam HSN yang biasa diperingati kaum santri secara khusus dan masyarakat pada Rabu 22 Oktober 2025.
Setidaknya, dalam konteks sosio religius masyarakat Indonesia, aksi tersebut bukan semata-mata ekspresi emosional, melainkan artikulasi kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya menjaga otoritas moral dan basis peradaban lokal yakni Pesantren.
Bukankah dalam sejarah bangsa ini, pesantren dan kiai menempati posisi cukup sentral sebagai penopang keagamaan, kebudayaan, dan moralitas publik? Ini bisa dijustifikasi Q.S al Taubah: 122, di mana ulama kiai didudukkan sebagai pengawal moralitas bangsa.
Oleh karena itu, pembelaan terhadap kiai dan pesantren, sejatinya memiliki argumen logis, baik secara semantis historis, sosiologis, dan bahkan filosofis, yang berakar kuat dalam kesadaran sosial masyarakat santri Indonesia.
Hemat penulis, setidaknya ada empat argument penting mengapa perlu Aksi Bela Kiai dan Pesantren yg dipicu oleh tayangan Trans7 Senin 13 Okt 2025, yang memframing bahwa tradisi pesantren itu feodal, dipenuhi budaya jongoisme dan penumpukan kapital buat para kiai atau pengasuhnya.
Berikut ini penulis kemukakan argumen tersebut:
Pertama, argumen semantis, yakni yang terkait dengan asal usul kata Santri, yang menurut para ahli, berasal dari kata cantrik, bahasa Sansekerta. Cantrik itu seorang murid yang mengikuti gurunya, kemanapun pergi dalam rangka menyerap ilmu. Di situlah proses trasmisi dan transformasi pengetahuan diperoleh, bahkan juga berkah. Maka wajar santri itu memiliki loyalitas tanpa batas terhadap gurunya atau kiainya. Inilah makna objektif dan bahkan makna dokumenter–meminjam Istilah Karl Mannheim–yang terdapat dalam relasi santri dan kiai.
Kedua, argument historis, di mana Pesantren telah didudukkan sebagai pondasi peradaban Nusantara secara historis. Sejarah pesantren di Indonesia ini sangat erat kaitannya dengan proses Islamisasi dan perlawanan terhadap kolonialisme. Sejak abad ke-17, pesantren telah berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama atau tafaqqih fiddin dan lembaga dakwah Islam. Kiai sebagai figur pemimpin pesantren telah memainkan peran ganda, baik sebagai ulama maupun mujahid atau pejuang.
Dalam catatan sejarah, perlawanan terhadap kolonialisme tidak hanya datang dari kekuatan militer, tetapi juga dari jaringan pesantren dan kia-ulama. Salah satu contoh monumental adalah peran para ulama dalam Resolusi Jihad 1945 yang dideklarasikan oleh Hadrotus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa jihad tersebut menjadi dasar basis teologis-moral bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda dan sekutunya yang akan kembali menjajah Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa pesantren bukan entitas pinggiran, melainkan pusat peradaban dan legitimasi perjuangan bangsa.
Bahkan jauh sebelum itu, pesantren telah membentuk kultur Islam Nusantara yang toleran, progresif, terbuka, dan berakar pada nilai lokal. Demkian kuran lebih tesis Greg Barton dan Mark Woodward.
Dalam konteks ini, hemat penulis, membela kiai dan pesantren berarti melanjutkan mandat sejarah perjuangan para ulama sebagai penjaga martabat bangsa dan pilar keutuhan sosial. Maka hati-hati, narasi dan framing Trans7 jangan-jangan ada agenda untuk memecah belah umat supaya terjadi disintregasi bangsa. Pemerintah dan pihak yang berwenang harus memberikan sanksi dan tindakan tegas terhadap framing dan nalar kebencian yang disiarkan oleh Trans7.
Ketiga, argument Sosiologis, yakni bahwa pesantren itu merupakan ruang solidaritas sosial. Secara sosiologis, pesantren merupakan ruang sosial yang membangun kohesi dan solidaritas masyarakat. Menurut teori solidaritas sosial ala Émile Durkheim, masyarakat itu membutuhkan moral community yang menjadi dasar keterikatan sosial dan identitas kolektif. Nah, Pesantren memainkan peran itu melalui ajaran, tradisi, dan kepemimpinan para kiai.
Kiai itu bukan hanya pemuka agama, melainkan figur simbolik yang dipercaya masyarakat sebagai penjaga nilai kebenaran bahkan sebagai simbol “sacred“. Sehingga serangan atau framing negatif terhadap kiai atau pesantren tidak hanya melukai individu pesantren, tetapi juga mengganggu stabilitas simbolik dan kepercayaan sosial masyarakat. Karena itu, aksi bela kiai dan pesantren dapat dibaca sebagai respon sosiologis kolektif terhadap ancaman erosi kepercayaan publik.
Selain itu, pesantren berfungsi sebagai “social safety net” (al- syabakah al ijtimaiyyah li salamatil mujtama’) atau jaring pengaman sosial, terutama bagi masyarakat akar rumput yang tidak terjangkau layanan negara. Pesantren telah menyediakan pendidikan murah, penguatan spiritual, bahkan solidaritas ekonomi. Jadi, membela pesantren berarti melindungi ruang sosial bagi masyarakat kecil untuk bertumbuh dan berdaya.
Keempat, argumen logis-filosofis, yakni bahwa Kiai itu sebagai siimbol rasionalitas etis. Dari perspektif filsafat politik dan etika, kiai didudukkan sabagai figur otoritas moral yang menjadi penuntun masyarakat dalam menavigasi nilai, makna, dan tindakan sosial. Dalam konsep phronesis (kebijaksanaan praktis), Aristoteles, menyatakan bahwa pengetahuan moral tidak berhenti pada teori, tetapi diwujudkan dalam tindakan kebijaksanaan praktis yang menjadi pedoman hidup bersama: alias tidak hanya NATO (not action talk only), tapi harus JOS (jangan omong saja).
Dalam konteks keindonesiaan, hemat penulis, kiai itu berfungsi sebagai penopang rasionalitas etis publik. Maka menjadi logis, jika ada pembelaan terhadap kiai dan pesantren yang notabane merupakan basis kepercayaan moral masyarakat. Sebab melemahkan atau mendiskreditkan mereka sama dengan merusak struktur legitimasi moral publik.
Inilah yang dalam filsafat kontemporer, bisa disebut sebagai “epistemic injustice”, yakni ketidakadilan epistemik ketika suara otoritas moral masyarakat dipinggirkan atau diframing secara bias oleh sebuah media yang seolah ingin menunjukkan kekuatan dominan. Karena itu, aksi bela kiai bukan berarti Kiai dan Pesantren anti-kritik, melainkan tindakan rasional choice untuk menjaga ekosistem moral publik dari delegitimasi dan Framing negatif tidak sehat dan tidak bermutu.
Last but not least, aksi bela Kiai dan Pesantren adalah merupakan tanggung jawab peradaban. Dari empat argumentasi yang sudah penulis kemukakan, maka bisa ditegaskan bahwa aksi bela kiai dan pesantren sesungguhnya merupakan tanggung jawab etis, historis, sosiologis, dan bahkan filosofis. Secara historis berarti kita melanjutkan mandat perjuangan ulama dan pesantren sejak era kolonial sebagai pilar kebangsaan.
Sedangkan secara sosiologis, kita ingin mempertahankan jaringan kohesi sosial dan basis kepercayaan publik. Dan, secara filosofis, kita bisa berkata bahwa aksi bela kiai dan Pesantren dimaksudkan untuk menjaga otoritas moral publik sebagai fondasi keadilan sosial dan rasionalitas etis.
Ini karena dalam konteks masyarakat muslim Indonesia, kiai dan pesantren sejatinya bukan hanya aktor religius, tetapi penjaga peradaban. Membela mereka berarti membela ruh bangsa, yakni nilai-nilai moral, keilmuan, spiritualitas, dan solidaritas sosial yang menjadi dasar tegaknya peradaban Indonesia.
Bela kiai dan pesantren di samping sebagai gerakan massa, juga merupakan ekspresi kesadaran historis dan tanggung jawab peradaban. Dalam dinamika masyarakat modern yang kerap diwarnai politik citra dan framing media, menjaga otoritas moral berarti menjaga keutuhan bangsa. Jika pilar moral bangsa ini runtuh, maka peradaban kehilangan penuntun etiknya. Wa Allahu alam bis shawab.

